Yorgos Lanthimos terkenal sebagai sutradara dengan ide-ide orisinalnya yang eksentrik. Terkadang melampaui batas ekspektasi hingga membuat penontonnya trauma melalui film-film yang kebanyakan ia tulis sendiri naskahnya.
Sutradara asala Yunani ini belakangan merilis film-film yang lebih komersil dan skala produksi yang lebih megah, seperti period drama “The Favorite” dan yang terbaru “Poor Things”. Dimana kedua film tersebut masuk nominasi penghargaan bergengsi Oscar.
Namun, untuk koleksi lamanya dengan budget produksi yang lebih rendah, tak membatasi ide liar dan gila dari Lanthimos yang orisinal. Kali ini kita akan membahas tiga film dengan konsep paling aneh dari Yorgos Lanthimos; “Dogtooth”, “Alps”, dan “The Lobster”. Ketiga film ini memiliki latar sureal dan premis dystopia paling unik dan tidak akan kita temukan di film-film lainnya. Yang menarik dari cara Lanthimos menulis narasi, ia sangat percaya diri dan tidak ambil pusing memperkenalkan semesta anehnya pada penonton secara konvensional.
Pada akhirnya, seabsurd apapun film yang dirilis Yorgos Lanthimos, filmnya tidak asal absurd tanpa pesan. Justru pesan bermuatan isu sosial yang dibungkus dalam naskah satir Lanthimos selalu tepat sasaran. Satir hanya berhasil ketika penulisnya tidak tanggung-tanggung dalam mengeksploitasi gagasannya. Berikut penjelasan dari ketiga film Yorgos Lanthimos paling aneh yang bermakna.
Penjelasan Film Dogtooth (2009)
Premis: Sepasang suami istri membesarkan ketiga anak mereka, satu putra dan dua putri, terisolasi dari dunia luar, dengan aturan mereka sendiri. Mulai dari bahasa yang berbeda, lingkungan yang kompetitif, dan berbagai doktrin yang membuat anak-anak mereka hidup dalam dystopia ciptaan kedua orang tua. Kestabilan dalam pola asuh mereka mulai terganggu ketika salah satu anak mereka tak sengaja mendapatkan informasi tentang dunia luar yang berbeda dari ajaran orang tuanya.
“Dogtooth” merupakan skenario sureal satir yang mengkritisi sikap orang tua yang terlalu overprotective dalam mengasuh anak mereka. Bisa dilihat bagaimana anak-anak (yang sudah tampak dewasa) mengalami manipulasi dan didoktrin seumur hidup mereka hingga tidak terlihat sedikit pun menunjukan keengganan pada berbagai kejanggalan dari aturan yang diterapkan oleh orang tua mereka.
Mulai dari penggunaan bahasa dengan arti yang berbeda, dihiperbola dalam skenarionya. Ketika anak laki-laki bertanya apa itu ‘zombie’, ibunya menjawab zombie adalah bunga kuning kecil. Begitu pula ‘telepon’ untuk ‘garam’ dan ‘keyboard’ untuk area intim perempuan. Ini menjadi simbolisasi satir bagaimana orang tua kerap menyensor kata-kata dengan makna vulgar. Mereka juga tidak boleh menonton film-film populer karena mereka bahkan tidak tahu ada hiburan semacam itu. Bagi mereka home video saja sudah jadi tontonan yang menghibur. Karena orang tua mereka beranggapan film dapat membawa pengaruh buruk.
Dan benar saja, ketika salah satu putri mereka mendapatkan video tape film dari tamu, ia mulai menunjukan perilaku yang berbeda. Mulai dari menyakiti saudaranya hingga menari seperti di “Flashdance” (1963) yang dianggap seronok oleh orang tuanya.
Sepanjang film ketiga anak ini tidak diperkenalkan memiliki nama. Ia akhirnya ingin memiliki nama seperti karakter-karakter yang ia tonton di film. Semakin ia menerima penolakan dari orang tua karena perubahannya, pada akhirnya sang anak memiliki keberanian untuk kabur.
Namun dalam skenarionya, orang tua anak-anak ini berkata bahwa mereka baru siap untuk menghadapi dunia luar ketika gigi anjing (dogtooth) mereka tanggal. Dimana kita sebagai penonton tahu bahwa hal itu omong kosong. Gigi anjing atau gigi taring mereka tidak akan tanggal, yang berarti mereka tidak akan pernah boleh meninggalkan rumah mereka. Ini menjadi simboliasi bagaimana ada orang tua yang tidak ingin melepas otoritas dan hak bebas anak-anak mereka bahkan setelah mereka dewasa.
Penjelasan Film Alps (2011)
Premis: Sekelompok orang membentuk organisasi bernama Alps yang memberikan layanan unik untuk orang-orang yang sedang bersedih setelah orang tercinta meninggal. Mereka menawarkan jasa penyewaan orang yang akan berakting seperti orang yang sudah meninggal, untuk membantu orang yang ditinggalkan melalui masa berkabung.
“Alps” merupakan film dengan topik yang cukup kompleks dan menimbulkan pemikiran pada penontonnya seputar identitas, masa berkabung, dan kondisi manusia. Kelompok dengan jasa unik memilih nama Alps karena mereka menjunjung profesionalisme yang tidak tergoyahkan layaknya gunung. Memberikan atmosfer yang memancarkan stabilitas dan ketenangan pada klien mereka, seperti tidak ada yang berubah, seakan-akan orang yang mereka cintai belum meninggal dan kehidupan mereka masih sama saja.
Satu tema ide yang menonjol dalam “Alps” adalah bagaimana identitas bisa dibentuk ulang dan dimanipulasi. Para anggota Alps mengambil identitas peran orang yang sudah meninggal, memudarkan kenyataan dan fanah. Membuat kita mempertanyakan sifat alami dari identitas; apa semudah itu bisa dikenakan seperti topeng? Atau sebagai sesuatu yang mustahil untuk dimanipulasi karena setiap orang memiliki identitas dengan detail yang terlalu unik.
Film ini juga mengeksplorasi sifat dari rasa berkabung dan bagaimana orang memilih cara dalam menghadapinya. Pastinya kebanyakan klien yang menyewa jasa Alps adalah orang-orang yang masih tidak bisa move on dari kenyataan bahwa orang yang mereka sayangi sudah meninggal.
Dengan sentuan eksentrik ala Lanthimos, mereka bahkan terlihat mampu menerima jasa anggota Alps yang bermain peran untuk pelarian sesaat. Namun, kita bisa melihat bahwa pelarian tersebut tida berkelanjutan, justru menarik mereka lebih dalam ke proses berkabung yang hanya bisa diakhiri dengan penerimaan, serta koneksi nyata dengan orang masih hidup daripada orang hidup yang bermain peran sebagai orang yang sudah tiada.
Penjelasan Film The Lobster (2015)
Premis: Berlatar di suatu masyarakat tak biasa, dimana orang lajang didiagnosis sebagai orang dengan gangguan mental dan harus direhabilitasi di Hotel. Pasien di Hotel hanya memiliki waktu selama 45 hari sebelum diubah menjadi binatang jika gagal menemukan pasangan. Protagonis memilih untuk diubah menjadi lobster jika gagal direhabilitasi, karena lobster memiliki umur panjang.
Premis “The Lobster” sesuai sekali dengan budaya perkumpulan di Indonesia. Masih ada komunitas sosial yang kerap merundung orang-orang yang masih melajang. Mulai dari anggapan bahwa mereka kesepian, depresi, hingga tuduh yang sifatnya menyakitkan seperti ‘tidak laku’ dan tidak memiliki kepribadian menarik atau fisik yang kurang memikat. Dimana dalam film Lanthimos, dihiperbola lagi, bahwa orang lajang kalau tidak tak kunjung dapat pasangan disamakan dengan binatang.
Dalam mencari pasangan pun, masyarakat dalam skenario ini juga memiliki aturan yang membatasi dan semakin mempersulit orang. Dimana pasangan hanya direstui jika memiliki kesamaan. Karena seperti binatang, hanya binatang dengan spesis sama yang bisa berkembang biak dengan benar. Ini juga masih relevan dengan masyarakat kita, yang masih menjunjung latar belakang yang sama dalam berpasangan. Mulai dari persamaan kepercayaan, etnis, hingga status sosial.
Adapula adegan yang menunjukan bagaimana seorang lajang dihardik oleh pihak berwajib ketika jalan-jalan sendirian. Kemudian langsung merasa aman ketika pasangan mereka muncul.
Dalam skenarionya, adapula plot dimana karakter-karakter berusaha untuk menemukan pasangan meskipun harus mengubah jati diri mereka agar terlihat memiliki kesamaan. Hal tersebut dilakukan demi tidak diubah menjadi bintang setelah 45 hari berlalu di Hotel. Ini menjadi simbolisasi bagaimana tak sedikit dari orang menikah agar merasa aman dan terhindar dari penghakiman sosial.