Quantcast
Wicked: For Good: Penutup Megah tentang Persahabatan, Kuasa, dan Harga Menjadi “Berbeda” - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea
Wicked: For Good
Photo Cr. Universal

Film

Wicked: For Good: Penutup Megah tentang Persahabatan, Kuasa, dan Harga Menjadi “Berbeda”

Final chapter musikal epik yang menggabungkan kemegahan visual dan kedalaman emosional.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Wicked: For Good” (2025) menjadi puncak dari adaptasi dua bagian “Wicked” yang telah lama dinantikan para penggemar musikal Broadway. Disutradarai kembali oleh Jon M. Chu, film ini dibintangi Cynthia Erivo sebagai Elphaba dan Ariana Grande sebagai Glinda, yang melanjutkan konflik, dilema moral, serta ikatan emosional yang telah dibangun di film pertama.

Jika bagian awalnya fokus pada pertemuan, persahabatan, dan kelahiran tragedi, maka bagian kedua ini menggali dampak besar dari sebuah stigma dan bagaimana kekuasaan dapat memanipulasi kebenaran. Hasilnya adalah penutup penuh emosi yang memadukan skala blockbuster dengan keintiman drama personal.

Plot “Wicked: For Good” membawa penonton langsung ke konsekuensi akhir dari reputasi Elphaba sebagai “The Wicked Witch of the West” dan transformasi Glinda menjadi figur politik yang harus menjaga citra. Cerita bergerak lebih gelap, lebih politis, dan lebih introspektif dibandingkan film pertamanya, menangani isu propaganda, manipulasi kekuasaan, hingga bagaimana narasi publik bisa membunuh karakter seseorang tanpa bukti jelas. Chu mengeksekusi struktur cerita ini dengan ritme yang stabil—tidak terburu-buru mengejar resolusi, tetapi memberi ruang bagi setiap momen emosional agar beresonansi.

Wicked: For Good 2025

Script film ini menunjukkan ketelitian dalam membangun perkembangan karakter, terutama dua tokoh utamanya. Elphaba bukan sekadar “salah paham oleh dunia”; ia digambarkan sebagai perempuan cerdas yang memahami kekacauan politik Oz dan memilih melawan sistem meski tahu dirinya tak bisa menang. Glinda, sebaliknya, digambarkan lebih rapuh dan manusiawi—seseorang yang ingin melakukan hal benar tetapi tak mampu keluar dari jerat kekuasaan. Percakapan mereka, khususnya di dua konfrontasi utama menjelang akhir, menjadi inti emosional film dan memperlihatkan betapa kuatnya hubungan mereka meski berdiri di sisi sejarah yang berbeda.

Dari sisi akting, Cynthia Erivo memberikan performa luar biasa yang memadukan ketegasan dan luka batin. Suaranya yang dahsyat memainkan lagu-lagu penting seperti “No Good Deed” dan “For Good” dengan intensitas yang tak hanya teknis tetapi juga emosional. Ariana Grande tampil makin matang, menanggalkan imej glamor dan memeluk sisi rapuh Glinda, terutama di adegan saat ia menyadari harga yang harus dibayar untuk menjadi simbol publik.

Chemistry antara keduanya menjadi penggerak utama film—persahabatan, cinta platonis, rasa saling kehilangan, semuanya mengalir alami dan meyakinkan. Michelle Yeoh sebagai Madame Morrible memberikan kehadiran yang lebih dingin dan mengancam, sementara Jonathan Bailey kembali memperkuat dinamika konflik personal dan politik melalui Fiyero.

Wicked: For Good

Sinematografi karya Alice Brooks menjadi salah satu sorotan besar film ini. Warna-warna cerah Oz kini berubah menjadi palet yang lebih kontras, mencerminkan atmosfer yang semakin tegang. Brooks banyak menggunakan komposisi simetris untuk menggambarkan keteraturan palsu kerajaan Oz, sementara Elphaba sering ditempatkan di frame yang lebih asimetris untuk menekankan isolasi dan ketidaksesuaian dirinya dengan dunia itu. Sequence musikal ditampilkan dengan desain set monumental dan pergerakan kamera halus yang membuat setiap nomor terasa seperti pertunjukan langsung tetapi tetap sinematis.

Screenplay-nya berhasil merangkum materi Broadway tanpa kehilangan kedalaman tematik. Adaptasinya tidak terpaku pada struktur panggung; Chu menambahkan transisi visual yang memperkaya dunia Oz, sekaligus memperluas momen emosional tertentu yang di teater hanya dibayangkan. Penyuntingan yang rapi membuat perpindahan antara dialog, drama, dan musikal terasa mulus, tidak seperti beberapa adaptasi yang terkesan janggal ketika karakter tiba-tiba bernyanyi.

Wicked: For Good

Musiknya tentu menjadi jantung film, dan partitur Stephen Schwartz tetap menjadi kekuatan utama. Aransemen baru untuk layar lebar dibuat lebih megah tanpa menghilangkan sensitivitas lirik. “For Good” sebagai klimaks emosional tampil begitu kuat, menjadi lagu perpisahan yang tidak hanya memuaskan secara musikal tetapi juga memperkuat tema utama film: bahwa hubungan terdalam kita tidak selalu berakhir dengan kemenangan atau rekonsiliasi penuh, tetapi dengan penerimaan.

Jika ada kelemahan, film ini sedikit kewalahan menangani subplot politik dan dunia Oz yang melebar. Beberapa karakter pendukung mendapat porsi minim, sehingga kesan grandnya Oz kadang terasa lebih sebagai latar visual daripada dunia hidup. Namun, fokus kuat pada persahabatan dua tokoh utamanya menjaga inti film tetap solid.

“Wicked: For Good” adalah penutup yang emosional, elegan, dan memuaskan—sebuah opera persahabatan yang penuh luka, keindahan, dan refleksi tentang kebenaran yang sering kalah oleh propaganda. Ini adalah film musikal besar yang tak hanya memamerkan skala produksi, tetapi juga hati dan manusia di dalamnya.

Biopik Keras yang Menggugah: Christy dan Luka yang Tak Terlihat di Balik Sorotan

Film

Membongkar Asap Kebohongan: Mengapa The Insider Tetap Relevan Dua Dekade Lebih

Film

Aksi, Kelakar, dan Kritik Sosial: Jejak Abadi Beverly Hills Cop

Film

Sisu: Road to Revenge Review Sisu: Road to Revenge Review

Sisu: Road to Revenge Review – Dendam yang Membeku, Tekad yang Tak Mati

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect