Berbicara mengenai Beyoncé memang tak lepas dari pembicaraan mengenai kultur. Terutama kultur dalam konteks Black Music serta semua sejarah dibaliknya. The one and only Queen Bey memang bukan sekedar diva dengan sederet lagu hits, trophy, dan best selling album. Beyoncé memegang peranan besar untuk kultur people in color di industri musik Amerika Serikat. Tak heran, album Homecoming: The Live Album ini pun memiliki peranan yang tak kalah besar.
Homecoming: The Live Album dirilis setelah Beyonce meraih sukses dalam satu dekade terakhir. Live album dengan 40 track ini dirilis dari set Coachella tahun kemarin yang mencetak sejarah tersendiri bagi sang diva. Selain itu album ini pun dirilis bersama-sama dengan dokumenter Netflix dari aksi panggung tak terlupakan tersebut. #Beychella memang bukan sekedar sebuah penampilan panggung di festival musik. Beyoncé, yang tak pernah setengah-setengah menghadirkan 200 orang lebih di atas panggung. Masing-masing hadir dengan harmony mereka sendiri sebelum membentuk piramida. Di sini, aksi menggetarkan dimulai saat orkestra memainkan track pembuka “Do Whatcha Wanna.”
Menghadirkan gempita aksi panggung tersebut dalam sebuah live album tentu bukan hal yang mudah. Pekerjaan rumah terbesar tentu saja bagaimana membuat pendengar dapat menikmati track di album tersebut, dan merasakan kemegahan seperti di atas panggung. Homecoming: The Live Album bisa dikatakan sukses menerjemahkan visual panggung #Beychella dalam bentuk audio.
Walau pun terbilang sukses menghadirkan audio yang memuaskan telinga, sulit membayangkan Homecoming: The Live Album tanpa visualisasi dari dokumentari penampilan Beyonce di Coachella itu sendiri. Mungkin inilah mengapa album tersebut dirilis bersama-sama dengan visualisasi yang ditayangkan di Netflix. Sebuah kesatuan, yang tak buruk untuk disaksikan secara terpisah, namun akan terasa makin lengkap bila dipadukan bersama-sama. Hal ini memang disatu sisi dapat menjadi sebuah kekurangan dari Homecoming: The Live Album. Di sisi lain, bukan sebuah hal baru untuk Beyonce bergantung pada visual dalam merefleksikan sisi musikal dirinya. Ini sudah mulai berlangsung sejak album Lemonade yang dirilis 3 tahun lalu.
Beyonce menggandeng masa lalu, kini dan masa depannya dalam Homecoming: The Live Album. Ini tak hanya nampak dari bagaimana ia membawakan ulang versi baru dari hits milik Destiny’s Child. Namun juga dari ramuan yang menjadikan musik R&B dari satu dekade lalu ini terdengar begitu modern. Seakan lagu mainstream yang biasa kita dengar di radio Top 40 saat ini. Lagi-lagi ini mungkin akan membuat banyak orang tercabik antara “benci” dan “cinta”. Aransemen modern untuk sebuah hits klasik memang selalu memberikan efek serupa. But, hey, it is Beyonce! Mau tak mau kita dibuat jatuh hati dengan bagaimana ia meliukan nada demi nada untuk up beat tempo di hits miliknya dulu.
Lagu-lagu R&B dengan tempo up beat memang menjadi highlight dari album ini. “Crazy in Love,” “Countdown,” dan “Love on Top” disusupi musik pop modern diantara beat retro R&B mereka. Sedangkan single dari album B’Day, 2006, “Get Me Bodied” dibawakan dalam versi extended. Sebuah kejutan tersendiri karena bahkan fans Queen Bey pun tak menyangka akan mendapatkan versi lebih lama untuk single yang menjadi tonggak kesuksesan Beyonce sebagai solois. Hits lama berikutnya, “Check on It” yang pertama kali rilis pada 2005 lalu pun diberikan sentuhan modern dance track yang lebih dinamis.
Homecoming: The Live Album memiliki durasi 110 menit. Berisikan 40 track dari setlist Beyonce di Coachella. Di album ini, ia membawakan hits demi hits dari masa lalu, sejak jaman Destiny’s Child sampai Lemonade, hingga ke album rapnya bersama sang suami pada tahun lalu. Pendengar dimanjakan dengan perpaduan antara musik hip-hop, sentuhan orkestra yang megah, pop mainstream yang menjadi bukti Beyonce pun masih akan sukses di antara genre musik lain saat ini, sampai ke hip-hop dan rap.