Beberapa hari belakangan, beredar foto Alaa Salah di media sosial. Perempuan berkerudung usia 22 tahun ini merupakan simbol revolusi Sudan. Ia memimpin puluhan ribu orang di tengah Kota Khartoum dan menyanyikan lagu revolusi. Demonstrasi ini dilakukan salah satunya untuk menurunkan presiden Omar al-Bashir yang telah berkuasa selama 30 tahun. Kondisi politik di Sudan bukan satu-satunya yang menjadi viral di seluruh dunia.
Ada berbagai peristiwa politik penting dari berbagai negara yang mendapat perhatian dunia melalui media sosial seperti Arab Spring, Brexit, hingga bagaimana citra Aung San Suu Kyi babak belur setelah krisis Rohingnya.
Kemenangan Obama pada 2008 merupakan salah satu bentuk pemanfaatan media sosial dalam politik. Pencapaian Obama sebagai kulit hitam pertama yang menjadi presiden Amerika telah menginspirasi sekaligus menyadarkan banyak orang bahwa media sosial adalah sebuah senjata mutakhir dalam peperangan citra.
SBY diketahui menggunakan foto yang sangat mirip konsepnya dengan Obama untuk akun Twitter resminya. Saat itu, kita belum benar-benar merasakan neraka di media sosial Indonesia. SBY masih resmi menjabat. Ia tak berhadapan dengan siapa-siapa. Kemudian sampailah kita pada masa Pemilu 2014 ketika Indonesia terbelah menjadi dua.
Hoax bertebaran di mana-mana. Sebenarnya, hoax tidak hanya terjadi di bumi kita pertiwi. Google dan Facebook sendiri juga mengumumkan cara-cara mereka mencegah hoax sejak 2016 lalu. Hoax sendiri tidak hanya beredar di media sosial saja tetapi juga aplikasi chatting seperti Whatsapp melalui metode broadcast. Situs-situs yang memproduksi informasi palsu juga bermunculan bahkan menjadi ladang bisnis tersendiri.
Bagaimana hoax itu dibuat atau siapa produsennya? Tentu saja dari berbagai pihak yang berkepentingan dengan pemilu. Hampir tidak ada pihak yang benar-benar bersih dalam memperebutkan kursi jabatan. Kita dapat menemui lowongan pekerjaan terselubung untuk menciptakan hoax di situs-situs penyedia jasa freelance.
Sebenarnya kondisi kita dengan Amerika tidak jauh berbeda. Trump disebut-sebut menang karena menggunakan media sosial juga metode kampanyenya yang kontroversial. Salah satu capres kita pun dituding menggunakan cara yang sama dengan Trump. Sebenarnya kemenangan Trump bisa diprediksi sebelum pemilu dilangsungkan yaitu ketika namanya selalu memimpin di hampir semua platform media sosial.
Lebih mengejutkan lagi, tim di balik kampanye digital Trump bukan orang yang berpengalaman di bidang politik. Keahliannya justru di bidang lain yaitu teknologi dan sains. Menurutnya, cara untuk mengiklankan seorang politisi tidaklah jauh berbeda dengan caranya mengiklankan hal lain. “It’s the same shit we use in commercial, just has fancier names”. Salah satu platform yang sangat bermanfaat tentu saja adalah Facebook dengan jumlah pengguna bulanan mencapai 1,8 milyar orang. Trump membuktikan ia telah menggunakannya dengan baik.
Faisal, seorang mahasiswa Pascasarjana, mengaku Facebook adalah satu mediumnya mendapatkan informasi mengenai politik. Ia mengikuti akun resmi beberapa media mainstream sehingga mendapatkan notifikasi mengenai berita terbaru. Ia juga mengakui perputaran informasi di Facebook cenderung cepat. Orang senang membagikan berita yang baru dibaca dan memantik diskusi di media sosial.
Informasi-informasi inilah yang mendorongnya memantapkan pilihan untuk memilih Prabowo. “Jokowi plin-plan,” ujarnya ketika ditanya mengapa tidak mau memilih sang petahana. Salah satu alasannya mencoblos Prabowo bukan karena ia menyukai figur Prabowo melainkan ingin melihat wajah baru yaitu Sandiaga. Menurutnya, pilihan terbaik adalah memilih pemimpin yang masih muda sehingga visioner.
Tidak semua menganggap Facebook adalah platform terbaik untuk mendapatkan informasi. Gina, seorang pegawai retail mengaku sumber informasinya adalah Twitter. Ia sengaja mencari dengan kata kunci tertentu untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. “Pilih Jokowi. Suka sama program-programnya. Orangnya juga santun”. Ia juga mengakui banyak mendapatkan informasi mengenai Prabowo. Namun menurutnya gaya politik Jokowi-lah yang lebih cocok dengannya.
Apa yang dikatakan oleh Gina maupun Faisal sesuai dengan gambaran rilis yang dibuat oleh Pew Research Center (2012). Meski rilis ini dikeluarkan tujuh tahun lalu tetapi hasilnya masih relevan digunakan hingga kini. Rilis menyebutkan 36% pengguna menganggap media sosial penting untuk mengikuti berita politik dan 25%-nya mengaku penting bagi mereka untuk menemukan orang yang dapat berbagi mengenai pandangan politik.
Gun, seorang pekerja media, mengakui bahwa media sosial memang memiliki dampak. Ia cukup aktif berbagi informasi mengenai politik. Namun bukan Facebook atau Twitter yang ia pilih, melainkan Instagram. “Karena lingkungan di sekitar gua lebih banyak pakai Instagram,” ujarnya mengucapkan alasan pemilihan platform.
Ia mengaku sebelum terpapar informasi di media sosial, ia sudah mantap memilih Prabowo. Salah satu caranya menilai adalah mengikuti kinerja sang petahana juga memeriksa akun media sosial dari kedua kubu. Kinerja petahana yang tidak cukup memuaskan membuat ia semakin yakin memilih Prabowo yang memang telah menjadi pilihannya sejak 2014. Hal serupa juga dilakukan oleh Riska, seorang mahasiswi. “Masyarakat gak puas sama Jokowi.” Ia yakin lebih banyak masyarakat yang menyukai Prabowo dibanding Jokowi.
Mutiono, seorang PNS di Papua, mengaku ia telah setia memilih Jokowi sejak 2014. Ia juga mengaku pada pemilu yang lalu aktif berdebat maupun membagikan informasi mengenai Jokowi di media sosialnya. Ini sesuai dengan rilis Pew Research Center bahwa 26% pengguna menganggap penting bagi mereka merekrut orang lain terlibat dalam isu politik dan 25%-nya menganggap penting untuk berdebat atau berdiskusi mengenai isu tersebut. Uniknya, tidak semua pemilih memiliki pilihan yang sama dengan pemilu periode sebelumnya.
Endah, seorang ibu rumah tangga mengaku ia dan keluarga berpindah haluan. “Dulu Prabowo, sekarang Jokowi”. Ia merasa senang tiap kali melihat rombongan sang petahana melewati kantornya (sebelum memutuskan resign dan menjadi irt). Platform yang memengaruhi Endah dalam memilih Jokowi adalah Youtube. Ia rajin menonton vlog-vlog mengenai Jokowi meski bukan dari akun resmi sang petahana melainkan dari sudut pandang orang di sekitarnya. Sikap Jokowi dinilai rendah hati.
Meski tren menunjukkan berita mudah viral dan diterima masyarakat di Facebook maupun Twitter bahkan Instagram, kini peran YouTube tidak dapat dipungkiri lagi. Youtube mulai dilirik sebagai sebuah platform politik yang menjanjikan.
Menurut Lachrystal D. Ricke dalam bukunya The Impact of YouTube on US Politics, Youtube memungkinkan publik lebih terlibat lagi dengan politik. Pengguna dapat menonton debat secara live dan menuliskan komentar sehingga langsung dapat memberikan feedback. Level interaktif inilah yang ditawarkan kepada publik. Feedback membuat publik merasa lebih dilibatkan sekaligus lebih dekat dengan politisi. Meski ada kekhawatiran feedback yang diberikan buruk—sehingga sang politisi berusaha meredam atau menghapusnya—kini tren kampanye modern menunjukkan feedback positif maupun negatif tetap diterima dengan tangan terbuka.
Bentuk lain dari feedback tidak hanya dalam bentuk komentar saja. Generasi muda justru menjadi lebih kreatif lagi dengan membuat meme politik. Di Inggris dan Amerika, meme telah memainkan peran yang krusial dalam kampanye politik. Membuat jokes bahkan olokan terhadap politisi justru membuat bahan-bahan kampanye yang sulit dicerna menjadi lebih mudah diterima. Pada beberapa debat capres di pemilu kali ini pun generasi muda di Indonesia juga memanen banyak meme. Contohnya ketika Prabowo berjoget. Di kesempatan berikutnya Prabowo menjelaskan menari adalah salah satu kegiatan yang disukai oleh keluarganya dan ia sudah terbiasa berjoget.
Memang betul bahwa tidak semua sumber informasi di media sosial dapat dijadikan rujukan sebagai informasi yang valid. Kita juga sebaiknya tidak mudah dipengaruhi oleh status maupun komentar pengguna media sosial mengenai para politisi. Dengan melimpahnya informasi dan akses yang ada, kita justru harus lebih selektif lagi dalam menerima dan mencerna. Terlebih lagi politik adalah komoditas yang mahal harganya.
Politik mempengaruhi seluruh sendi kehidupan kita. Sudah seharusnya kita tidak puas dengan hanya informasi sepotong-sepotong yang didapat dari media sosial. Media sosial mungkin memudahkan kita tetapi keputusan mengenai siapa yang harus dipilih tetap harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan pertimbangan yang matang. Dan lagi, jangan sampai kita salah memilih hanya karena informasi hoax.
Referensi:
The Guardian, BBC, Harvard Divinity School, The Conversation, Politico, Digital Marketing Institute, Pew Research Center, Tought Co, IAPSS