Yonaguni merupakan bagian dari Kepulauan Yaeyama di Jepang, pulau berpenghuni berlokasi di ujung barat, di perfektur Okinawa. Aika Higashimori adalah sineas muda yang lahir di pulau terpencil tersebut, tumbuh besar tanpa akses bioskop dan toko sewa VCD, yang baru bisa ia nikmati setelah beranjak SMA.
Hal tersebut mungkin menjadi salah satu pengaruh pada gaya filmmaking Higashimori, terutama pada film docu-fiction “Bachiranun” yang membawanya pada Grand Prize di Pia Film Awards 2021 lalu. Kini kita berkesempatan menonton “Bachiranun” di JFF+ Independent Cinema 2023.
“Bachiranun” merupakan film docu-fiction tentang kampung halaman Higashimori, Yonaguni, dibawakan dengan bahasa asli setempat yang mungkin tidak terlalu kita pahami karena terdengar sama dengan bahasa Jepang. Melalui film ini, sutradara ingin memperkenalkan dan menghidupkan kenangan akan Yonaguni, semacam memoar. Untuk mengingat setiap kebudayaan, panorama alam, hingga bahasa lokal. ‘Bachiranun’ sendiri diambil dari bahasa Yonaguni yang berarti ‘jangan pernah melupakan’. Menjadi pesan yang sentimental, baik dimaknai dari sudut pandang sutradara maupun untuk kita penonton dari luar Yonaguni.
Melalui press JFF+, Higashimori mengungkapkan bahwa film ini adalah proyek film yang ia buat untuk tugas akhir kuliahnya (di Universitas Kyoto). Rencana awal adalah untuk syuting film panjang di Yonaguni. Namun perubahan besar terjadi dalam proses syuting karena pandemi. Akhirnya dengan menyesuaikan situasi, lahirlah “Bachiranun” sebagai film docu-fiction yang unik. Film ini memiliki berbagai elemen dokumenter, berdasarkan latar dan kisah nyata. Kemudian ditambah dengan elemen fiksi yang surealis dan simbolis sebagai visualisasi dramatis.
Higashimori tampil sebagai salah satu karakter dalam film ini, sebagai gadis dalam balutan seragam sekolah yang polos. Kemudian ada pemuda dengan topi jerami, wanita yang membawa tulang kemana-kemana, hingga sekelompok orang dengan topeng kepala kuda yang offbeat. Adapula karakter-karakter yang terlihat lebih otentik yaitu kakek dan nenek Higashimori, nelayan setempat, hingga sekelompok murid sekolah yang berlatih untuk menari di festival.
“Bachiranun” merupakan gabungan antara realism dan surrealism yang lembut transisinya, melebur menjadi satu tanpa kecanggungan. Terkadang kita melihat adegan festival, ritual, dan aktivitas dari footage nyata. Namun ada kalanya kita melihat presentasi sinematik dengan karakter-karakter unik yang meminum air berwarna hijau, buah berwarna biru, dan adegan-adegan yang terlihat dreamy.
Kita akan menyimak kisah tentang Yonaguni melalui nenek Higashimori, menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu dan masa kini, mulai dari kisah sulit para pekerja tekstil karena sistem kekuasaan buruk di masa lalu, ritual lokal, hingga teman dan keluarga yang mulai meninggal pulau. Ini seperti menyimak cerita yang tidak utuh dari nenek kita, namun tetap memberikan gambaran personal tentang kampungan halaman.
Dengan pendekatan editing dan tema narasi yang eksperimental, ini bukan film dokumenter yang ‘merekam’ Yonaguni sebagai ‘informasi’ yang kaku, namun lebih seperti ‘kenangan’, memori yang sentimental dan acak. Akhirnya serasi dengan pesan ‘jangan pernah melupakan’ yang menjadi slogan utama melalui film ini. Mulai dari puisi, syair, musik, tarian, dan nyanyian tradisional dari pulau ini ditampilkan dengan acak seperti fragmen-fragmen memori.
Lebih dari sekadar tontonan yang membuat penonton menyimak, ini juga menjadi tontonan yang inspiratif dari segi filmmaking. Disutradarai, dibintangi, dan di-edit sendiri oleh Higashimori, bersama dengan crew yang juga tampil dalam film ini sebagai pemuda pemudi unik. Bisa menjadi sumber inspirasi dan memicu kreatifitas kita dalam menciptakan film yang di luar ‘pakem’. Terutama untuk format dokumenter yang memiliki aturan lebih ketat dari pada film fiksi umum.
Meski dengan segala elemen eksperimental, keunikan yang original, dan pesona visualnya, harus diakui “Bachiranun” mungkin bukan untuk segmentasi penonton yang universal. Kecuali bagi kita yang memang mempelajari bahasa dan kebudayaan Jepang, minimal memiliki ketertarikan terbuka untuk berbagai ekspos budaya Jepang bahkan yang se-niche ini. Namun jika memperhatikan tema JFF+ Independent Cinema 2023, film ini cocok sekali masuk dalam lineup karena banyak film-film dalam kesempatan ini menonjolkan tempat-tempat di Jepang. Baik dalam film fiksi maupun dokumenter.
Durasinya hanya 61 menit, jadi tak ada ruginya untuk ditonton. JFF+ Independent Cinema 2023 sedang berlangsung, semua film dalam katalognya bisa kita streaming hingga 31 Oktober mendatang.