Tanggal 22 Oktober mendatang akan menandai suatu pencapaian baru dalam filmografi science-fiction di dunia. Seperti “The Suicide Squad” yang berhasil menyajikan formula berbeda dalam tampilan film superhero. Rilisnya film “Dune” telah disebut-sebut akan membawa sesuatu yang berbeda pula dibanding film fantasi dan science-fiction sebelumnya.
“Dune” garapan Denis Vilenueve merupakan usaha adaptasi yang ketiga dari novel legendaris karya Frank Herbert. Cerita mengambil latar di sebuah tempat beriklim gurun pasir bernama Arrakis. Di tempat ini, klan-klan feudal saling memperebutkan kekuasaan di atas rempah-rempah yang paling berharga di dunia saat itu yang dikenal sebagai “melange”.
Di saat yang sama, anak laki-laki yang mulai beranjak dewasa dari klan protagonis Artreides terus menerus mendapat mimpi bahwa dia adalah utusan untuk melindungi bangsa pribumi planet Arrakis yang tertindas, bangsa Fremen. Agak ironis sebetulnya, meskipun berlatarkan masa depan, premis cerita yang diangkat justru “masa lalu” sekali.
Baca Juga: Dune Review
Selain terkenal dari aspek Sci-Fi dan fantasinya, “Dune” juga menyajikan elemen-elemen ‘coming of age story’, dipadukan dengan isu-isu environmental, politik, juga spiritualisme dan mitologi. Lalu, mengapa film ini berbeda dari film-film Sci-Fi dan fantasi yang lain? Kita bisa menaruh pujian kepada cerita original yang sudah dibawa oleh Frank Herbert dalam novelnya.
Banyak perdebatan tentang pelabelan novel Frank Herbert sebagai novel Sci-Fi. Pasalnya, novel ini tidak benar-benar seperti Sci-Fi kebanyakan, bahkan sebagian pembaca lebih setuju jika novel ini disebut sebagai novel fantasi. Tapi di atas itu semua, tidak ada satu genre yang tepat untuk mendefiniskan novel Herbert.
Konflik utama bukan terletak pada masalah teknologi ataupun makhluk mistis, tetapi kepada interaksi antara para tokohnya dengan kekuatan yang ada di alam semesta. Perilisan “Dune” karya Denis Villeneuve sudah ditunggu-tunggu oleh para penggemar novel Frank Herbert, yang penasaran apakah Denis sanggup untuk membawa cerita yang tidak biasa tersebut ke film blockbuster.
Denis Villeneuve sendiri merupakan pengagum dari Frank Herbert. Ia membaca keseluruhan enam novel “Dune” dan mendapat pengaruh yang besar darinya. Kecintaannya terhadap novel “Dune” yang menjadi motivasinya untuk membuat film ini. Alhasil, “Dune” menjadi salah satu karya paling ambisius yang dibuat oleh sutaradara “Blade Runner 2049” ini.
Digadang-gadang Menjadi “Pop Culture Cult” Layaknya “Star Wars”, “Lord of the Rings”, dan “Game of Thrones”
Seharusnya, anggapan ini menjadi kenyataan. Sebab, epik-epik di atas justru terinspirasi oleh novel “Dune”. Terbit tahun 1965 menjadikannya sebagai perintis epik genre fantasi-scifi. Frank Herbert memperkenalkan “world-building” yang digunakannya ketika merencakanan landskap planet Arrakis dan orang-orangnya.
Riset ekologi yang mendalam selama bertahun-tahun tentang gurun dan ekosistemnya dilakukan oleh Herbert. Riset tersebut menjadikan segala fenomena alam ataupun asal muasal suatu kejadian dapat diceritakan secara gamblang. Kegiatan “world building” yang total inilah yang seharusnya dimiliki siapapun pengarang novel epik fantasi, sehingga pemaca tidak perlu mempertanyakan “Mengapa hal ini bisa terjadi?”
Kebanyakan istilah dalam cerita “Dune” bahkan memiliki halaman Wikipedia-nya sendiri. Bagi yang membaca novel Herbert, mereka akan dipusingkan dengan beragam istilah baru dan perkenalan tokoh yang sangat banyak. Itulah sebabnya di bagian belakang buku terdapat glosarium untuk memudahkan pembaca. Bisa dibilang, Herbert adalah aristektur yang merancang suatu kota fantasi secara mendetail untuk ditinggali oleh karakter-karakter ciptaannya, sehingga semuanya dapat terjadi.
Potensi untuk menjadikan film ini menjadi salah satu “pop culture cult” didukung oleh fakta bahwa novel Herbert sudah punya cult nya sendiri. Sayangnya, hanya belum ada film yang benar-benar bagus dari “Dune”, sehingga “Star Wars”, “Lord of the Rings”, hingga “Game of Thrones” terlanjur mengambil ide-ide brilian untuk menciptakan film epik yang menggaet banyak penggemar.
Kompleksnya Komponen Cerita Membuatnya Sempat Gagal Dua Kali Sebagai Sebuah Film
“Dune” merupakan kisah fantasi yang sangat kompleks. Menceritakan perseteruan antar faksi, sang penulis Frank Herbert perlu 6 buku untuk menjelaskan latar belakang tiap faksi dan keterkaitan mereka dalam konflik perebutan kekuasaan ini
Kerumitan untuk menjadikan kisah ini ke layar film bukan hanya datang dari segi vsiualisasi latar cerita dan makhluk-makhluk nya yang ‘beyond imaginable’, melainkan juga dari pesan yang tidak yakin akan tersampaikan dengan baik melalui dialog dan aksi-aksi yang diperankan dalam film. Pasalnya, yang menjadikan “Dune” sebagai “Dune” yang dikenal sebagai karya influential adalah nilai-nilai ekologis, filsafat, dan spiritualisme nya yang meresap dalam setiap kata, dialog, dan halaman buku tersebut.
Jika film yang dihasilkan oleh Villeneuve hanya bagus dari segi blockbuster dan cerita yang epik, tanpa menyajikan cara-cara kreatif untuk memancarkan nilai-nilai asli dari “Dune”, akan sangat disayangkan.
Usaha pertama yang menjanjikan untuk menjadikan “Dune” ke dalam bentuk film datang dari sineas Prancis, Alejandro Jodorowsky, yang menggunakan gaya psikedelik untuk memvisualisasikan “Dune”. Namun, film ini kekurangan dana dan gagal rilis. Justru, proses pembuatannya pada dekade 70-an dijadikan film dokumenter pada 2013 dengan judul “Jodorowsky’s Dune”.
Setelah Jodorowsky, kehormatan untuk membuat film “Dune” jatuh ke Ridley Scott, yang kemudian keluar dari proyek dan memilih untuk fokus kepada proyek yang lebih menjanjikan, Blade Runner.
Setelah itu, pembuatan film diprasahkan kepada David Lynch, yang menerima tawaran produser dan meninggalkan proyek “The Return of The Jedi”. Namun, seperti kutukan, film yang meskipun berhasil rilis pada 1984 ini tetap mendapat krtik yang buruk. Bahkan, David Lynch sendiri mengatakan bahwa “Dune” garapannya adalah sebuah kegagalan total dan betapa film itu bukanlah jenis film yang ingin ia buat. Saking malunya, dia berpesan kepada tim produksi untuk menghapus namanya dari credit.
Namun, sebelum menonton “Dune” versi Denis Villeneuve pada 22 Oktober mendatang, sangat direkomendasikan untuk menonton “Dune” versi David Lynch. Jika dibandingkan dengan trailer dan clips yang sudah muncul, terdapat nuansa yang berbeda di antara keduanya.
Kiranya yang membuat versi David Lynch memiliki nilai plus dibanding versi Villeneuve adalah, versi Lynch dengan gayanya sendiri akan membuat penonton merasa terjebak di dalam “Dune”. Penggambaran tokoh Lynch membuat penonton ngeri sekaligus jijik dengan para villain nya. Dengan suasana yang seperti mimpi buruk, kita diajak bersimpati dengan para protagonis yang memiliki nasib naas dengan terjebak di dunia yang kacau balau.
Melihat trailer Denis Villeneuve, penonton telah dibuat takjub dengan visual dan special effect yang sangat keren. Bisa dipastikan film ini akan berisikan adegan-adegan “jaw dropping” khas film-film blockbuster, seperti adegan cacing raksasa yang muncul di trailer. Dalam aspek ini, versi Villeneuve berbeda 180 derajat dengan versi Lynch.
Di versi Villeneuve, penonton akan dibuat kagum dan cenderung kurang merasakan kengerian dari “Dune”. Dengan perbedaan ini, versi Lynch terlihat lebih dekat kepada esensi dari buku Frank Herbert, yang menggambarkan “Dune” sebagai tempat penuh kegelapan di mana orang-orang memperebutkan kekayaan alamnya untuk menjadi yang terkuat.
Sarat Muatan Tentang Imperialisme dan Permasalahan Dunia Ketiga
“Dune” menyajikan alegori politik yang menarik dan sebenarnya sangat terbuka untuk interpretasi. Sebab itulah, meskipun novel ini adalah novel legendaris dan influential, tidak semua orang menyukainya. Jika dilihat dari latar belakang Herbert, sulit untuk menentukan di mana dia berpihak dalam imperialisme. Hal ini juga menarik perhatian dari kalangan cendekiawan untuk menganalisis “Dune”.
Yang jelas, Herbert telah menggambarkan imperialisme yang dipadukan dengan modernisasi teknologi sebagai suatu perbuatan yang dapat membuat dunia tidak bisa berjalan dengan damai. Hal ini disimbolkan oleh serangan cacing yang datang untuk menjaga rempah-rempah, juga tertindasnya bangsa pribumi dari planet Arrakis, Fremen. Herbert menyuarakan bagaimana efek dari kemajuan teknologi yang disalahgunakan pada sebuah wilayah dan komunitasnya.
Aspek mitologi yang menjadi ciri khas cerita sci-fi dan fantasi pun juga terasa dari sini. Dan menariknya, mitologi atau kepercayaan yang ada dapat ditemukan pada negara-negara “dunia ketiga”.
Pada film sosok Paul Artreides dianggap sebagai Mu’addib sang juru selamat yang dapat mengeluarkan penduduk Fremen dari nasib buruknya. Kata Mu’addib berasal dari bahasa Arab yang artinya guru. Kepercayaan akan juru selamat juga ditemukan di Jawa, yang percaya akan keberadaan Ratu Adil, sosok yang mampu membawa mereka keluar dari penjajahan dan kesengsaraan.
Bagi para penganut politik sayap kanan, hal ini bisa dipandang melalui kacamata fasisme, dimana mereka percaya adalah tugas sebuah ras atau kelompok tertentu untuk memimpin ras yang lain dari keterbelakangannya. Dari sini, tidak dapat dipungkiri pula kalau Herbert memiliki kecenderungan orientalisme. Maka dari itu, sangat menarik untuk mengetahui sisi mana yang dipilih oleh Denis Villeneuve untuk ditunjukkan dalam filmnya.
Terlepas dari kontroversi di atas, yang terpenting adalah kisah ini membawa isu environmental yang relevan dengan situasi saat ini. Sebuah kekayaan alam tidak seharusnya dieksploitasi sedemikian rupa hingga menimbulkan korban dan perpecahan di mana-mana. Isu environmental masih terasa jauh dari masyarakat, padahal sebenarnya dekat sekali. Isu ini seringkali tertimbun isu politik dan ekonomi.
Herbert telah menunjukkan keprihatinannya akan masa depan alam jika perilaku manusia masih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Latar cerita berlangsung di masa depan, namun konflik yang dibawa sangat mirip dengan era imperialisme yang terkenal pada abad 16-17. Konflik tersebut masih relevan ketika Herbert membuat “Dune”, dan disandingkan dengan hari ini, masih juga relevan.
Pertanyaan pun timbul, apakah sejarah berulang, ataukah sifat manusia tak pernah berubah? Dengan ini, kisah “Dune” akan tetap menarik untuk dibaca dari waktu ke waktu untuk menjadi refleksi, sudah seberapa jauh kemanusiaan melangkah?