“Against the Ice” (2022) merupakan film survival drama yang baru saja rilis di Netflix. Film ini diadaptasi dari buku Ejnar Mikkelsen, “Two Against the Ice”, dimana Ia menceritakan kisahnya dalam misi ekspedisi di Greenland bersama rekannya, Iver Iversen pada 1909. Nikolaj Coster-Waldau (pemeran Jamie Lannister dalam Game of Thrones) berperan sebagai Kapten Mikkelsen sekaligus ambil bagian dalam proses penulisan naskah bersama Joe Derrick.
Ejnar Mikkelsen adalah seorang penjelajah kutub dari Denmark. Pada 1909, Ia melakukan misi ekspedisi di Pulau Shannon, bagian timur Greenland. Misi Ejnar adalah menemukan bagian yang belum tercatat di peta, meneruskan misi dari penjelajah Denmark sebelumnya yang gagal.
Meski tekad Kapten Mikkelsen kuat, tak banyak dari rekan satu ekspedisinya yang mau melanjutkan penjelajahan setelah salah satu rekan mereka lumpuh. Iver Iversen, seorang mekanik tanpa pengalaman ekspedisi lapangan di kutub sebelumnya, menjadi satu-satunya orang yang mengajukan diri untuk menemani Ejnar Mikkelsen.
Ekspedisi Ejnar Mikkelsen dan Iver Iversen Menerjang Kutub Minim CGI
Di bawah arahan sutradara Peter Flint, syuting film dilakukan di kawasan kutub sungguhan di Greenland. “Against the Ice” menjadi film dengan latar alam ekstrim yang secara maksimal diusahakan untuk tidak mengandalkan CGI. Satu-satunya elemen yang menggunakan CGI dalam film ini adalah beruang. Bahkan Flint hampir saja benar-benar ingin menggunakan beruang kutub suguhan dalam filmnya ini.
Dari awal hingga akhir, panorama pegunungan dan daratan es mendominasi setiap adegan dengan mengambil gambar wide angle. Perpaduan antara sinematografi dengan musik Volker Bertelmann membentuk sajian drama survival yang terasa melankolis ketimbang heroik.
Selain sekuen interaksi antara Mikkelsen dan Iver, kita akan disuguhi berbagai momen petualangan keduanya menerjang kutub. Mulai dari menegangkan hingga yang sentimental. Tak mengubah banyak dari materi sumbernya, kronologi petualangan Mikkelsen dan rekan barunya disajikan apa adanya, bahkan minim dramatisir.
Bagi kita yang memiliki ekspektasi film drama survival seperti “Everest” (2015) atau “The Revenant” (2015), film Nikolaj Waldau ini tak menyuguhkan naskah semegah kedua film sejenis.
Kisah Sentimental dari Seorang Penjelajah yang Ambisius
Sebagai naskah adaptasi buku, “Against the Ice” bisa dibilang informatif. Kurang lebih kita bisa mengetahui beberapa teknik bertahan hidup di kutub. Banyak adegan menyajikan dialog tentang memperlakukan anjing hingga membaca medan ketika sedang menjelajahi kutub. Objektif Kaptain Mikkelsen juga jelas, yaitu mengklaim wilayah ekspedisi dari penjelajah sebelumnya.
Kita bisa menangkap gambaran besar bahwa Mikkelsen melakukan hal ini demi Denmark, hingga menghormati usaha dari penjelajah sebelumnya yang tidak selamat. Namun, terlebih lagi, Ia melakukan pekerjaan ini karena Ia merasa tak akan ada yang melakukannya kalau bukan dia. Nikolaj Waldau mampu memberikan penampilan yang sentimental sebagai Mikkelsen.
Bagi yang telah menonton banyak film penjelajahan atau pendakian serupa, pasti paham dengan perasaan melankolis yang kerap dirasakan oleh orang-orang seperti Mikkelsen ketika sedang terisolasi di alam, jauh dari orang-orang yang Ia cintai. Ada perdebatan antara ambisi untuk menaklukan alam. Namun pada akhirnya, kita selalu melihat bahwa seorang lone-wolf sekalipun bisa merasa kesepian.
Film Biografi yang Kronologis Namun Kurang Monumental
Ada banyak film biografi kerap menuai ulasan baik, namun “Against the Ice” sayangnya bukan salah satu yang terbaik dalam daftar. Tidak bisa dibilang flop juga secara kualitas, film ini bisa dikategorikan memiliki sisi hambar maupun kekuatan yang seimbang. Tidak buruk, namun tidak monumental untuk memikat penontonnya.
Plot yang disajikan juga cenderung slow-burn, bisa menimbulkan kebosanan pada penonton di pertengahan film. Adegan-adegan yang seharusnya jadi pinpoint moment penting juga tidak diarahkan untuk menimbulkan agenda yang sinematik.
Film biografi memang sejatinya memuat materi plot yang tak jauh dari materi sumber. Entah dari buku biografi, atau kumpulan catatan sejarah melalui research penulis naskah. Namun, sebagai naskah film, harus ada esensi atau pesan utama yang hendak diberikan pada penonton dalam sebuah film biografi.
Tak hanya informatif, film juga harus tetap memikat dengan mengandalkan teknik produksi film dengan memperhitungkan nilai estetika. “Against the Ice”, merupakan film biografi yang kronologis dan informatif, namun kurang menggugah secara sinematik.