“A World Without” merupakan film Indonesia bergenre drama fiksi ilmiah yang kini sudah tayang di Netflix. Film yang dibintangi oleh Amanda Rawles dan Chicco Jerikho ini memiliki genre yang masih jarang dalam katalog film lokal.
Bercerita tentang tiga gadis remaja yang memutuskan untuk bergabung dengan The Light, institusi swasta yang menjanjikan kehidupan lebih baik di tengah kehidupan yang sulit pasca pandemi.
Film dengan genre yang langka dalam industri film lokal ini hendak menyuguhkan materi seputar pemberdayaan wanita dalam kemasan dunia dystopia bernuansa art-house film.
Menyuguhkan Tema Fiksi Ilmiah Terbaru dalam Industri Perfilman Indonesia
Di masa depan, tepatnya pada tahun 2030, dunia mengalami penurunan kualitas hidup setelah pandemi COVID-19. Angka kelahiran bayi semakin menurun, sementara angka kematian semakin tinggi.
The Light merupakan sebuah institusi swasta yang menjanjikan kehidupan lebih baik bagi setiap remaja yang hendak bergabung. Dimulai dari jenjang pendidikan untuk mengembangkan bakat, sistem perjodohan yang akurat, untuk masa depan yang lebih cerah. Dipimpin oleh pasangan suami istri yang kharismatik, The Light tidak secemerlang yang dibayangkan oleh Salina (Amanda Rawles), Ulfah (Maizura), dan Tara (Asmara Abigail).
Sebetulnya genre drama fiksi ilmiah sudah semakin marak berkembang di skala hiburan dunia. Mulai dari serial “Black Mirror” hingga “The Handmaid’s Tale”, merupakan jenis dystopia yang memiliki latar peradaban manusia dengan materi penyimpangan moral yang “dihalalkan”.
“A World Without” akan cukup mengingatkan kita pada “The Lobster” (2015). Namun, film karya Nia Dinata ini masih memiliki cukup banyak “PR” untuk memenuhi standar film dystopia futuristik yang sempurna.
Sudut Pandang Protagonis yang Menarik Namun Kurang Fokus Dieksplorasi
Salina menjadi protagonis yang memiliki posisi menarik dalam film ini. Berawal dari perempuan lugu yang penuh dengan ekspektasi gemilang pada The Light. Secara perlahan kita bisa melihat optimisme dan rasa percaya dirinya digerus oleh sistem institusi tersebut. Mulai dari cintanya yang dirampas dengan cara paling menyakitkan, hingga pada akhirnya menghadapi sesuatu yang mengejutkan dan mengerikan.
Sayangnya, “A World Without” memiliki banyak materi yang ingin disajikan, berakhir dengan perkembangan plot yang kurang fokus, terutama pada kisah cinta protagonis yang sangat menarik pada babak pertama.
Selain protagonis, karakter-karakter yang menjadi antagonis juga memiliki penokohan yang kurang sempurna. Niatnya dibuat misterius, namun berakhir dengan banyak misteri yang tidak terjawab. Kita hanya tahu kemungkinan-kemungkinan terburuk yang menjadi motif dari antagonis, namun tidak ada latar belakang dan jawaban akhir yang memperkuat penokohan mereka.
World-Building Latar Dystopia masih Lemah dan Memiliki Banyak Plot Hole
Sebagai film dengan materi fantasi namun ingin relevan dengan kehidupan nyata, “A World Without” memiliki world-building yang masih nanggung. Secara produksi, bisa diakui effort-nya untuk menampilkan The Light sebagai ‘dunia baru’. Mulai dari smartwatch, smartphone, hingga berbagai gadget yang futuristik.
Desain interior beberapa ruangan dalam institusi The Light, hingga tata rias dan make up para karakter yang terasa fantasinya. Namun, tanpa ‘prinsip’ dunia baru yang kuat, fantasi yang disuguhkan jadi terasa seperti replika atau dummy. Ada banyak referensi futuristik terutama sosial media dan minat yang lebih mengarah pada industri konten. Namun, objektif, motif, dan eksekusi dari konsep tentang The Light tidak membentuk satu ‘ide’ yang mampu meyakinkan penonton.
Ada salah satu prinsip tentang bagaimana dalam film ini terlihat setiap karakter ditunjukan memiliki obsesi untuk menemukan belahan jiwa dan memulai rumah tangga. Sebuah prinsip atau pemikiran yang rasanya sudah ditinggalkan oleh perempuan masa kini. Apalagi pada perempuan di tahun 2030 mendatang? Ada kontradiksi antara materi yang futuristik dan konservatif dalam naskah “A World Without”.
Banyak plot hole yang tidak diberikan kejelasan hingga akhir film. Sekilas, penonton bisa memiliki banyak prediksi atau pemikiran sendiri akan beberapa adegan yang krusial. Namun, naskah dari film ini sendiri tak pernah memberikan kelanjutan kisah yang memperjelas prediksi penonton.
Pada akhirnya, “A World Without” telah membuka jalan untuk genre baru yang patut dipopulerkan di industri perfilman Indonesia, yaitu drama dystopia yang menyinggung isu sosial. Namun, masih banyak aspek dalam film ini belum cukup sebagai standar drama fiksi ilmiah futuristik sempurna.
Semoga kedepannya semakin banyak filmmaker lokal yang mau menggodok film dengan genre ini lebih matang, dengan world-building yang lebih sempurna.