Connect with us
Formula Film dan Serial Remaja Paling Mainstream

Entertainment

9 Formula Film dan Serial Remaja Paling Mainstream

Premis yang sudah terlalu sering kita temukan di film maupun serial remaja.

Tema coming of age merupakan salah satu komoditi terpopuler dalam industri perfilman maupun serial. Tak terhitung berapa banyak film dan serial remaja terbaru yang bisa rilis dalam setahun, baik di platform streaming maupun bioskop.

Sekalipun genre ini produktif melahirkan banyak judul baru, pernahkah kita merasa banyak kesamaan dari semua film dan serial drama remaja pada umumnya? Tak hanya dalam segi cerita dan penokohan, begitu juga dengan pola produksi yang digunakan.

Drama remaja biasanya memuat cerita tentang percintaan sekaligus kisah pencarian jati diri. Berikut beberapa formula film maupun serial remaja paling mainstream.

The End of the F***ing World Season 1 | Netflix

The End of the F***ing World Season 1 (Netflix)

1. Narasi dari Protagonis

“I’m James. I’m 17. And I’m pretty sure I am a psychopath”, begitulah dialog pertama dari James sebagai protagonis dalam “The End of The F**ing World”. Tidak hanya dalam serial tersebut, kita pasti sudah sangat sering menemukan format pengenalan karakter dengan teknik narasi seperti ini dalam film maupun serial drama remaja.

Teknik narasi seperti ini memudahkan kita untuk mengenal karakter utama maupun karakter pendukung lainnya secara instan. Begitu juga memahami perasaan protagonis tanpa harus menafsirkan ekspresi wajah dan sebuah adegan yang sedang terjadi.

Film seperti “Twilight” (2008), “Mean Girls” (2004), “Clueless” (1995), merupakan segelintir film remaja yang menerapkan teknik narasi diisi langsung oleh aktor yang berperan sebagai protagonis.

2. Karakter Manic Pixie Dream Girl

Istilah Manic Pixie Dream Girl (MPDG) pertama kali dipopulerkan oleh kritikus film, Nathan Rabin. Istilah tersebut Ia dapatkan setelah menganalisis peran Kirsten Dunst dalam film “Elizabethtown” (2005).

MPDG adalah gambaran sempurna dari karakter perempuan yang hadir untuk mendukung protagonis laki-laki, seringkali hadir dengan penokohan yang eksentrik dan ceria untuk mewarnai hidup protagonis yang hambar. Premis tentang protagonis yang sedang kebingungan dalam mencari jati diri atau memiliki kehidupan membosankan seringkali disandingkan dengan karakter pendukung yang lebih menarik.

MPDG merupakan rumus termudah untuk mewujudkan hal tersebut. Tak hanya untuk karakter perempuan, penokohan MPDG juga kerap kita temukan pada beberapa karakter laki-laki (manic pixie dream boy).

Beberapa karakter film sebagai contohnya adalah Margo (Cara Delevingne) dalam “Paper Towns” (2015), Susan Caraway (Grace VanderWaal) dalam “Stargirl” (2020), dan Augustus Waters (Ansel Elgort) dalam “The Fault in Our Stars” (2014).

3. Karakter dengan Penyakit Kronis

Membuat salah satu karakter meninggal dianggap sebagai cara mudah untuk mengakhiri sebuah film maupun serial drama secara dramatis. Penonton pasti sudah tidak asing lagi film drama remaja dengan formula ini.

Tak hanya di Hollywood, begitu pula di industri film Indonesia. Mulai dari “Cinta Pertama” (2006) yang dibintangi oleh Bunga Citra Lestari, “Heart” (2006), dan masih banyak lagi pastinya. Kalau dari Hollywood, “A Walk to Remember” (2002) merupakan salah satu yang paling ikonik, dibintangi oleh Mandy Moore dan Shane West.

Sementara beberapa judul terbaru dengan premis yang nyaris sama semua di antaranya “The Fault in Our Stars” (2014), “Midnight Sun” (2018), “Five Feet Apart” (2019), serta “Departures” (2018) yang dibintangi oleh Maisie William dan Asa Butterfield. Satu rekomendasi film drama remaja dengan formula ini namun memiliki eksekusi yang sedikit berbeda dan patut ditonton adalah “Me and Earl and the Dying Girl” (2015).

4. Sederet Karakter Stereotypical

“The Breakfast Club” (1985) merupakan salah satu contoh film drama remaja dengan lineup karakter dengan stereotip paling tegas. Sebagai salah satu film remaja terbaik sepanjang masa, formula ini tak sekadar diaplikasikan pada film tersebut tanpa tujuan. Maksudnya adalah untuk merepresentasikan setiap latar belakang remaja dan masalah yang mereka hadapi. Meski bisa dibilang sangat aneh bahwa setiap karakter yang memiliki kepribadian berbeda bisa secara “tidak sengaja” menjalani hukuman bersama-sama saat akhir pekan.

Hampir setiap film drama remaja memiliki sederet karakter dengan stereotip yang kontras satu sama lain. Contohnya seperti gang Cinta (Dian Sastrowardoyo) dalam “Ada Apa dengan Cinta?” (2002). Selalu ada protagonis yang lebih kalem, kemudian berdampingan dengan sahabat yang lebih ceria atau menjadi “badut” dalam film.

Kemudian hadirnya laki-laki tampan yang menjadi “pangeran”, tak ketinggalan karakter perempuan yang menjadi Queen Bee atau murid populer yang jahat. Serial remaja seperti “Skins” dan “Euphoria” juga hadir dengan formula satu ini.

5. Karakter dengan Latar Belakang LGBTQ

Seiring dengan berkembangnya zaman, kini makin banyak film coming of age atau romansa remaja yang hendak menjadi representasi dari kaum LGBTQ. Sebuah trend yang alami terutama di industri perfilman Hollywood.

Film seperti “Call Me By Your Name” (2017) dan “Love, Simon” (2018), merupakan contoh dari film drama remaja tema LGBTQ terbaik. Meski terkadang tidak menjadi topik utama, sudah menjadi hal yang “wajib” untuk menyisipkan karakter remaja dengan latar belakang tersebut sebagai potret lingkungan pergaulan remaja masa kini.

6. Percintaan yang Tumbuh dalam Persahabatan

Satu lagi premis yang paling sering kita temui dalam drama romansa remaja adalah percintaan yang tumbuh dari persahabatan. Dimana ada kedua karakter sudah mengenal satu sama lain sejak kecil, maupun persahabatan yang baru saja terbentuk.

Dari perfilman lokal sendiri, ada film seperti “Refrain” (2013) yang dibintangi oleh Afgan Syahreza dan Maudy Ayunda “Matt & Mou” (2019), dan masih banyak lagi. Merupakan salah satu referensi cerita yang relatable untuk banyak remaja, namun formula ini lama-lama sangat membosankan untuk ditonton dalam film maupun serial.

7. Romantisme Depresi pada Remaja dan Pergaulan Bebas

Kita pasti melewati fase remaja dimana kita merasa lebih melankolis, labil dalam menentukan jati diri, dan kerap “depresi” tanpa alasan yang jelas. Referensi tersebut diakselerasi menjadi materi film atau serial remaja yang relatable sekaligus artistik. Hal ini masih menimbulkan pro kontra antara sebuah karya artistik yang inspiratif atau romantisme akan depresi remaja yang tidak sehat.

Salah satu contoh paling jelas adalah serial seperti “Skin” dan Euphoria”. Sebagai opera sabun-nya remaja, serial tersebut secara tidak langsung membuat depresi, pergaulan bebas, dan penggunaan obat terlarang terlihat “keren”. Namun, tak dipungkiri bahwa kedua serial tersebut secara sempurna memperlihatkan realita gelap dalam kehidupan remaja dengan berbagai problematikanya.

13 Reasons Why Season 3

13 Reasons Why Season 3 (Netflix)

8. Lagu Hits Populer sebagai Soundtrack

Berbeda dengan kebanyakan film atau serial yang didukung dengan lagu latar instrumental, drama remaja lebih sering memasukan lagu hits sebagai musik latar.

Kita mungkin tidak suka dengan “Twilight” namun tak bisa dipungkiri bahwa film remaja tersebut memiliki album soundtrack dengan tracklist terbaik. Mulai dari Muse, Paramore, Linkin Park hingga Radiohead membuat setiap adegan dalam film tersebut terasa sedikit lebih enjoyable.

Kemudian ada serial kontroversial “13 Reasons Why” yang juga menjadi “tambang” bagi para remaja mendapatkan rekomendasi lagu baru untuk dimasukan dalam playlist.

9. Sinematografi Dinamis dan Dramatis

Film dan serial drama remaja kerap menggunakan konsep sinematografi yang quirky dan eye catching. Presentasi tersebut bisa diwujudkan dengan konsep wardrobe setiap karakter, lokasi syuting yang artistik, hingga memilih filter serta konsep editing.

Film seperti “Submarine” (2010) merupakan salah satu film drama remaja dengan sinematografi terbaik. Ada banyak variasi editing dan angle kamera yang diaplikasikan dalam film tersebut. Kemudian tentu saja, “Euphoria” merupakan serial drama remaja yang memiliki sinematografi kreatif, berani, dan variatif.

Secara umum, remaja menyukai warna dan “dekorasi”, sehingga cukup esensial untuk menciptakan hiburan untuk remaja dengan sinematografi yang memikat.

A Town Without Seasons Review: Suka Duka Warga Hunian Sementara yang Eksentrik

TV

Hazbin Hotel Hazbin Hotel

Hazbin Hotel Review: Balada Hotel di Neraka

TV

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Connect