Connect with us
24 Jam Bersama Gaspar
Netflix

Film

24 Jam Bersama Gaspar Review: Petualangan di Negeri Distopia Suram

Negeri distopia jadi latar petualangan Gaspar melakukan investigasi dan heist bersama tim.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“24 Jam Bersama Gaspar” adalah film drama thriller Indonesia yang tayang di Netflix. Disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, film ini diadaptasi dari novel karya Sabda Armandio pada 2017.

Film ini tayang perdana di Festival Film Internasional Busan ke-28 pada 6 Oktober 2023. Tak ketinggalan prestasi di Festival Film Indonesia 2023 dengan raihan 9 nominasi, berhasil mengklaim Piala Citra untuk kategori Penulis Skenario Adaptasi Terbaik.

Dibintangi oleh Reza Rahadian sebagai Gaspar, ia adalah detektif yang hanya memiliki waktu selama 24 jam sebelum meninggal akibat kondisi jantung bawaan sejak lahir. Waktu tersebut kemudian ia manfaatkan untuk mencari jawaban dari misteri yang masih menghantuinya sejak kecil; hilangnya sahabat masa kecilnya, Kirana. “24 Jam Bersama Gaspar” juga dibintangi oleh Shenina Cinnamon, Kristo Immanuel, dan Laura Basuki.

24 Jam Bersama Gaspar

Kontras Distopia Masa Depan Suram dengan Masa Kecil Gaspar

“24 Jam Bersama Gaspar” dalam medium umum adalah film bergenre drama thriller. Namun ada banyak elemen lain yang bisa kita temukan sepanjang film, mulai dari misteri investigasi dan kriminal dengan peran Gaspar sebagai detektif, hingga heist dan distopia.

Digambarkan latar semesta ‘Gaspar’ adalah Indonesia di masa depan, sayangnya masa depan yang suram. Seperti yang dinarasikan pada lagu pembuka ‘Hal Hal Ini Terjadi’ oleh Fstvlst, dengan hook pada liriknya mereka lahir di masa kekacauan.

Premis sederhana dengan obyektif yang fokus dari protagonisnya, dipresentasikan dengan plot maju mundur. Antara masa kini yang suram dan kelam, dengan masa lalu dimana terlihat lebih cerah, latar yang menenangkan, dan semburat warna-warna pastel. Selain berfungsi untuk menandai transisi dengan sinematografi yang kontras, arahan visual ini juga mendukung muatan makna. Antara masa depan negri distopia yang keras dengan masa kecil Gaspar yang lebih damai.

Banyak Referensi Budaya Pop Asing

Ada banyak referensi budaya pop dalam “24 Jam Bersama Gaspar”. Ada adegan perkelahian di basement ala “Fight Club” (1999), sementara latar kisah dengan sudut-sudut kota yang gelap dan kelam akan mengingatkan kita pada “Escape from New York” (1981) oleh John Carpenter.

Penampilan Gaspar dengan jaket hitam dan bordir naga merah pada bagian belakang diambil dari cover rilisan pertama novelnya. Namun cukup mengingatkan kita pada sosok Ryan Gosling dengan jaket bordir kalajengkingnya pada “Drive” (2011). Kemudian banyak narasi dan dialog yang mengutip literasi-literasi klasik. Tidak terlalu sulit untuk disimak meskipun buat yang tidak familiar dengan referensinya.

Sedikit kurang tajam sebetulnya semesta ‘Gaspar’ ini memilih estetika cyberpunk atau steampunk. Terutama pada adegan pembuka, nuansa cyberpunk-nya cukup terasa dengan desain latar stasiun kereta api dan hadirnya drone yang merekam tindak kriminal. Tapi ada juga latar-latar urban ala steampunk dengan rongsokan mesin dan kendaraan dalam beberapa adegan. Begitu juga dari konsep tata busananya.

Penampilan Aktor dan Chemistry Satu Sama Lain

Dari masa promosi, daya tarik dari film ini adalah jajaran aktornya yang populer di industri film Indonesia. Mulai dari Reza Rahadian sebagai protagonisnya, penampilannya di setiap adegan berhasil fokus, karena secara keseluruhan kekontrasan di latar distopia yang majemuk.

Kemudian chemistry masing-masing aktor yang akhirnya menjadi satu tim dalam melakukan misi juga sudah dapat. Kemudian chemistry antara Dewi Irawan dengan Sal Priadi yang berperan sebagai Bu Yati dan Yadi. Mereka berdua bisa jadi yang selalu berhasil memberikan variasi suasana dalam “24 Jam Bersama Gaspar” yang lebih dominasi dengan kekerasan, kekelaman, dan serius.

Hanya satu isu minor, kita paham betul potensi aktor-aktor ini dalam berakting yang ekspresif di film-film sebelumnya. Namun di film ini arahan dialognya terkesan kaku. Ini masih sering kita temukan dalam film-film lokal dengan latar distopia atau sci-fi. Arahannya seakan mencoba terlalu keras untuk menjadi artifisial dan berbeda dari cara manusia berkomunikasi di masa kini. Namun bisa jadi arahan ini diaplikasikan dengan membayangkan tone dari novelnya yang sarkas dan puitis.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect