Connect with us
Focus Features

Film

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Double features perpisahaan yang menjadi kronologi emosi Spike Jonze dan Sofia Coppola.

“Lost in Translation” karya Sofia Coppola pada 2003 dan “Her” oleh Spike Jonze pada 2013, merupakan dua film yang mengeksplorasi tema kesepian dalam naskah yang puitis dan presentasi melankolis menawan. Meskipun kedua film memiliki jarak perilisan terpaut 10 tahun, keduanya memiliki banyak kesamaan karena terinspirasi dari perceraian dari pasangan filmmaker berbakat ini.

Kedua film sama-sama menerima ulasan positif bahkan bisa dikategorikan sebagai cult classic. Secara tidak sengaja, dari perpisahan Jonze dan Coppola, keduanya malah menghasilkan dua film yang kini bisa kita jadikan double features karena kesamaan genre, tema, dan vibe dari filmnya.

Yang membuat kedua film ini indah dan bisa diapreasiasi sebagai film drama tentang berakhirnya pernikahan; kedua film bukan luapaan aib dimana keduanya hendak menyerang pasangan masing-masing. Namun bagaimana Coppola dan Jonze introspekif akan perpisahan mereka secara dewasa. Sehingga saling melengkapi kronologi emosi dari dua kedua belah pihak, di akhir dan pasca perceraian mereka.

Perceraian Spike Jonze & Sofia Coppola

Spike Jonze dan Sofia Coppola menikah pada 26 Juni 1999, 7 tahun setelah bertemu dalam suatu lokasi syuting video klip musik yang disutradarai oleh Jonze.

Meskipun pernikahan mereka sebetunya berpotensi menciptakan duet maut sutradara di Hollywood (seperti Greta Gerwig dan Noah Baumbach pada era ini), keduanya berakhir melayangkan gugatan cerai pada Desember 2003 dengan alasan ‘perbedaan yang tidak dapat didamaikan’. Mereka akhirnya resmi bercerai beberapa bulan setelah “Lost in Translation” rilis pada 3 Oktober 2003.

Setting

  • “Lost in Translation” berlatar di Tokyo, Jepang. Setelah meninggalkan universitas di awal usia 20-an, Sofia Coppola sering mengunjungi Tokyo untuk mencoba berbagai profesi di industri fashion dan fotografi. Coppola menyatakan masa-masa tersebut menjadi titik krisis dalam kehidupannya, ketika ia tidak terlalu paham bidang karir apa yang sebetulnya ingin ia tekuni. Semakin masuk akal mengapa Tokyo menjadi latar yang sempurna untuk “Lost in Traslation”, dengan krisis yang sedang dialami Charlotte dalam pernikahannya.
  • Meski dengan latar masa depan yang terlihat jauh dari era kita sekarang, “Her” secara ajaib menjadi drama sci-fi yang juga terasa familiar bagi penontonnya ketika rilis pada 2013. Spike Jonze memang mengandalkan kreatifitas dan imajinasinya dalam “Her”, namun masih dalam jangkauan karena fokusnya bukan sci-fi, namun emosi kesepian di era modern yang ingin ditonjolkan dalam film ini. Kita bisa melihat “Her” terasa semakin nyata dengan perkembangan teknologi AI interaktif di era 2020an ini. Melihat kembali film ini sekarang, kita menyadari bagaimana “Her” adalah film yang tidak akan lekang oleh waktu.
  • Jika “Lost in Translation” adalah tentang pernikahan di ujung tanduk, “Her” lebih tentang perceraian dan dampak setelah perpisahan tersebut.

Lost in Translation: Wanita Kesepian yang Terjebak dalam Pernikahan

“Lost in Translation” fokus pada kisah Charlotte yang diperankan oleh Scarlett Johansson. Charlotte adalah alumni Yale yang masih muda, ia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Hal tersebut karena tampaknya John, suami Charlotte yang seorang fotografer, terlalu mencintai dirinya sendiri. Ketika film ini rilis, penonton langsung menangkap cerminan kehidupan Sofia Coppola, semacam hint (mengingat film rilis terlebih dahulu sebelum kabar perceraian) dari perceraiannya dengan Spike Jonze karena pernikahan mereka tidak membahagiakan.

Dalam kisahnya, Charlotte adalah wanita yang kesepian, orang Amerika yang tinggal di Tokyo. Ia jauh dari rumah, di negri dengan kebudayaan berbeda dan bahasa yang tidak ia pahami. Ia memiliki banyak potensi namun tidak terlalu paham yang ingin ia lakukan. Film ini menunjukan kesepian dengan cara yang kompleks namun relevan, untuk kebanyakan orang. Bahkan terlepas dari latar pernikahan atau hubungan yang tidak membahagiakan. Terasa sentimental, jujur, dan terlalu personal, setelah kemudian kita mengetahui ini terinspirasi dari pengalaman pribadi sutradaranya.

Coppola sendiri pernah menyatakan bahwa John bukan sepenuhnya Spike Jonze, namun kita bisa melihat beberapa detail dari karakter yang memiliki bagian dari Spike. John adalah suami yang sibuk dengan pekerjaanya sebagai fotografer musik. Sementara kala itu, Jonze lebih dikenal sebagai sutradara video klip musik. Serta beberapa konflik dan situasi yang mencerminkan mantan suaminya tersebut.

Her: Pria Kesepian yang Gagal Move On Pasca Perceraian

10 tahun kemudian, Spike Jonze merilis “Her” pada 2013. Dibintangi oleh Joaquin Phoenix sebagai Theodore Twombly, pria pemalu yang tinggal di Los Angeles masa depan. Ia bekerja sebagai penulis profesional di perusahaan yang menawarkan jasa ‘surat personal’ untuk dikirimkan pada orang tercinta mereka. Theodore dulunya bahagia, namun sejak awal film ini, ia tampil sebagai pria murung yang kesepian pasca bercerai dari Catherine, cinta pertamanya dan terlihat bagaimana Theodore yang melankolis masih belum bisa move on.

Bagian ikonik dari “Her” adalah hubungan tidak biasa antara Theodore dengan Samantha, sistem operasi komputer dengan teknologi AI terbaru yang ia beli. Samantha tidak memiliki wujud fisik, namun suaranya diisi oleh Scarlett Johansson.

Sama dengan Charlotte dalam “Lost in Translation”, Theodore juga memiliki kualitas karakter yang mudah relevan dengan banyak orang. Menggunakan tema ‘kesepian’ sebagai topik universal, siapa yang tidak pernah merasa kesepian di dunia ini? Terutama di latar kehidupan moder, di kota besar yang ramai seperti Theodore. Ia tinggal di kota besar dimana tempat ia lahir juga. Memiliki pekerjaan stabil, beberapa teman, dan hunian yang lebih dari layak. Masalah utama yang masih membuatnya merasa tidak utuh adalah Theodore sangat kesepian tanpa orang untuk berbagi dalam hidupnya.

Dalam “Lost in Translation”, kita mengetahui satu dua hal dari suami Charlotte, John. Ia mencintai dirinya sendiri, sangat fokus dengan karyanya, dan memprioritaskan karirnya daripada pernikahannya. Sementara dalam “Her”, kita hampir tidak mengenal mantan istri Theodore, Catherine. Kecuali pada satu adegan ketika mereka bertemu di restoran. Dimana Catherine mengungkapkan bahwa pernikahan mereka berakhir karena Theodoro tidak tahan dengannya.

Berbeda dalam film Coppola, dimana kita tidak terlalu melihat sisi negatif dari Charlotte, di sini kita bisa melihat perspektif Catherine. Membuat kita berpikir apa kesalahan yang mungkin Theodoro lakukan, menjadi alasan berakhirnya penikahan mereka.

Tidak hanya menyalahkan mantannya, ini lebih memperlihatkan introspeksi Jonze dalam mencari tahu apapun kesalahan yang menjadi tanggung jawabnya. Meskipun Jonze telah mengerjakan banyak film sebelum “Her”, ini menjad film pertama yang ia tulis sendiri naskahnya. Kita bisa melihat bagaimana naskah ini terasa sangat personal, secara dewasa tidak bias dan berusaha adil pada kedua karakter, yang menjadi cermin antara dirinya dengan Coppola.

Sudah menjadi hal biasa mengeksplotasi atau membangun naskah drama dari kehidupan selebritis di Hollywood, namun masih jarang yang berhasil melakukannya sebaik “Lost in Translation” dan “Her”. Bahkan dengan fakta kedua sutradara tidak merencanakan double features ini, membuat fenomena ini terasa lebih jujur dan otentik.

Mereka hanya dua sutradara yang membuat film terinspirasi dari pengalaman emosi yang mereka alami. Tak berbeda dengan Taylor Swift yang “mengkoleksi” mantannya dalam wujud album, hingga yang baru-baru ini, Ariana Grande meluncurkan album “Eternal Sunshine” yang terinspirasi dari pasca perceraiannya.

Keduanya memiliki jarak waktu rilis yang jauh, keduanya menunjukan detail yang jelas tidak mengerjakan dengan cepat demi target komersial semata. Kedua film yang lahir dari luka dan kesedihan, berasal dari kedalaman emosi Jonze dan Coppola, menciptakan film yang ironisnya tersampaikan dengan indah di sinema.

den of thieves 2: pantera den of thieves 2: pantera

Den of Thieves 2: Pantera Review

Film

Mufasa: The Lion King Review Mufasa: The Lion King Review

Mufasa: The Lion King Review – Asal-Usul Mufasa dalam Visual Spektakuler yang Kurang Menggigit

Film

Oscar 2025 Nominations: Snubs and Surprises

Entertainment

Nosferatu 2024 Nosferatu 2024

Nosferatu Review: Kisah Klasik Vampir yang Dibalut Visual Gotik Modern

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect