Di balik deru helikopter dan ledakan granat, ‘Triple Frontier’ (2019) bukan hanya kisah perampokan bersenjata. Ia adalah potret kelabu tentang kehormatan militer yang larut dalam frustrasi sipil, tentang persahabatan yang lapuk di hadapan segepok dolar, dan tentang tanah asing yang tak mengenal kasihan pada siapa pun yang datang membawa niat buruk. Film arahan J.C. Chandor inihadir sebagai hibrida antara drama eksistensial dan aksi militer dalam balutan sinematografi eksotis hutan Amerika Selatan.
Lima pria, lima serdadu veteran yang pernah mengguncang palagan dunia, kini terdampar dalam kehidupan sipil yang menjemukan dan memalukan. Ada Tom “Redfly” Davis (Ben Affleck), mantan pemimpin pasukan elite Delta Force yang kini hidup sebagai agen real estate yang gagal. Ada Santiago “Pope” Garcia (Oscar Isaac), satu-satunya yang masih aktif sebagai kontraktor militer di Kolombia. Bersama William “Ironhead” Miller (Charlie Hunnam), Ben Miller (Garrett Hedlund), dan Francisco “Catfish” Morales (Pedro Pascal), mereka dulu simbol kehormatan militer. Kini, mereka hanya pria-pria beruban dengan tagihan yang tak terbayar.
Di titik inilah Pope menyodorkan sebuah “tugas terakhir”—misi nonresmi yang dibalut janji keadilan: membunuh gembong narkoba Lorea, dan sekalian mengambil uangnya yang disembunyikan di hutan terpencil perbatasan Kolombia–Brasil–Peru, wilayah yang dikenal dengan sebutan Triple Frontier. “Dia monster,” kata Pope, “kita hanya mengambil kembali yang seharusnya menjadi milik orang baik.”
Tawaran itu awalnya terasa mulia: adil, cepat, bersih. Tapi seperti banyak rencana di dunia nyata, semuanya lepas kendali sejak dolar mulai menumpuk dalam karung.
Dolar dan Dosa
Yang mereka perkirakan hanyalah beberapa juta. Yang mereka temukan: lebih dari 250 juta dolar tunai tersimpan di balik dinding rumah gembong narkoba yang kosong. Di sinilah film mulai memperlihatkan pergeseran misi: dari operasi bersenjata menjadi obsesi memindahkan karung demi karung uang. Makin berat beban fisik, makin ringan beban moral. Redfly, yang semula enggan terlibat, kini berubah menjadi tokoh utama ketamakan. “Bawa semua,” katanya, padahal helikopter sudah menjerit kelebihan muatan.
Chandor merancang bagian ini dengan tempo yang lambat namun mencekam. Dialog antar karakter membentuk ketegangan lebih kuat dari tembakan. Kita melihat wajah-wajah mantan pejuang itu berubah. Bukan oleh musuh, melainkan oleh harta. Ketika helikopter jatuh dan membawa mereka tersesat di pegunungan Andes, film berubah dari aksi militer menjadi survival thriller. Ketamakan kini menjelma menjadi kutukan yang menarik mereka ke jurang kematian.
Wajah Perbatasan yang Tak Terjamah
Dengan latar lanskap hutan tropis, lereng Andes, dan dusun-dusun terpencil Amerika Selatan, sinematografer Roman Vasyanov menghadirkan kontras antara ambisi besar dan ruang sempit realitas. Kamera menyapu lembah hijau yang menyimpan bahaya sunyi. Tapi hutan ini bukan hutan Apocalypse Now yang gelap dan gila. Ini adalah tempat yang tetap tak memihak—alam yang tak peduli apakah kamu mantan pasukan elite atau buronan.
Ada adegan panjang ketika mereka harus menyeret karung-karung uang melewati lembah dan sungai, melewati penduduk yang mencurigai, dan sesekali memutuskan apakah harus membunuh untuk mempertahankan beban. Film ini seolah bertanya: berapa harga sebuah peluru? Apakah sah mengorbankan satu nyawa untuk menyelamatkan uang 250 juta dolar?
Triple Frontier tidak menawarkan jawaban hitam putih. Ia justru membiarkan karakter-karakternya membusuk secara perlahan dalam keputusan abu-abu. Pada akhirnya, mereka kehilangan lebih dari yang mereka dapat. Uang hanyalah alasan; yang benar-benar mereka cari adalah harga diri yang hilang sejak mereka melepas seragam.
Maskulinitas yang Rapuh
Ben Affleck, dalam peran sebagai Redfly, tampil muram dan getir. Dia bukan pemimpin karismatik. Dia pria paruh baya yang kehilangan arah, kelelahan, dan mudah terpancing oleh kesempatan kedua untuk merasa berdaya. Sementara Oscar Isaac sebagai Pope membawa semacam determinasi ideologis—meskipun cepat larut dalam kontradiksi moral.
Tidak ada tokoh perempuan yang kuat dalam film ini, dan itu bisa dianggap sebagai kelemahan. Tapi di sisi lain, fokus film memang ingin menyoroti maskulinitas yang mulai goyah. Kelima pria ini adalah generasi pasca-perang yang merasa dikhianati negaranya. Negara yang memanfaatkan mereka saat dibutuhkan, lalu melupakan mereka saat mereka tua dan sakit. Maka pencurian ini bukan hanya soal uang, tapi semacam pembalasan diam-diam terhadap sistem yang tak adil.
Realitas Tanpa Heroisme
‘Triple Frontier’ menolak menjadi film aksi militer yang glamor. Tidak ada patriotisme berlebihan. Tidak ada penjahat yang layak dibenci, karena bahkan sang gembong narkoba nyaris tidak muncul. Yang ditampilkan adalah kerapuhan manusia, dalam sistem sosial-politik yang tidak memberi ruang pulih bagi para mantan prajurit.
Ketika film ditutup dengan catatan duka dan satu amplop kecil berisi koordinat lokasi uang yang tersisa, kita sadar: pencurian bukan hanya gagal, tapi juga menyisakan luka yang tak tertebus. Tidak ada kemenangan. Hanya sisa-sisa kesetiaan yang dibungkus ragu.
Epilog
Triple Frontier adalah kisah tentang pencarian yang salah arah. Membawa penonton menyusuri hutan, bukit, dan labirin psikologis lima orang pria yang pernah merasa berarti, lalu kehilangan segala hal yang membuat mereka manusia. Tidak semua film perampokan harus diakhiri dengan tembakan. Kadang, cukup dengan pertanyaan sunyi: “Apa yang sebenarnya kita cari selama ini?”
