The Skin of the Wolf merupakan film Netflix Original karya sutradara sekaligus penulis naskah Samu Fuentes. Dibintangi oleh Mario Casas, film Spanyol ini mengeksplorasi kehidupan Martinon yang menyendiri di dataran tinggi pada abad ke-20.
Film ini memiliki tema cerita yang cukup serupa dengan The Revenant (2015), berlatar lokasi di alam pegunungan yang menggugah mata dan karakter utama yang melakukan apapun untuk bertahan hidup. Berbeda dengan film yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio tersebut, The Skin of the Wolf (2017) memiliki kisah yang lebih datar dan konflik natural.
Lokasi Syuting dan Produksi yang Menghidupkan Peradaban Manusia di Abad Pertengahan
Salah satu poin yang unggul pada film ini adalah produksinya yang maksimal. Kita bisa melihat latar syuting di alam pegunungan Spanyol yang sangat memukau mulai dari opening-nya.
Tak hanya pemilihan lokasi syuting yang indah, proses produksi dieksekusi dengan detail untuk membangkitkan suasana peradaban manusia di abad pertengahan. Mulai dari desain bangunan, pemukiman warga, berbagai perlengkapan kerja, dan kostum setiap karakter.
Kemasan produksi yang totalitas menjadi salah satu unsur penting untuk menyakinkan penonton, meresapi latar kisah yang terjadi pada latar waktu tersebut. Tanpa penjelasan narasi maupun dialog, suasana dibangun melalui kemasan visual yang telah didesain dalam film ini.
Kisah yang Mengandalkan Penampakan Visual dan Ekspresi Setiap Karakter
Selain mengandalkan produksi yang sudah detail dan maksimal, penyampaian cerita dalam film ini juga mengandalkan eksekusi akting dari setiap aktornya. Setiap karakter mendapatkan porsi peran yang cukup minim dan tidak banyak ruang untuk menunjukan akting yang dramatis. Namun, merupakan tantangan tersendiri bagi setiap aktor untuk tampil natural dan menyakinkan.
Mario Casas berperan sebagai Martinon, pria pendiam dengan rutinitas yang hampir sama setiap harinya. Dalam kisah ini, Martino akan bertemu dengan dua wanita yang merupa kakak beradik. Keduanya memiliki watak berbeda yang berhasil dieksekusi oleh kedua aktrisnya.
Selain melalui akting, penulisan naskah yang lebih berorientasi pada tindakan dan pengambilan keputusan. Kita bisa menilai setiap karakter melalui tindakan yang diambil tanpa penjelasan melalui dialog mendetail seperti film drama pada umumnya.
Hal ini membuat The Skin of the Wolf menjadi film drama dengan fase yang cukup lambat. Pada babak pertama film, kita akan diajak berkenalan dengan Martinon melalui rutinitasnya sebagai pria yang tinggal sendirian. Ada dua babak mengandung konflik, itu pun juga dibawakan dengan fase yang cukup lambat tanpa gejolak emosi yang terlalu dramatis.
Film ini memiliki konsep cerita yang sangat natural, mungkin tidak cukup menarik bagi penonton yang kurang menyukai film dengan suasana terlalu tenang.
Eksplorasi Hasrat dan Mekanisme Bertahan Hidup Manusia yang Alami
The Skin of the Wolf memiliki konsep dan plot cerita yang terlihat sangat datar di permukaan. Namun mengandung banyak pesan tentang mekanisme bertahan hidup dan eksplorasi batin pada karakter Martinon. Mungkin akan lebih mudah ditangkap oleh penikmat film yang suka mengobservasi ketika sedang menonton, akan ada banyak ruang bagi kita untuk berpikir dan mencerna setiap pesan tersebut.
Meski termasuk film yang bisa dijadikan tontonan santai, The Skin of the Wolf akan terasa membosankan jika hanya ditonton dari plot yang terlihat saja.
Martinon merupakan salah satu sampel dari bagaimana seorang pria bertahan hidup sendirian di abad pertengahan. Mulai dari berburu, melakukan transaksi jual beli, dan mengambil keputusan untuk berkeluarga.
Sebetulnya cukup sama dengan seorang pria yang mencoba bertahan hidup di era modern. Bedanya kehidupan modern lebih kompleks, sementara kehidupan di abad ke-20 lebih sederhana.
Namun, kita bisa melihat kebutuhan manusia setiap zaman tidak pernah berubah, salah satunya adalah hasrat untuk menjalin hubungan dengan manusia lain. Dimana kesepian dan perasaan terisolasi sudah menjadi salah satu “penyakit” mematikan dari awal peradaban manusia.