Quantcast
The Family: Keluarga Mafia yang Sulit Pensiun - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea
The Family

Film

The Family: Keluarga Mafia yang Sulit Pensiun

Ringan, absurd, penuh ledakan, dan tidak keberatan menjadi sedikit konyol.

Luc Besson, sutradara Prancis yang gemar meracik kekerasan sebagai komedi, kembali bermain-main dengan dunia kriminal lewat “The Family” (2013). Film yang dibintangi Robert De Niro dan Michelle Pfeiffer ini pada dasarnya menawarkan premis sederhana: bisakah keluarga mafia hidup damai sebagai warga sipil? Tapi Besson menjawabnya dengan nada sinis: tentu tidak. Kebiasaan buruk, rupanya, lebih kuat daripada program perlindungan saksi mana pun.

Keluarga Giovanni Manzoni—yang disulap menjadi keluarga “Blake”—dipaksa bersembunyi di sebuah kota kecil di Normandia setelah sang kepala keluarga membocorkan jaringan mafia New York. Alih-alih membangun hidup baru, mereka justru membawa serta “budaya” lama: kekerasan ringan, sikap meledak-ledak, dan kecenderungan menyelesaikan masalah dengan tangan, bukan kata-kata. Dari sinilah komedi gelap film ini muncul.

De Niro dan Jejak Mafia yang Tak Pernah Hilang

Robert De Niro, yang beberapa dekade terakhir justru dikenal karena karakter-karakter mafia ikonisnya, tampil seolah-olah sedang mengejek kariernya sendiri. Giovanni Manzoni bukan bos mafia flamboyan seperti Jimmy Conway atau Vito Corleone, melainkan versi tua yang cerewet, mudah tersinggung, dan tampaknya tidak terlalu pandai berpura-pura menjadi “orang biasa”. Ia memukuli tukang ledeng yang tak becus, menakut-nakuti pengurus lingkungan, bahkan membuat memoar rahasia tentang masa lalunya seolah sedang menulis catatan kuliah.

Michelle Pfeiffer pun bermain dalam wilayah yang sama: nostalgia yang mengolok-olok. Sebagai Maggie, ia seperti versi komikal dari istri gangster Scarface yang telah berumur. Reaksinya meledakkan toko kelontong yang rasis bukan hanya jadi gimmick komedi, tapi juga menunjukkan bagaimana film ini menikmati absurditas moral karakter-karakternya. Di dunia The Family, kejahatan bukan sekadar tindakan, tapi gaya hidup yang diwariskan dari dapur hingga ruang makan.

Sebuah Kota Kecil yang Mendadak Menjadi Laboratorium Kekacauan

Yang membuat film ini menggelikan sekaligus melelahkan adalah dinamika kota kecil Normandia yang secara tidak sengaja dijadikan laboratorium tingkah polah kriminal. Besson menggambarkan warga lokal sebagai masyarakat yang polos, lamban, dan tidak tahu bahaya yang sedang mondar-mandir di depan mata mereka. Di tangan sutradara yang lebih tajam, konflik budaya semacam ini bisa menjadi satire sosial yang kaya. Namun The Family lebih memilih jalan pintas: menumpuk kejadian-kejadian komedi tanpa benar-benar memperdalam konsekuensinya.

Para anak Manzoni, Belle dan Warren, berperan sebagai cermin kelanjutan “genetika” mafia. Belle mencari cinta dengan intensitas yang mencurigakan, sementara Warren membangun kerajaan mini di sekolah dengan efisiensi korporasi gelap yang tak kalah dengan tindak-tanduk ayahnya. Mereka berdua tampil sebagai karikatur, bukan karakter.

Ketika Plot Berjalan dengan Logika Kebetulan

Masalah terbesar film ini adalah logika ceritanya yang dipaksa bekerja berdasarkan keberuntungan yang konyol. Mafia New York menemukan lokasi keluarga ini hanya karena seorang narapidana mendapat akses acak ke majalah sekolah tempat Belle menulis esai. Adegan ini, yang dimaksudkan sebagai humor, justru memperlihatkan betapa film ini lebih mengandalkan kebetulan daripada pembangunan ketegangan yang wajar.

Begitu para pembunuh profesional mendarat di Normandia, film berubah menjadi pesta kekerasan yang canggung: cukup menghibur, tapi tidak menawarkan sesuatu yang baru. Eksekusinya mengingatkan pada karya-karya Besson sebelumnya, semacam hibrida antara The Professional dan Taxi, namun dengan kedalaman psikologis yang tipis.

Humor Gelap yang Kadang Menggigit, Kadang Menguap

Besson memang piawai memotret kekerasan sebagai lelucon, tapi The Family seperti tidak yakin apakah ia ingin mengolok-olok film mafia, merayakan kekacauan mereka, atau sekadar membuat aksi komikal. Akibatnya, nada film sering meloncat-loncat.

Humor gelapnya mengenai rasisme, kekerasan remaja, dan kriminalitas sebagai kebiasaan rumah tangga sesekali berhasil membuat penonton tersenyum pahit. Namun di banyak bagian, komedinya terasa ringan—bahkan generik—seolah film ini dibuat tergesa-gesa.

Sebuah Parodi yang Menikmati Dirinya Sendiri

Meski begitu, sulit menolak pesona unik film ini. Ada keasyikan melihat De Niro dan Pfeiffer memerankan karakter yang secara halus menertawakan persona mereka sendiri dalam sejarah film gangster. Tommy Lee Jones, sebagai agen FBI yang selalu jengkel namun tetap sabar, memberikan nada datar yang justru memperkuat humor film ini.

Mereka bertiga ibarat trio veteran yang sadar betul bahwa film yang mereka mainkan tidak sedang mengincar penghargaan—melainkan sebuah permainan.

Tidak Serius, Tidak Tajam, Tapi Tetap Menghibur

Sebagai film komedi kriminal, “The Family” bekerja cukup baik: ringan, absurd, penuh ledakan, dan tidak keberatan menjadi sedikit konyol. Namun sebagai satire mafia, film ini tidak menggali potensi konflik identitas, moralitas, atau drama keluarga yang sebenarnya bisa menjadi bahan baku lebih dalam. Hasil akhirnya adalah hiburan tengah malam yang menyenangkan, meski tidak akan bertahan lama dalam ingatan penonton.

Film ini adalah pengingat bahwa bagi sebagian orang—dan bagi keluarga Manzoni—kejahatan bukan hanya karier, tetapi cara hidup yang bahkan program perlindungan saksi pun tak sanggup menghapusnya.

15 Film Brasil Terbaik

Cultura Lists

Life Is Beautiful Review: Tragedi, Harapan & Kekuatan Imajinasi di Tengah Kekejaman

Film

Ju Dou Ju Dou

Ju Dou Review: Ketika Warna Menyimpan Luka yang Tak Terucap

Film

Amélie Amélie

Amélie Review: Ketika Imajinasi, Cinta, dan Kesunyian Menjadi Dunia yang Indah

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect