Ketika Tame Impala—proyek musik solo Kevin Parker—merilis ‘Deadbeat’ pada 2025, dunia sudah menantikan seperti apa langkah berikutnya setelah ‘The Slow Rush’ (2020), album yang penuh refleksi waktu dan energi disko-psikedelik yang lembut.
‘Deadbeat’ datang sebagai antitesisnya: sebuah perjalanan psikedelik yang lebih tenang, lebih dingin, dan terasa seperti surat perpisahan dari versi lama Kevin Parker yang haus kesempurnaan.
Eksplorasi Suara: Antara Distorsi dan Keheningan
Secara sonik, Deadbeat adalah evolusi alami dari Tame Impala, namun dengan pendekatan yang lebih kasar dan lo-fi dibanding album sebelumnya. Parker kembali menggunakan tekstur analog—synth muram, gitar fuzz yang samar, dan drum yang terdengar seperti direkam di ruang bawah tanah. Hasilnya adalah nuansa musik yang lebih mentah, tapi tetap berpijak pada pola psikedelia khasnya.
Lagu pembuka, “Same Old Ghost”, langsung membawa pendengar ke atmosfer melayang yang familiar: ritme lambat, gema vokal yang terpantul jauh, dan nada-nada yang terdengar seperti terjebak di antara kesadaran dan mimpi. Sedangkan “Blissful Deadbeat”, track utama sekaligus judul album, memadukan beat elektronik yang repetitif dengan suara vokal yang nyaris hilang—mewakili keadaan mental antara letih dan damai.
Yang paling eksperimental datang di lagu “Losing Yesterday”, di mana Parker bermain dengan potongan rekaman lama dan modulasi pitch yang menimbulkan efek disorientasi. Namun di balik distorsi itu, ada harmoni lembut yang menggambarkan penerimaan terhadap waktu dan kehilangan.
Tema dan Narasi: Melankolia yang Menyembuhkan
Berbeda dari Currents (2015) yang berbicara tentang transisi emosional, atau The Slow Rush yang berfokus pada refleksi waktu, Deadbeat adalah album tentang stagnasi—dan keindahan yang bisa muncul dari kebekuan itu. Parker sendiri dalam wawancara menyebut album ini sebagai “musik untuk saat kamu berhenti berlari.”
Lirik di lagu seperti “Idle Hands” dan “The Rest of the Noise” menggambarkan rasa putus asa yang nyaris pasrah, namun bukan dalam arti destruktif. Justru ada kedamaian dalam keheningan dan pengakuan diri yang muncul dari kegagalan.
Salah satu baris paling mengena datang dari lagu “Everything Comes Slow”:
“Maybe being lost is better than pretending to know.”
Baris ini merangkum semangat album secara keseluruhan—introspektif, jujur, dan tidak lagi berusaha menyenangkan dunia.
Produksi: Eksperimen dengan Batas Minimalisme
Meskipun Kevin Parker dikenal dengan produksi musik yang kaya dan rumit, Deadbeat terasa seperti proyek yang sengaja dikupas hingga esensinya. Beberapa lagu bahkan hanya berisi dua atau tiga elemen utama: drum, vokal, dan synth. Namun di tangan Parker, kesederhanaan itu justru terasa penuh.
Parker melakukan hampir seluruh proses produksi sendiri di studio pribadinya di Perth, menggunakan peralatan analog yang ia kumpulkan sejak awal kariernya. Hasilnya adalah atmosfer yang intim, kadang claustrophobic, namun indah dalam kesunyiannya.
Penerimaan dan Signifikansi
Kritikus musik menyebut Deadbeat sebagai karya paling personal Parker sejak debut Innerspeaker (2010). Meski beberapa pendengar lama mungkin merindukan energi danceable dari The Slow Rush, album ini menawarkan sesuatu yang lebih dewasa—reflektif dan berani mengambil risiko.
Majalah NME menyebutnya “a sonic diary of emotional burnout,” sementara Pitchfork memberi skor tinggi untuk “kematangan naratif dan kejujuran emosionalnya.” Di sisi lain, beberapa kritik menilai album ini terlalu melankolis dan kehilangan daya eksplosif khas Tame Impala, terutama di pertengahan tracklist yang terasa datar.
Deadbeat bukan album Tame Impala yang paling gemerlap, tapi mungkin yang paling tulus. Ia seperti fase keheningan setelah badai kreatif panjang—sebuah bentuk penerimaan terhadap waktu, kehilangan, dan diri sendiri. Dalam kesederhanaannya, Kevin Parker menemukan ruang baru untuk berkembang.
Album ini bukan sekadar kelanjutan perjalanan Tame Impala, melainkan pernyataan kedewasaan seorang musisi yang akhirnya berdamai dengan sunyi.

