Connect with us
Sore

Music

Sore dan Pengalaman Panggung Kesukaannya

Membicarakan keberlangsungan band yang lahir tahun 2002.

Sore, sudah tidak asing lagi bagi kita penikmat musik indie nasional. Lebih dari lima belas tahun berkarya dan selalu ditunggu karya-karya selanjutnya oleh para indies. Karya terakhir mereka “Real, is it?” menjadi obat rindu penikmat musik atas aksi panggung yang harus ditunda karena bencana pandemi.

Bersatu karena kesenangan yang sama akan bermusik, lima pemuda berhasil mewujudkan kesenangan mereka menjadi salah satu pengisi acara paling ditunggu di panggung nasional. Sayangnya, Sore harus melepas dua kepala mereka. Pertama, dimana sang tukang masak Mondo Gascaro memutuskan hengkang tahun 2012 dan Reza Dwi Putranto alias Echa di tengah pandemi pada akhir tahun 2019.

Menyisakan tiga kepala, Ade Firza Paloh (gitar, vokal), Awan Garnida (bass, vokal), dan Bemby Gusti Pramudya (drum, perkusi, vokal) Sore tidak berniat untuk membubarkan diri malah semakin menjadi-jadi layaknya anggur yang semakin tua.

Cultura berhasil menghubungi Sore yang diwakilkan oleh sang vokalis nan kharismatik Ade Firza Paloh dan Bang Bongky sang manager yang menemani perjalanan mereka selama hampir dua dekade. Membicarakan keberlangsungan band yang lahir tahun 2002 ini.

Produktif ya sekarang-sekarang ini, bulan Mei ngeluarin Real, Is It? Kapan dibuat?

Ade: Dibuat sebelum PPKM itu, dibikin cuma berdua kadang bertiga. Ngisi waktu aja sih sebenernya, yang harus diisi-isi tetap harus produktif kan. Kebetulan sekarang zaman livestream, bosen juga kalau bawain lagu lama terus. Kebetulan kita emang punya beberapa stok lagu lama, yaudah kita garap lagi aja jadi sesuatu yang baru.

Jadi ini lagu udah lama?

Ade: Lagu udah lama, lagu gue sama Awan dulu. Jadi Awan pernah bikin part-nya terus gue lanjutin aja. Cuma emang kita diemin aja.

Hampir 20 tahun bersama apa sih rasanya? Senang dan sedih?

Ade: Wah, banyak enggak bisa diitung lagi seneng atau sedihnya tapi sedihnya dijadikan seneng, pada akhirnya karena kita jadikan rasa syukur. Kita melewati kehidupan sebagai sebuah riwayat kayak lagunya Bembi “Etalase”.

Ditinggal dua personil apa perbedaan yang terasa?

Ade: Pertama kehilangan Mondo kayak kehilangan juru masak, dia kan pintar ngejait lagunya. Tapi masing-masing dari kita juga punya kemampuan dan skill untuk produce lagu. Jadi begitu dia keluar, kita jahit dengan cara kita sendiri.

Mondo terus Echa?

Ade: Untungnya, Gilang bisa mengisi cuman Gilang itu masih perlu kita kasih tau, mungkin dia masih takut untuk mengeluarkan ciri khas permainannya kecuali untuk vokal nyanyi. Jadi dia masih ngikutin aja, kalau dulu Mondo atau Echa punya ciri khas yang mereka berani untuk keluarkan. Mungkin nanti untuk lagu selanjutnya kita bakal lebih embrace dia.

Gimana proses kreatif Sore sekarang dengan tiga orang personil?

Ade: Kita dibantu dengan Gilang Pramudya sekarang, gitarisnya Comprades, additional Bilal Indrajaya dan main juga di band tribute Beatles-nya Awan, G-pluck. Kebetulan skill gitar dan nyanyi bisalah menggantikan Echa, bisa jadi pengisi dengan sangat baik.

Kesan gigs pertama?

Ade: Panggung pertama sore di Gedung 28, Kemang. Jadi itu galeri, ada acara kampus tahun 2002. Diajak sama Yunis temennya Bemby, penggerak salah satu tempat di Menteng. Animonya bagus, appreciate lah.

Lagu apa yang paling sebal kalian bawakan?

Ade: Gue tidak begitu suka kalau bawain “No Fruit for Today” karena totally misconception. Itu lagu satir tapi orang bilang itu lagu cinta. Liriknya aja satir banget, dimana pasangan kita maunya manis-manis aja padahal kan tidak, kita cuman temen aja. Maksudnya kita jalanin aja tanpa harus sesuatu yang manis. Makanya, liriknya terakhirnya “I love you when you love me, we’re gonna make a big family”. Itu kan kayak, “yaudah deh, gue sayang sama lo, yuk kita bangun family” padahal maksudnya “let’s take it slow.” Itu sebenernya bukan love song. Jadi salah banget, disitu ada “when” bukan “and”, kata kuncinya disitu.

Album mana yang paling berkesan?

Ade: Gue pribadi ‘Ports of Lima’.

Bongky: ‘Ports of Lima’. Prosesnya disitu Sore sedang menggebu-gebunya, semua personil sedang semangat semangatnya terus kebersamaanya, ngeteng, makan bareng, dan tidur di studio Pendulum. Itu album terakhir yang kita kerjain berlima, semua fokus mikirin untuk nyelesain sampe melupakan hal-hal lain. Kalau album yang lain kadang pada ngerjain masing masing di rumah.

Kota mana yang paling seru? Kenapa?

Ade: Banyak sih yang seru Makassar, Samarinda, Jawa, Sumatra, tapi yang paling berkesan itu di Samarinda karena dulu belum ada tol jadi lewat Balikpapan terus lewat bukit Soeharto. Udah gitu Bongky suka banget duren Lai, jadi kita berhenti makan duren dulu. Medan juga cukup berkesan. Sempet manggung terus gue dan keluarga napak tilas dari Padang road trip tapi semua kota berkesan.

Paling suka ketika membawakan lagu apa? Kenapa?

Ade: Sekarang ini untuk dibawain gue paling seneng “Vrijeman” karena ada Gilang jadi pecah suaranya jadi 3 dan energinya gila banget. Sebelum era Gilang pas masih ada Echa di lagu “Vrijeman” ini, Echa ngambil lead gitar jadi pecah suara jadi cuman 2. Jadi dengan pecah suara 3 sekarang lebih tebel, suka banget gue.

Apa yang paling nyebelin ketika manggung?

Ade: Semua udah kita percayain Bang Bongky masalah ini, jadi kita udah tau gimana iklim panggungnya tinggal naik aja.

Bongky: Kadang masalah riders, Sore manggung kan suka di pedalaman yang peralatan seadanya. Untungnya team kita qualified, jadi gimana caranya output ketika manggung tetap bagus. Jadi emang gue udah cek lapangan dulu kondisi panggung, sound dan juga penontonya. Kadang kita enggak tau kan daerah itu kebanyakan tau Sore era yang mana kalau salah bawain setlist amburadul deh manggung.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect