Bahasa menjadi perhatian utama sutradara Bong Joon-ho dalam pidatonya setelah menyabet penghargaan Best Picture untuk Parasite, di ajang Piala Oscars 2020 yang lalu. Ia berandai-andai kalau saja masyarakat Barat tidak malas membaca subtitle saat menonton film, ia yakin mereka akan mengapresiasi film-film non-bahasa Inggris lainnya. Dengan kata lain, bahasa menjadi penghalang serius dalam mengenali produk budaya dari kelompok masyarakat yang berbahasa berbeda.
Kemudian saya berpikir jangan-jangan hal ini juga berlaku bagi produk budaya Korea Selatan lainnya, yakni musik K-pop. Jangan-jangan selama ini kita menilai rendah musik K-pop hanya gara-gara kita tidak mengerti apa yang dinyanyikan oleh IU atau Taeyeon. Jangan-jangan hanya karena bahasanya tidak familiar di telinga, kita enggan memberi apresiasi.
Bagi masyarakat awam yang tidak familiar dengan musik K-pop, terdapat sebuah stereotip umum mengenai budaya tersebut, yakni bahwa Korea sama dengan “plastik”. Sangat disayangkan. Ketika kita berbicara tentang “plastik”, itu berarti kita melenceng dari diskusi soal seni musik.
Barangkali benar bahwa budaya operasi plastik menjamur di Korea Selatan, tapi tentu saja ketika kita bercakap tentang musik (dalam hal ini K-pop), kita tidak akan membicarakan perihal merajalelanya klinik-klinik oplas di pinggiran jalan kota Seoul, melainkan bicara soal melodi, penulisan lagu, aransemen, instrumentasi, struktur lagu, progresi kord, makna lirik, dan sebagainya.
Walau begitu, saya bisa paham kenapa Korea Selatan saat ini identik dengan plastik di mata orang awam. Begitulah cara hal-hal bekerja, terutama dalam hal persebaran budaya. Stereotip adalah pintu masuk utama bagi seseorang yang ingin mengenal budaya baru.
Kita mengenal banyak stereotip: orang Jepang identik dengan anime, orang Tionghoa handal berdagang, orang British hobi minum teh sore-sore, orang Brazil jago menyepak bola, orang Sunda suka pedas dan lalapan, dan seterusnya. Apakah stereotip-stereotip tersebut representatif? Mungkin iya. Akan tetapi, apakah setereotip tersebut berlaku bagi setiap individu dari budaya atau negara tersebut? Tentu tidak. Logika ini juga berlaku untuk ekuivalensi Korsel dengan oplas.
Meniru Bong Joon-ho, saya ingin mengatakan: andai saja kita membuang stereotip “plastik” itu, kita akan disuguhkan musik-musik yang luar biasa. Oleh karena itu, menurut hemat saya, apabila seseorang ingin mengenal K-pop dari seni musiknya, isu perplastikan tak perlu disinggung dulu.
Namun, rintangan berikutnya muncul, yakni bahasa. Kita akan cenderung lebih menerima musik yang liriknya ditulis dengan bahasa yang sudah familiar dengan kita. Sebagai contoh, mari kita berbincang soal musik anisong, musik untuk anime Jepang. Kita cenderung lebih mampu menerima musik dengan melodi-melodi khas Negeri Sakura itu karena kita sudah familiar dengan anime sejak kecil.
Lagi pula, saat mendengar lagu berbahasa Jepang, tak ada konsep “plastik” atau “oplas” dalam kepala kita. Sebaliknya, lagu-lagu berbahasa Jepang terasosiasi erat dengan “anime” yang memiliki nilai lebih positif dalam budaya sehari-hari kita dibanding “oplas” yang secara umum dipandang buruk.
Walau demikian, mengapresiasi musik lewat bahasa atau liriknya pun sebetulnya kurang bijak. Sering kita temui belakangan ini, misalnya di skena musik indie Indonesia, di mana lirik lagu tampak berada di urutan teratas sebagai kriteria utama lagu dinilai bagus atau buruk.
Tidak ada yang salah dengan hal itu dan saya mengerti bahwa lirik, dengan magis linguistiknya yang misterius, memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan pengalaman hidup dan imajinasi kepada audiensnya. Namun, bagi saya itu semacam fetisisme. Dalam mengapresiasi musik, yang paling utama untuk ditelaah dan dinilai, ya, melodinya, baik melodi vokal maupun instrumen lain. Melodi adalah nyawa musik. Lirik dan maknanya urusan belakangan.
Apabila kita keukeuh bahwa lirik lagu adalah patokan penilaian sebuah karya musik, maka kita tidak akan pernah mengapresiasi lagu yang liriknya tidak kita mengerti, termasuk lagu-lagu K-pop yang tentu saja berbahasa Korea. Kalau hanya mau mengapresiasi lirik-lirik yang puitis, kenapa tidak membaca kumpulan puisi saja?
Terkadang kita lupa definisi mendasar tentang lagu, yaitu bahwa lagu adalah puisi yang bernada. Oleh karena itu, kumpulan nada dalam sebuah lagulah yang harus menjadi prioritas penilaian dalam mengapresiasi sebuah karya musik.
Baca Juga: Mamamoo: Tidak Jual Tampang Apalagi Vokal Abal-abal
Bisakah kita memahami dan mengapresiasi musik dari melodinya saja tanpa pesan linguistik dalam bentuk lirik? Bisakah musik itu sendiri menyampaikan pesan walau pendengar tak mengerti liriknya? Tentu bisa meski tidak mudah bagi semua orang. Kita bisa mulai dari yang paling dasar, yaitu lewat nada. Dalam musik, nada mayor biasa menandakan emosi positif (bahagia, jatuh cinta, optimisme, dll) dan nada minor melambangkan emosi negatif (sedih, menyesal, kehilangan, depresi, kegalauan, dll).
Walau tidak akan berjalan mulus bagi setiap pendengar, ini adalah cara paling adil untuk mengapresiasi musik. Nada mengaitkan emosi penyanyi dan pendengar. Meski kita tidak mengerti apa yang dibicarakan lewat liriknya, pesan positif atau negatif itu bisa disampaikan lewat nada-nada tertentu.
Tidak sedikit orang ikut terharu dan bersedih mendengar sebuah lagu tanpa mengerti liriknya karena lagu tersebut dimainkan di skala minor aeolian, misalnya, sebuah skala progresi kord yang biasa digunakan oleh musisi untuk lagu-lagu yang mendeskripsikan emosi negatif.
Saya tidak mengatakan kalau pendengar harus mengerti teori-teori dasar di bidang musik. Nada mayor yang menstimulasi kebahagiaan dan minor yang memperdalam rasa sakit bisa dialami oleh setiap individu dan perasaan yang timbul setelah mendengarnya murni bersifat personal. Namun, syarat yang penting untuk diperhatikan agar pengalaman ini berhasil adalah bahwa pendengar harus membuang jauh-jauh stereotip yang mengitari karya musik itu (stereotip “plastik” untuk K-pop dan “edgy” untuk musik indie, misalnya) dan fokus pada nyawa musiknya saja, yaitu melodi.
Lagi pula, nada juga merupakan bahasa. Dalam ilmu bahasa, nada tergolong ke dalam tanda paralinguistik, yakni bahasa yang penyampaian pesannya tidak bersifat verbal. Ia sama seperti raut wajah seseorang. Sama seperti pesan yang disampaikan oleh alis yang dinaikkan atau air mata yang mengucur di pipi. Saat seseorang tersenyum, kita tahu kalau dia sedang bahagia walau orang tersebut tidak mengatakannya. Lewat air mata kita tahu seseorang sedang bersedih tanpa kita harus bertanya kenapa.
Prinsip yang sama bisa diberlakukan pada musik, terutama untuk karya-karya musik yang liriknya menggunakan bahasa yang masih asing di telinga, atau mungkin tanpa lirik sama sekali alias instrumental. Ketika sebuah lagu menginjak nada minor, misalnya, kita bisa menebak-nebak barangkali si penyanyi atau pemusik sedang menyampaikan cerita yang penuh konflik yang membuatnya bersedih. Ketika si penyanyi atau pemusik melantunkan nada yang menyenangkan, barangkali ia sedang menyampaikan sebuah puisi kepada kekasihnya. Dengarkanlah kumpulan nada dalam lagu secara seksama seolah-olah sedang membaca ekspresi wajah seseorang.
Terlebih lagi kita bisa memanfaatkan bantuan internet yang menyediakan terjemahan ke bahasa Inggris atau Indonesia dari bahasa sumber (dalam kasus ini bahasa Korea) untuk memastikan apakah sebuah lagu sedang membicarakan soal cinta yang bertepuk sebelah tangan atau bukan.
Dengan cara inilah kita mengapresiasi lebih jauh lagi. Barulah setelah itu kita bisa menangkap pesan-pesan yang jauh lebih bervariasi dari hanya sekadar mayor-bahagia dan minor-sedih, seperti pesan feminisme yang menguatkan di lagu debut girlgroup Korea, Gfriend, yang berjudul “Glass Bead”, misalnya.
Itulah sebuah seni untuk mengapresiasi musik K-pop yang saya tawarkan kepada pendengar musik. Cara tersebut saya suguhkan karena musik K-pop sebetulnya tak bisa dianggap remeh. Bukan hanya karena kualitasnya, tapi juga fakta bahwa produk budaya ini merupakan program kerja pemerintah Korea Selatan. Artinya, musik-musik K-pop tidak diciptakan asal jadi; dan hal itu benar-benar terlihat apabila kita mengenalnya lebih jauh dan mengesampingkan stereotip.
Baca Juga: Saat Hallyu Merambah Timur Tengah
Pada tahun 2008, Kementerian Kebudayaan dibentuk dan departemen khusus untuk K-pop diciptakan semata-mata khusus ditujukan untuk penyebaran Hallyu Wave ke seluruh penjuru dunia. Hasilnya? Sukses.
Grup-grup musik besar seperti BTS dan Blackpink tak hanya populer di Asia, tapi mereka sukses mendobrak pasar global. Lagu-lagunya bertengger di tangga lagu Billboard di Amerika dan mereka memiliki kelompok penggemar yang fanatik dari Asia hingga Eropa. Keberhasilan mereka itu berkat musik dengan melodi-melodi khas Korea yang dibalut dengan genre-genre lain seperti R&B dan hip-hop.
Perbedaan bahasa memang terasa seperti kutukan. Kita semua adalah korban runtuhnya Menara Babel. Kita berbicara bahasa yang berbeda. Walau demikian, sebetulnya musik bersifat mempersatukan. Musik berperan seperti lingua franca bagi seluruh umat manusia. Musik―melalui nada―mampu menyampaikan pesan-pesan tertentu secara non-verbal. Tak paham lirik pun tak masalah. Kesengsaraan hidup dan kebahagiaan bisa dirasakan ketika si penyanyi melantunkan nada-nada tertentu.
Musik seharusnya bisa menembus dua rintangan yang dibahas dalam tulisan ini: stereotip dan bahasa. Semuanya tergantung pada pendengar; apakah energi memberi cap buruk pada K-pop dan kemalasan mendengar bahasa Korea lebih besar dari energi untuk mengapresiasi sisi musikalitasnya atau tidak.
Kalau dua rintangan itu telah dihadang―sekali lagi meniru Bong Joon-ho―kita akan disuguhkan musik-musik yang tidak bisa dinilai biasa saja.