Di ruang pengadilan yang seharusnya terang benderang oleh kebenaran, justru yang menggema adalah keheningan. Itulah yang dirasakan penonton saat menyaksikan ‘Presumed Innocent’ versi terbaru tahun 2024. Diangkat ulang dari novel klasik karya Scott Turow, serial produksi Apple TV+ ini menyajikan lebih dari sekadar cerita kriminal. Ia menjadi potret kelam tentang hukum, moralitas, dan luka keluarga yang tak mengering.
Rusty Sabich, yang diperankan dengan presisi psikologis oleh Jake Gyllenhaal, adalah seorang jaksa wilayah yang tiba-tiba terjerat dalam penyidikan pembunuhan koleganya, Carolyn Polhemus.
Keduanya sempat menjalin hubungan gelap. Bukti-bukti fisik yang muncul—rambut, sidik jari, rekam jejak digital—menjadikan Rusty target utama dalam pusaran kasus. Namun di balik pengadilan, tersembunyi motif dan dendam yang lebih dalam dari yang tampak di berkas perkara.
Lebih Psikologis dari Film Aslinya
Berbeda dengan versi film 1990 yang lebih ringkas dan berfokus pada proses hukum, serial ini membuka lebih banyak jendela ke dalam rumah tangga Rusty. Ia bukan hanya jaksa yang goyah, tapi juga suami yang dituduh mengkhianati, ayah yang mencoba mempertahankan keluarga, dan manusia yang tak sanggup menebus luka yang ditorehkannya sendiri. Episode demi episode memperlihatkan bagaimana batas antara pelaku dan korban mulai kabur, diwarnai tekanan publik, media, dan politisasi hukum.
Sutradara David E. Kelley menyulap narasi hukum menjadi labirin moral. Ia membawa kita menyusuri ruang-ruang hampa dalam keluarga Sabich—diam, tatapan kosong, pintu tertutup. Kita dipaksa bertanya: siapa yang benar-benar bersalah? Siapa yang perlu dilindungi?
Kebenaran yang Tidak Pernah Diucapkan
Klimaks serial tidak menampilkan pengakuan heroik atau penangkapan dramatis. Tidak ada letupan. Yang ada justru kesunyian yang mengguncang. Dalam momen intim dan tanpa saksi, Rusty menyadari bahwa pelaku pembunuhan adalah anaknya sendiri, Kyle Sabich. Motifnya sederhana dan tragis: kemarahan yang meledak terhadap wanita yang dianggap sebagai perusak keluarganya.
Kyle tumbuh dalam bayang-bayang ayah yang berselingkuh dan ibu yang menelan kecewa. Ia merasa perlu mengambil tindakan “melindungi”—ironisnya, dengan cara yang paling menghancurkan. Dalam pilihan yang mengguncang akal dan nurani, Rusty memilih bungkam. Demi anaknya, demi keluarganya, ia menanggung beban kebohongan yang lebih berat daripada vonis apa pun.
Inilah yang membedakan serial ‘Presumed Innocent’ dari kisah kriminal lainnya. Ia bukan soal “siapa membunuh”, tapi soal “mengapa kebenaran tidak selalu ingin ditemukan”.
Sistem yang Retak
Serial ini juga menohok sisi lain dari sistem hukum modern. Jaksa wilayah yang haus kuasa, penyidik yang manipulatif, dan pengacara yang bermain dalam celah abu-abu hukum menjadi latar dari kisah Rusty. Dalam atmosfer seperti itu, kebenaran bukan sesuatu yang dicari bersama, melainkan alat tawar untuk menekan, menyelamatkan, atau menenggelamkan lawan.
Keadilan menjadi relativistik. Bagi Rusty, mempertahankan integritas di ruang publik bisa berarti mengorbankan prinsip dalam ruang privat. Ia menang di pengadilan, namun kalah di hati nuraninya. Sistem tidak menjatuhkan vonis, tapi rasa bersalah tidak pernah benar-benar hilang.
Serial yang Mendorong Penonton Berpikir
‘Presumed Innocent’ versi ini menawarkan tontonan yang lambat namun mendalam. Ia bukan untuk mereka yang menunggu klimaks spektakuler. Tapi bagi penonton yang menghargai ambiguitas moral, ini adalah kisah yang terus bergema jauh setelah layar padam.
Dalam dunia di mana banyak cerita hukum bergantung pada plot twist dan bukti mengejutkan, ‘Presumed Innocent’ menyodorkan tragedi manusia yang sangat sunyi: bahwa terkadang, demi melindungi orang yang kita cintai, kita rela memenjarakan diri dalam kebohongan.
Dan dari situ kita bertanya—bukan siapa yang membunuh, tapi: siapa yang sebenarnya tersesat?
