One Battle After Another (2025), film garapan Paul Thomas Anderson, adalah karya ambisius yang memadukan aksi, drama keluarga, dan satir politik dalam satu bingkai epik. Berdasarkan novel Vineland karya Thomas Pynchon, film ini mengisahkan mantan revolusioner Bob Ferguson (Leonardo DiCaprio) yang hidup menyendiri bersama putrinya Willa (Chase Infiniti) setelah bertahun-tahun mundur dari gerakan radikal.
Hidup mereka yang tenang terguncang saat musuh lama, Lockjaw (Sean Penn), kembali, dan Willa tiba-tiba menghilang memaksa Bob untuk kembali bertarung demi menyelamatkan keluarganya sekaligus menghadapi bayang-bayang masa lalu.
Skenario yang ditulis oleh Anderson sendiri sangat padat dan kaya tema. Ia berhasil menyeimbangkan narasi politik dengan drama emosional ayah-anak, sekaligus menyelipkan satir terhadap otoritarianisme dan rasisme. Konflik antara idealisme revolusioner dan kenyataan pahit pasca-revolusi digali dengan tajam, sementara plot pencarian Willa memberi urgensi emosional yang kuat.
Meskipun durasinya cukup panjang (sekitar 2 jam 42 menit) alur tetap terasa dinamis dan tidak mudah kehilangan arah, berkat struktur adegan yang dirancang untuk selalu menggiring penonton ke momen-momen puncak. Sebagian ulasan menyebut plotnya “cepat, intens, dan borderline overwhelming” tapi tetap bisa diikuti dengan kohesi yang baik.

Salah satu keunggulan teknis film ini adalah penggunaan format VistaVision, IMAX 70 mm, dan bahkan proyeksi rupa-rupa besar lainnya, yang menghadirkan skala visual sangat luas dan imersif.
Sinematografer Michael Bauman bekerja sama dengan Anderson untuk menciptakan citra sinematik yang grand dan mendalam, memperlihatkan lanskap Amerika yang terfragmentasi baik secara fisik maupun ideologis. Adegan aksi—mulai dari konfrontasi desertik hingga pengejaran karismatik—difilmkan dengan gaya kinetik namun tetap terkontrol, memberi sensasi “kekacauan terstruktur”. Beberapa penonton menyebut momen-momen ini sebagai “masterclass dalam controlled chaos.”
Leonardo DiCaprio memerankan Bob Ferguson dengan perpaduan kerentanan dan ketangguhan; Bob adalah ayah yang lelah secara emosional tapi masih sangat berkomitmen pada idealismenya. DiCaprio mampu menghadirkan karakter yang sangat manusiawi—tak sempurna, terkadang kikuk, tetapi sangat tulus dalam perjuangannya.
Teyana Taylor sebagai Perfidia Beverly Hills dan Sean Penn sebagai Lockjaw juga memberikan warna penting: Taylor menghadirkan figur revolusioner yang penuh semangat, sementara Penn sebagai antagonis lama membawa konflik ideologis yang dalam. Chase Infiniti sebagai Willa berhasil mencuri perhatian meski usianya muda: karakternya berapi-api, mandiri, dan menjadi motor emosional dalam film. Ensemble lainnya—termasuk Benicio del Toro dan Regina Hall—turut memberi performa solid yang memperkuat narasi film.

Screenplay dikerjakan dengan visi besar: Anderson menggabungkan dialog yang tajam, momen komedi gelap, dan set-piece aksi spektakuler. Transisi antar adegan terasa mulus, meskipun ada titik-titik di mana tema dan nada berubah cepat—dari satire ke drama, dari politik ke aksi. Beberapa pengulas menyebut bahwa meski film ini sangat panjang, tempohnya tidak terasa membosankan; sebaliknya, terasa seperti rollercoaster emosional dan ideologis yang terus bergolak.
Namun, pendekatan ini mungkin menantang bagi sebagian penonton yang mengharapkan plot konvensional—film ini lebih banyak berani dalam struktur dan gaya dibanding film aksi tipikal.
Musik diciptakan oleh Jonny Greenwood, yang sudah lama menjadi kolaborator Anderson. Skor-nya mampu mengangkat ketegangan film sekaligus menambahkan lapisan emosional yang mendalam. Sound design sangat detail: suara tembakan, mobil berkecepatan, dialog internal tokoh, dan bisikan ideologis saling berbaur dengan sangat baik. Kombinasi musik dan sound design ini memperkuat sensasi imersi, terutama saat adegan-adegan aksi dan momen-momen reflektif.
One Battle After Another tak hanya sebuah thriller aksi, tapi juga komentar sosial yang tajam. Anderson menggunakan kisah revolusioner masa lalu untuk mencerminkan masalah kontemporer: otoritarianisme, rasisme, ekstremisme politik, dan bagaimana ideologi masa muda terbentur realitas dewasa.
Film ini mengajak penonton mengambil perspektif ganda—sebagai orang yang pernah bermimpi revolusi dan sebagai orang yang menghadapi konsekuensi dari mimpi itu. Kritik terhadap sistem kekuasaan yang represif disampaikan dengan sindiran, humor gelap, dan emosionalitas pribadi, membuat film ini relevan sekaligus menghibur.
Meski banyak dipuji, film ini bukan tanpa kelemahan. Durasi yang sangat panjang bisa menjadi kendala bagi penonton kasual. Beberapa momen ideologis terasa terlalu padat dan mungkin membingungkan jika tidak diikuti dengan seksama. Ada pula kritik bahwa karakter sampingan tertentu kurang mendapat waktu eksplorasi mendalam, terutama dari sisi motivasi revolusioner mereka. Selain itu, gaya Anderson yang eksperimental dan berani bisa jadi kurang disukai penonton yang lebih menyukai narasi linier dan sederhana.
“One Battle After Another” adalah salah satu karya Paul Thomas Anderson paling ambisius dan berhasil dalam menggabungkan elemen aksi spektakuler, drama keluarga, dan satire politik. Dengan sinematografi luar biasa, akting kuat dari Leonardo DiCaprio dan ensemble pendukung, serta skenario yang berpikiran besar, film ini menawarkan pengalaman sinematik yang menggetarkan sekaligus reflektif.
Meski durasi panjang dan tema berat bisa jadi tantangan, film ini sangat layak ditonton—terlebih di layar besar seperti IMAX atau format VistaVision.

