Airy Room, startup penyedia jaringan hotel low budget yang berdiri sejak 2015 memutuskan untuk tutup permanen sejak pandemi corona melanda. Keputusan ini tentu mengejutkan publik. Begitu besar dampak ekonomi terhadap industri pariwisata kita sampai-sampai sebuah startup langsung gulung tikar. Tentu ini tak hanya terjadi di Indonesia. Seluruh tujuan wisata di seluruh dunia telah dikenai pembatasan perjalanan (travel restriction) menurut United Nation World Tourism Organization.
Selama tiga bulan pertama di tahun ini saja telah terjadi penurunan kedatangan turis internasional sebanyak 22%. Mengingat pandemi ini belum akan berakhir dalam waktu singkat diperkirakan penurunan kedatangan turis dapat mencapai 79%. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak krisis ekonomi global pada 2009 yang turun 4% dan epidemi SARS pada 2003 yang turun 0.4%.
Bila dihitung-hitung, kerugian dunia pariwisata di tahun 2009 dan tahun 2003 saja tercatat masing-masing 37 juta dolar dan 3 juta dolar.
Ada 3 skenario yang mungkin terjadi pada industri pariwisata global selama tahun ini. Pertama, bila pembatasan perjalanan berakhir di Bulan Juli, maka kerugian “hanya” 850 juta dolar. Namun bisa saja pembatasan perjalanan baru berakhir di awal September atau malah awal Desember. Hal ini tidak dapat dipastikan dengan jelas mengingat ada banyak pertimbangan yang harus diambil. Kita dapat berkaca pada Korea Selatan.
Hanya empat hari setelah bar dan club malam kembali dibuka, Walikota Seoul langsung memerintahkan penutupan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ini karena terjadi lonjakan kasus penularan Covid-19 yang membuat pemerintah Kota Seoul harus melacak 7200 orang pengunjung club malam. Awalnya, seorang pria mengunjungi 3 night club dalam satu hari. Ternyata ia positif. Bagai efek domino, puluhan orang pun ikut terjangkit.
Apa yang terjadi di Korea Selatan tentunya menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lainnya dalam melonggarkan karantina wilayah. Perlu ada regulasi yang tepat agar penyebaran penyakit dapat dicegah. Tentu benar bahwa kita tak mungkin selamanya berada di dalam rumah. Namun bila tak berhati-hati, kita takkan pernah keluar dari lubang hitam ini. Setidaknya selama vaksin belum ditemukan.
Sebenarnya industri pariwisata tetap dapat berjalan walau Covid-19 masih ada di sekitar kita. Misalnya dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Seperti sirkulasi udara yang harus lebih baik, tempat duduk yang berjarak, hingga grup tur dengan kelompok yang lebih kecil. Menjaga kebersihan juga harus menjadi perhatian utama bagi semua pihak. Karena bepergian ke luar negeri tidak memungkinkan, maka industri pariwisata dalam negeri akan lebih menangguk untung.
Namun sebagaimana kerasnya kita berusaha menerapkan ini sebagai the new normal, gelombang pemutusan hubungan kerja tetap tidak dapat dihindari. Diduga jutaan orang yang bekerja di industri pariwisata akan kehilangan pekerjaan atau minimal penurunan pendapatan.
Sebuah penelitian yang dilakukan tim yang dipimpin Faizan Ali dan Cihan Cobanoglu dari University of South Florida menunjukkan 63,8% wisatawan mengurangi rencana perjalanan mereka dalam 1 tahun ke depan.
Bagaimana negara-negara yang sempat menjadi episentrum dari pandemi? Apakah wisatawan akan memiliki image negatif terhadap negara tersebut sehingga jumlah kunjungan menurun? Uniknya berdasarkan penelitian, memori negatif wisatawan terhadap suatu destinasi hanya bertahan sebentar. Sebagai contoh, sebuah penelitian dilakukan terhadap bagaimana wisatawan memiliki image terhadap New Orleans yang diterpa Badai Katrina dan mengalami kerusakan parah.
Tentu saja ada penurunan image positif terhadap New Orleans sebagai destinasi wisata. Namun bukan berarti para wisatawan menghapusnya dari daftar kunjungan mereka.
Bagi wisatawan yang telah berkunjung beberapa kali ke New Orleans, mereka tetap memfavoritkan kota tersebut. Ini karena wisatawan memiliki ingatan lebih kuat terhadap hal-hal positif yang mereka nikmati selama berwisata. Contohnya restoran yang menyajikan makanan enak, pemandangan yang bagus, hingga suasana malam yang menyenangkan.
Kita juga dapat merujuk kepada Bali. Meski sempat diguncang kasus bom, Bali tetap berjaya sebagai salah satu destinasi wisata global populer. Menurut data dari Bali Hotel Association, saat tragedi Bom Bali I tahun 2002, terjadi penurunan wisatawan di tahun 2003 yaitu dari 1,1 juta di tahun sebelumnya menjadi 814 ribu di tahun berikutnya. Pada tragedi Bom Bali II di tahun 2005, terjadi penurunan wisatawan di tahun 2006 yang awalnya 1,3 juta menjadi 1,2 juta. Tahun 2018 wisatawan yang datang mencapai 810 ribu dan tahun 2019 menjadi 913 ribu. Bali tetap menjadi magnet wisatawan domestik maupun mancanegara.
Bali bisa saja akan menjadi salah satu destinasi wisata di Indonesia yang paling cepat pulih. Dengan jumlah kasus positif Covid-19 kurang dari 400 orang dan angka kematian 4 orang hal ini bisa menjadi contoh baik bagi kota-kota lain. Intan Kartika Dewi, 23 tahun, seorang penduduk Bali mengatakan betapa ketatnya aturan di sana. Penduduk Bali sangat taat pada pemangku adat di desanya masing-masing. Mereka tunduk untuk berada di rumah.
Mereka juga wajib menggunakan masker karena akan ada pecalang (polisi lokal) yang mencegat bila tak patuh. Selain itu diberlakukan pula pembatasan area. Untuk memasuki suatu area seseorang harus menggunakan surat pengantar yang menjelaskan alasannya berkunjung. Walau aturan menggunakan masker diterapkan di seluruh Indonesia, sayangnya masih banyak orang yang lalai dan tidak pakai. Di Bogor saja kita masih dapat melihat warga yang hilir mudik baik di pertokoan maupun pinggir jalan tanpa menggunakan masker.
Mari kita melihat China sebagai episentrum pertama dari pandemi. Pada 14 Januari, tingkat hunian hotel di daratan China mencapai 69,6%. Dua minggu kemudian jumlahnya turun hingga 89%-nya. Namun setelah kasus baru Covid-19 mengalami penurunan dan pembatasan perjalanan dibuka, tingkat hunian di daratan China meningkat hingga 40%. Penerbangan harian meningkat hingga 230%. Ini bukan angka total dari wisatawan global. China sendiri masih membatasi kedatangan wisatawan global sehingga kenaikan angka hunian hotel dan jumlah penerbangan ini berasal dari wisatawan domestik.
Italia sebagai negara berikutnya yang menjadi episentrum pandemi setelah China turut berencana untuk melonggarkan pembatasan perjalanannya. Setelah jumlah kasus yang menurun, Italia akan mulai membuka perbatasannya pada tanggal 3 Juni dan mengizinkan turis mancanegara datang. Tak hanya negara-negara di Eropa saja yang perlahan-lahan melonggarkan karantina wilayah mereka, hal serupa juga terjadi di Afrika.
Roar Africa, penyedia layanan safari super mewah di benua tersebut, mengatakan mereka telah menjual separuh paket wisata mereka hingga akhir tahun ini. Paketnya sendiri dibanderol minimal 60 ribu dolar per orang. Resor-resor mewah yang menyasar kelas atas di Amerika sendiri melaporkan telah penuh untuk liburan akhir tahun. Meskipun Amerika kini menjadi episentrum pandemi dengan angka kematian begitu tinggi, hal ini tidak menyurutkan keinginan orang-orang kaya negara tersebut untuk berwisata.
Bisa dibilang kemungkinannya yang akan cepat pulih adalah industri pariwisata untuk kalangan atas. Namun untuk kalangan menengah sendiri waktu pulihnya bisa lebih lambat. Kalangan menengah harus berjuang dengan PHK, unpaid leave, hingga penurunan pendapatan. Mereka akan lebih memikirkan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan sehari-hari dibanding berwisata. Dana darurat tak akan dipakai untuk pergi ke luar negeri hanya karena telah suntuk menghadapi karantina wilayah.
Selain itu diperkirakan wisatawan akan lebih memilih untuk berwisata ke tempat yang tidak terlalu padat. Pantai jelas bukan pilihan menarik lagi. Dataran tinggi akan menjadi pilihan utama setelah pandemi berlalu.
Beberapa negara di Asia yang telah melonggarkan karantina wilayah dan mulai membuka kantor-kantornya kembali memberlakukan kebijakan baru. Contohnya, kubikel kembali populer. Sekat-sekat ini akan membantu kita untuk merasa lebih aman dari droplets yang mungkin jatuh.
Ada pula perusahaan yang tidak lagi memberlakukan dapur umum untuk staffnya sehingga para karyawan kembali ke kebiasaan lama yaitu membawa bekal sendiri. Hal-hal ini bisa jadi akan berlaku juga di industri pariwisata. Seperti misalnya orang-orang tak akan berani untuk makan dalam jumlah besar di restoran dengan penempatan kursi dan meja berdekatan. Orang akan lebih suka makan di ruang-ruang privat dalam kelompok kecil atau malah membawa bekal sendiri.
Langkah maju telah diambil oleh restoran di Amsterdam, Belanda. Beberapa memilih untuk menawarkan layanan makan di dalam kotak kaca dengan jumlah dua-tiga orang saja. Selain menjadi pengalaman baru yang unik, ini membuat pengunjung merasa mendapatkan keamanan sekaligus privasi. Walau mungkin tak cocok untuk acara makan-makan keluarga besar namun cara ini bisa saja berhasil dan diterapkan di negara lain.
Tren terbaru di Indonesia sendiri menunjukkan banyak restoran akhirnya menjual hidangan populer mereka dalam bentuk frozen food. Meski orang-orang tidak dapat merasakan pengalaman berada di restoran tapi minimal mereka dapat mengobati kerinduan terhadap makanan favorit. Cara ini juga cukup ampuh mengingat kita tidak akan tahu sampai berapa lama harus bertahan di dalam rumah.