Seorang Youtuber Indonesia yang senang membuat konten parodi mengunggah foto black face. Ia mempostingnya dengan tagar #BlackLivesMatter dan I can’t breathe. Hal ini membuat konten kreator lainnya mengajukan kritik. Walaupun akhirnya postingan tersebut ditake down, masalah belum selesai. Netizen menganggap konten itu tidak bermasalah. Justru inilah masalah yang lebih besar. Bagi sebagian orang di Indonesia, menertawakan kematian orang lain tidak apa-apa.
I can’t breathe adalah kalimat terakhir yang diucapkan Eric Garner maupun George Floyd sebelum meninggal dunia. Keduanya wafat karena cekikan polisi. Eric meninggal di tahun 2014 sementara George di tahun 2020. Dalam rentang waktu enam tahun tersebut, sudah tak terhitung jumlah korban meninggal lainnya akibat ulah rasis oknum polisi di Amerika. Sayangnya protes yang diajukan publik tak ditanggapi. Dalam aksi protes kematian Breanna Taylor polisi malah menembak 7 orang demonstran.
Dengan pemberitaan media yang masif mengenai kasus rasisme di Amerika, nampaknya masih banyak yang tidak memahami akar masalahnya. Black face dianggap sebuah candaan belaka. Padahal, tak perlu jauh-jauh ke Amerika untuk melihat perbedaan warna kulit. Kita pun punya saudara di Papua yang kulitnya gelap. Bukankah mengunggah foto black face sama saja dengan menghina saudara di Papua? Ataukah kita menormalisasi hal semacam ini?
Dalam 24 jam terakhir, ada satu lagi kasus rasisme lainnya yang menjadi viral. Seorang Tiktoker asal Timika, Papua, mendapatkan pertanyaan-pertanyaan tidak pantas dari netizen mengenai kehidupannya. Mulai dari pertanyaan apakah dia hewan atau manusia, punya rumah atau tidak, hingga soal kutu rambut. Sebagian besar akun itu dimiliki anak di bawah umur yang seusia dengannya atau bahkan yang berusia lebih muda.
Pertama, masalahnya adalah anak-anak di bawah umur ini menggunakan internet tanpa pengawasan orangtua. Buktinya, mereka bisa membuat komentar-komentar yang rasis. Kedua, mereka tidak menganggap rasisme adalah masalah. Ada akun yang mengeluarkan komentar rasis di beberapa postingan sekaligus. Walau banyak teguran, komentar-komentar rasis terus memenuhi akun tersebut.
Bahwa ternyata orangtua dari anak-anak ini tidak tahu seberapa banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain TikTok saja sudah mengkhawatikan. Ditambah lagi para orangtua ini tidak mengajarkan anak-anaknya mengenai hal-hal yang tidak pantas dikatakan pada orang lain. Nilai dan norma hidup adalah salah satu hal mendasar yang sudah seharusnya diajarkan oleh orangtua manapun terhadap anaknya. Bagaimana cara berterima kasih, meminta maaf, hingga menghargai perbedaan. Sesederhana tidak menghina fisik orang misalnya.
Kita terlalu sering menormalisasi rasisme. Misalnya dengan mengomentari fisik ras tertentu, menetapkan stereotip terhadap perilakunya, hingga memunculkan prasangka. Kita juga melihatnya di dunia hiburan. Orang kulit hitam baik di Amerika ataupun orang Papua di Indonesia seringkali digambarkann serupa. Mereka kerap mendapatkan peran melucu. Ketika orang yang tidak berkulit hitam mengecat tubuhnya menjadi hitam, ia pun disimbolkan sebagai hal lucu.
Sudut pandang anti rasis
Menurut Ibran Xolani Kendi, seorang penulis sekaligus dosen kulit hitam di Boston, lawan dari kata rasis bukanlah tidak rasis tapi anti rasis. Sebab ketika seseorang mengaku tidak rasis, justru acapkali itu adalah penolakan dari dalam dirinya. Orang cenderung tidak mau dianggap rasis. Ketika membicarakan rasisme, seseorang umumnya merujuk pada sikap dalam bersosialisasi. Saya tidak rasis karena saya berkawan dengan orang dari berbagai suku maupun ras.
Namun rasisme bisa muncul dalam sikap lebih sederhana. Misalnya ketika kita membuat stereotip bahwa orang Papua sebaiknya mendapatkan peran-peran dalam film bergenre komedi karena logatnya terdengar lucu bagi orang non-Papua. Ini jelas rasisme. Mereka bicara dengan logat tersebut bukan karena lucu tapi memang begitulah cara bicaranya. Seperti pula kalau kita mengecap etnis China pintar berdagang atau malah mengecapnya pelit. Ini adalah rasisme yang disampaikan secara halus.
Alishia McCullough, seorang terapis berlisensi, membuat konsep The 7 Circles of Whiteness. Pertama mari kita pahami dulu apa itu “whiteness”. Dalam Ilmu Sosiologi terutama di negara mayoritas kulit putih dikenal istilah Whiteness Studies. Ini adalah studi yang mempelajari white privilege alias hak istimewa kulit putih. Mereka merasa superior dibanding ras kulit berwarna bukan karena lebih unggul secara genetis atau memang ditakdirkan demikian. Tapi ini karena rasisme yang terjadi secara sistematis.
Dalam konsep The 7 Circles of Whiteness, sikap rasis ini terbagi menjadi tujuh bagian yang mungkin tidak disadari oleh pelakunya. Pertama adalah white terrorist yang melakukan rasisme secara terang-terangan. Contohnya tentu saja polisi yang membunuh Eric Garner maupun George Floyd. Golongan kedua adalah the post racial believers. Ini adalah orang-orang yang tidak nyaman membicarakan topik rasisme. Membicarakan rasisme dianggap menciptakan perpecahan.
Bisa dibilang inilah yang banyak kita lihat pada orang Indonesia. Kasus rasisme yang ada justru ditutupi dan bila diangkat malah dikritisi. Rasisme dipandang tidak ada. Orang yang membicarakan rasisme dituduh ingin memecah belah persatuan negara. Dengan menolak keberadaan rasisme, orang tersebut telah menjadi bagian dari rasisme yang sistematis itu sendiri. Orang-orang ini mengecilkan perasaan ataupun pengalaman korban rasisme dalam hal ini minoritas.
Walaupun kita bukan kulit putih, seringkali ada titik di mana kita merasa lebih superior dibandingkan ras lain. Rasisme pun tak hanya ada di Amerika. Pada saat kasus Covid-19 meningkat setelah selesainya masa lockdown, banyak masyarakat di China yang bersikap rasis terhadap pendatang berkulit hitam. Alasannya, banyak kasus Covid-19 yang baru berasal dari luar negeri bukan penularan di dalam negeri. Hal ini membuat banyak kulit hitam tidak mendapatkan kontrakan ataupun kost-kostan untuk tinggal sementara di China. Umumnya mereka adalah pelajar.
Satu hal lain yang mungkin sering kita lupakan adalah membicarakan rasisme justru dari sudut pandang korbannya. Bila kulit putih bicara mengenai rasisme terhadap kulit hitam, cara pandang tersebut rentan akan bias. Ia yang bicara bisa saja bersikap lebih superior dibanding kulit putih lain dan merasa telah “bangkit” dari rasisme.
Sementara bagi kita sendiri, ada baiknya kita mulai menikmati Papua dari sudut pandang orang-orangnya. Jangan mengelak dengan mengatakan tak ada rasisme. Mereka yang berhak bicara ada tidaknya perasaan tersisihkan tersebut.
Tidak mengecilkan dampak rasisme
Seringkali kita menganggap rasisme sesederhana menyakiti hati orang lain. Rasisme hanya membuat orang sakit hati karena merasa tersisih. Padahal rasisme yang sistematis justru mencakup berbagai aspek dalam hidup. Membuat orang sulit mendapat kerja, ketika ada wabah tidak dilayani dengan maksimal sebagai pasien, hingga lebih rentan menjadi korban pencemaran lingkungan. Hal ini dijelaskan Profesor Robert Doyle Bullard dari Texas Southern University.
Sejak 1930-1978 sebanyak 82% limbah beracun dibuang ke pemukiman warga kulit hitam. Padahal populasi kulit hitam di Houston hanya 25%. Kasus lebih anyar dapat kita lihat pada pencemaran air di Kota Flint. Kota berpenduduk sekitar 102 ribu orang ini dihuni kulit hitam sebanyak 56%. Sisanya adalah kulit putih, hispanik, latin, dan lain-lain. Kota ini telah mengalami masalah pencemaran sejak tahun 2014 dan menyebabkan wabah Legionnaire, semacam pneumonia berat yang mengancam nyawa sekitar 90 orang.
Data pemerintah setempat menunjukkan ada 12 korban jiwa akibat wabah tersebut. Namun menurut serial dokumenter televisi Frontline, jumlahnya lebih banyak. Para korban tidak serta merta meninggal. Ada yang membutuhkan waktu mingguan, bulanan, hingga tahunan sebelum kondisinya memburuk. Mayoritas korban memiliki penyakit penyerta tapi wabah inilah yang memperburuk keadaan. Selain isu rasisme, isu kelas sosial juga terkait dalam hal ini. Banyak penduduknya berasal dari keluarga tidak mampu.
Rasisme membuat orang-orang yang menjadi korbannya dirugikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apa yang dilakukan oleh orang-orang kulit hitam bukan karena mereka melebih-lebihkan keadaan. Mereka sudah seharusnya menuntut untuk didengar. Menjadi manusia artinya memiliki hak asasi. Tidak masuk akal bila nyawa terancam hanya karena warna kulit atau segala prasangka yang menyertainya. Gelombang protes ini sendiri telah menyebar di seluruh negara bagian di Amerika.
Lebih menariknya lagi gelombang protes ini juga tersebar di berbagai negara lainnya. Aktivis Black Lives Matter mengklaim bahwa ada 13 negara yang ikut menyuarakan protes ke jalan. Beberapa di antaranya adalah Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Swedia, dan Australia. Uniknya lagi, ketika tagar ini menjadi trending selama beberapa hari, mulailah sebagian netizen Indonesia menyelipkan tagar Papuan Lives Matter.
Ini adalah kritikan untuk tidak melupakan masalah rasisme yang ada di dalam negeri. Sayangnya, ternyata masih banyak yang tidak mengetahui hal ini. Apalagi ketika konten berita dari BBC Indonesia mengenai Papua yang sebenarnya dibuat 9 bulan lalu justru kembali trending saat ini.
Di media sosial Instagram, sebagian netizen justru mempertanyakan apakah benar ada rasisme di Indonesia. Saking tabunya topik ini sampai banyak yang tidak tahu sama sekali. Padahal hal semacam ini telah terjadi dalam kurun waktu yang lama tapi kita terlalu sibuk menutupinya.
Representasi di media
Salah satu cara terbaik dalam membangun pandangan anti rasis baik dalam diri sendiri maupun masyarakat adalah melihat representasi yang beragam di media. Kita cenderung merasa asing dan tak memahami sesuatu yang tak kita lihat. Sebaliknya bila hal-hal asing ini diperlihatkan secara reguler, akan membentuk penerimaan dan pemahaman. Bila mengacu pada kasus di Indonesia, sudah seharunya kita menonton Papua tak sekadar lucunya saja.
Bahwa stereotip yang ada harus betul-betul dihapuskan. Papua artinya bukan kemiskinan. Penduduknya beraneka ragam, sama beragamnya dengan di berbagai daerah lain di Indonesia. Begitu pula representasi kulit hitam di media. Mereka bukan geng yang memperjualbelikan senjata maupun narkoba. Kulit hitam bukan pelaku kriminal yang harus selalu diwaspadai kehadirannya. Mereka juga tidak bodoh atau tertinggal.
Nickelodeon dan Disney sebagai saluran televisi yang ramah anak sengaja menayangkan iklan sepanjang 8 menit 46 detik. Ini merupakan waktu yang sama dengan durasi ketika George Floyd mengalami cekikan polisi menggunakan lutut. Nickelodeon hanya menampilkan layar hitam dengan tulisan beserta suara napas selama durasi tersebut. Sementara Disney menampilkan gambaran anak-anak kulit hitam.
Rekomendasi film dan serial TV
Film Papua
- Epen Cupen (2015)
- Tanah Mama (2015)
- Cinta Dari Wamena (2013)
- Di Timur Matahari (2012)
- Denias, Senandung Di Atas Awan (2006)
Serial TV
- Smart Guy (1997) – Disney
- Sister Sister (1994) – Disney
- Proud Family (2001) – Disney
- Raven (2003) – Disney
- The Color Of Friendship (2000) – Disney
- My Brother and Me (1994) – Nickelodeon
- Just Jordan (2007) – Nickelodeon
- Kenan & Kel (1996) – Nickelodeon
- Cousin Skeeter (1998) – Nickelodeon
- Orange Is The New Black (2013) – Netflix
- Black Lightning (2018) – Netflix
- BlackAF (2020) – Netflix
- Dear White People (2017) – Netflix
- She’s Gotta Have It (2017) – Netflix
- When They See Us (2019) – Netflix
Film
- Selma (2014)
- The Help (2011)
- The Butler (2013)
- Dreamgirls (2006)
- Marshal (2017)
- George Washington (2000)
- Django Unchained (2012)
- 13TH (2016)
- 12 Years A Slave (2013)
- Moonlight (2016)
- BLACKkKLANSMAN (2018)
- Green Book (2018)