Di dua ujung dunia, dua sekolah berdiri dengan filosofi yang sama dinginnya. Satunya, Gurukul, lembaga elite di India yang menyanjung disiplin dan kehormatan bak dogma suci. Satunya lagi, Welton Academy, sekolah asrama Amerika yang memuja tradisi dan kesuksesan akademik di atas segalanya.
Keduanya melahirkan murid-murid pintar, tapi kehilangan satu hal: jiwa yang bebas.
Dalam dua film legendaris — Mohabbatein (2000) garapan Aditya Chopra dan Dead Poets Society (1989) karya Peter Weir — kita menemukan cermin yang saling berhadapan. Meski berasal dari budaya berbeda, keduanya berbicara dalam bahasa universal: bagaimana cinta, puisi, dan keberanian berpikir menentang sistem yang memenjarakan kemanusiaan.
Guru yang Datang Membawa Kehidupan
Kedua film itu dibuka dengan suasana kaku yang seragam: barisan siswa berjas rapi, kepala tunduk, suara guru yang menggelegar seperti lonceng peraturan.
Di Dead Poets Society, kepala sekolah Welton menegaskan empat pilar suci: Tradition, Honor, Discipline, Excellence. Sementara di Mohabbatein, Kepala Sekolah Gurukul, Narayan Shankar (Amitabh Bachchan), menekankan tiga nilai yang hampir serupa: Tradition, Honor, Discipline.
Lalu datanglah seorang guru baru yang mengubah semuanya. Di Welton, itu adalah John Keating (Robin Williams) — mantan murid yang kini kembali mengajar sastra, membawa semangat “Carpe Diem”, ajakan untuk “memetik hari.” Di Gurukul, sosok itu bernama Raj Aryan Malhotra (Shah Rukh Khan) — juga mantan murid, kini guru musik yang menyalakan kembali api cinta yang telah lama dilarang.
Keduanya datang dengan senyum hangat, metode mengajar yang tak biasa, dan keyakinan bahwa pendidikan bukan soal hafalan, tapi pembebasan.
Keating mengajak murid-muridnya berdiri di atas meja untuk “melihat dunia dari sudut pandang baru.” Raj Aryan mengajarkan murid-muridnya memainkan biola dan mengikuti suara hati: “Cinta tidak salah. Yang salah adalah ketika kita takut mencintai.”
Dua kalimat dari dua benua, tapi intinya sama — hidup bukan sekadar mematuhi, tapi memahami.

Benturan Dua Generasi
Mohabbatein dan Dead Poets Society sama-sama mengisahkan benturan generasi — antara idealisme tua yang memuja keteraturan dengan semangat muda yang mencari makna. Narayan Shankar dan kepala sekolah Welton adalah dua wajah dari sistem yang sama: rezim ketakutan. Mereka percaya bahwa cinta dan kebebasan berpikir akan merusak tatanan yang telah mapan.
Tapi Keating dan Raj Aryan tahu: tatanan tanpa empati hanyalah penjara moral. Keating menyelundupkan puisi ke ruang kelas; Raj Aryan menyelundupkan cinta ke ruang musik. Keduanya menanamkan benih pembangkangan lembut, bukan lewat teriakan, melainkan lewat keindahan.
Film Dead Poets Society menampilkan Neil Perry (Robert Sean Leonard), siswa yang menemukan jati diri lewat teater, tapi akhirnya bunuh diri karena ditentang ayahnya. Sedangkan Mohabbatein menyingkap kisah Megha, putri Narayan Shankar, yang juga mengakhiri hidupnya karena cinta yang dilarang ayahnya.
Dua tragedi yang mencerminkan luka paling dalam dari sistem yang menolak kasih: ketika cinta dianggap dosa, hidup kehilangan makna.
Cinta dan Puisi sebagai Perlawanan
Bagi Keating dan Raj Aryan, cinta dan puisi adalah senjata paling halus melawan tirani. Keduanya tidak menggulingkan kekuasaan dengan revolusi, tapi dengan menyalakan kesadaran individu.
Di ruang kelas Welton yang suram, Keating mengutip Walt Whitman:
“O Captain! My Captain!” — puisi tentang kepemimpinan dan kehilangan.
Di Gurukul, Raj Aryan memetik biola sambil berkata:
“Cinta adalah bentuk paling murni dari keberanian.”
Keduanya mengajarkan bahwa cinta dan puisi bukan pelarian dari realitas, tapi cara untuk menghadapi realitas dengan jiwa yang hidup.

Dua Akhir yang Berbeda, Tapi Serupa
Meski keduanya berakhir dengan nada yang berbeda, keduanya menawarkan kemenangan yang sama: kemenangan nurani. Keating dipecat karena dianggap menyesatkan murid-muridnya. Tapi sebelum ia pergi, satu per satu siswa berdiri di atas meja dan berseru:
“O Captain! My Captain!”
Itu adalah bentuk penghormatan, sekaligus pembangkangan.
Raj Aryan di Mohabbatein tidak dipecat. Sebaliknya, ia membuat Narayan Shankar menundukkan kepala — menyerahkan kunci Gurukul kepadanya, mengakui bahwa cinta yang selama ini ditindas akhirnya menang.
Kedua film menunjukkan, kemenangan moral tidak selalu membutuhkan teriakan. Kadang, cukup dengan keberanian untuk tetap menjadi manusia.
Ruang Kelas Sebagai Cermin Masyarakat
Apa yang membuat dua film ini abadi adalah kemampuannya memotret ruang kelas sebagai miniatur masyarakat. Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tapi arena benturan ideologi: antara konformitas dan kebebasan, antara dogma dan rasa ingin tahu. Dead Poets Society lahir dari kritik terhadap sistem pendidikan Amerika yang kompetitif dan menindas kreativitas. Mohabbatein muncul di India saat masyarakat mulai bergeser dari nilai-nilai konservatif menuju modernitas emosional.
Keduanya mengingatkan bahwa sistem yang terlalu mencintai keteraturan sering lupa bahwa pendidikan seharusnya melahirkan manusia yang berpikir, bukan mesin yang patuh.
Jejak Abadi Dua Film
Lebih dari dua dekade sejak rilisnya, Dead Poets Society masih menjadi referensi wajib dalam diskusi pendidikan humanistik. Mohabbatein, sementara itu, terus dikenang sebagai film yang memadukan romantisme Bollywood dengan kedalaman moral. Keduanya hidup dalam budaya yang berbeda, tapi saling bersahutan dalam semangat yang sama: cinta dan kebebasan adalah fondasi sejati peradaban.
Epilog: Antara “Carpe Diem” dan “Mohabbatein”
John Keating berkata:
“No matter what anybody tells you, words and ideas can change the world.”
Raj Aryan menimpali, seolah dari dunia lain:
“Love is not weakness. It’s the most powerful emotion a human can have.”
Keduanya bicara pada generasi yang sama — generasi yang kerap lupa bahwa menjadi manusia adalah berani merasa, berpikir, dan bermimpi.
Mungkin, jika dua tokoh itu duduk di satu kelas yang sama, Keating akan mengutip puisi, dan Raj Aryan akan memainkan biola. Dan di antara bait dan nada itu, kita mendengar pesan abadi: bahwa cinta dan puisi adalah dua cara paling halus untuk menentang kekuasaan — dan dua cara paling manusiawi untuk hidup sepenuhnya.

