Quantcast
Jurnalisme Tanpa Nurani: Dunia Gelap dalam 'Nightcrawler' - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
Jurnalisme Tanpa Nurani: Dunia Gelap dalam 'Nightcrawler'

Film

Jurnalisme Tanpa Nurani: Dunia Gelap dalam ‘Nightcrawler’

Ketika media tak lagi menjunjung kebenaran, dan hanya mengejar ketakutan, maka kamera berubah menjadi senjata.

Pada satu malam di Los Angeles yang nyalang dan lengang, Louis Bloom mengangkat kameranya. Di balik lensa, ia merekam tubuh berdarah, sirene polisi, dan kepanikan warga. Bukan untuk membantu. Bukan untuk bersedih. Tapi untuk menjualnya ke televisi lokal. “If it bleeds, it leads,” begitu semboyan yang jadi mantra ruang redaksi. Dan dalam dunia Nightcrawler, darah bukan tragedi. Ia adalah komoditas.

Film ‘Nightcrawler’ (2014), debut penyutradaraan Dan Gilroy, menyajikan satir brutal tentang industri media dalam kapitalisme ekstrem. Lewat sosok Lou Bloom—diperankan cemerlang oleh Jake Gyllenhaal—film ini mempertontonkan bagaimana obsesi pada rating dan eksklusivitas berita bisa membunuh etika. Lou bukan wartawan. Ia oportunis jalanan yang belajar dari YouTube dan kutipan motivasi murahan, lalu menyulap tragedi jadi mata uang.

Kisahnya dimulai saat Lou, pengangguran yang hidup dari mencuri pagar dan kabel, menyaksikan stringer—jurnalis lepas—merekam kecelakaan untuk dijual ke TV. Ia tertarik, bukan karena empati, melainkan karena peluang. Ia membeli kamera bekas dan pemindai polisi, lalu masuk ke dunia yang mengaburkan batas antara peliput dan pelaku.

Dalam tempo cepat, Lou menyadari satu hal: yang penting bukan kebenaran, tapi ketegangan. Maka, ia mulai melanggar garis etika. Ia menggeser mayat agar dapat sudut kamera yang dramatis. Ia menyunting video agar tampak lebih menyeramkan. Ia bahkan menunda memberi tahu polisi tentang pembunuhan agar bisa merekam penembakan secara langsung. Dan semua itu laku.

Nina Romina, redaktur berita stasiun lokal yang diperankan Rene Russo, membayar mahal hasil kerja Lou. Ia tahu laporan Lou menakutkan, manipulatif, bahkan mungkin ilegal. Tapi selama rating naik dan sponsor puas, ia pura-pura tak tahu. “Tampilkan wajah penyerang yang gelap, masuk ke rumah orang kaya di kawasan putih,” kata Nina. “Itu yang penonton kita mau.”

Ini bukan fiksi semata. Dalam banyak ruang redaksi di dunia nyata, tekanan rating dan tuntutan sensasi tak jarang melumpuhkan kompas moral. Video viral seringkali lebih diprioritaskan daripada verifikasi. Kekerasan menjadi tontonan yang menggugah emosi, tanpa konteks atau empati. Dalam era digital yang didominasi klik dan algoritma, ‘Nightcrawler’ terasa seperti cermin kejam: jernih, dingin, dan tak nyaman.

Jake Gyllenhaal tampil luar biasa sebagai Lou Bloom. Ia tampil dengan tubuh kurus, mata cekung yang jarang berkedip, dan senyum kaku yang menyimpan manipulasi. Lou bukan pembunuh berdarah dingin dalam pengertian klasik. Ia lebih berbahaya: predator yang menjual penderitaan orang lain sambil menyamar sebagai pekerja keras yang gigih. Ia mengutip motivator, bicara soal kerja tim, dan mengelola asistennya seperti CEO startup. Tapi di balik semua jargon itu, ia hanya satu hal: sosiopat yang dibesarkan oleh sistem yang menyukai hasil, bukan proses.

Gilroy membungkus film ini dengan estetika noir modern. Kota Los Angeles tampil sebagai labirin lampu neon, bayang-bayang gedung, dan cahaya sirine yang berpendar. Musik garapan James Newton Howard justru memperkuat absurditas: saat Lou melakukan tindakan keji, musiknya justru bersemangat, seolah memuji keberhasilan seorang pahlawan. Irama ironis ini menunjukkan betapa sistem yang rusak bisa memuliakan pelaku kejahatan selama ia memberikan hasil.

Di balik kisah Lou Bloom, ‘Nightcrawler’ menodongkan satu pertanyaan tajam: siapa sebenarnya yang menciptakan monster seperti Lou? Apakah ia hasil dari kemiskinan, atau dari industri media yang haus darah? Ataukah kita semua, para penonton yang tak berpaling dari layar saat ada video berdarah, yang jadi penopang ekosistem ini?

Sebagai masyarakat, kita sering terpesona pada tayangan kekerasan, seolah menganggapnya sebagai hiburan. Jurnalisme ideal yang mendidik dan membangun solidaritas kalah oleh jurnalisme pasar yang mendramatisasi tragedi. Di sinilah pesan Nightcrawler menjadi penting: bahwa ketika kamera hanya mencari sensasi, yang hancur bukan hanya narasi, tapi juga nurani.

Film ini tak menawarkan jalan keluar. Ia bahkan tak menghakimi Lou Bloom secara gamblang. Ia hanya menunjukkan: inilah dunia yang kita bangun, dan Lou hanyalah salah satu produk paling berhasilnya.

Lewat Nightcrawler, Dan Gilroy seolah ingin mengingatkan kita: ketika media tak lagi menjunjung kebenaran, dan hanya mengejar ketakutan, maka kamera berubah menjadi senjata. Dan yang kita tonton bukan hanya berita—melainkan bukti bahwa empati sedang sekarat.

All the President’s Men: Ketegangan Jurnalisme dalam Membongkar Skandal Politik

Film

Animal Farm Review: Alegori Kekuasaan dan Korupsi yang Abadi

Film

por thozhil 2023 por thozhil 2023

Por Thozhil: Sekolah Pemburu di Jalanan Ngeri

Film

The Last Emperor The Last Emperor

The Last Emperor: Indah, Emosional dan Intelektual

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect