Pada 10 Juni 1975, Steven Spielberg melepas “Jaws” sebagai teror musim panas di industri perfilman Hollywood. Pulau Amity merupakan salah satu destinasi wisata musim panas populer dalam kisah ini. Hingga seekor hiu putih besar (great white shark) meneror para penduduk pulau dan mengancam perekonomian Amity yang tergantung pada sektor wisata.
Martin Brody (Roy Scheider), seorang penjaga pantai akhirnya mengajak seorang ilmuwan laut (Richard Dreyfuss) dan pemburu hiu (Robert Shaw) untuk mengakhiri dominasi monster taring laut tersebut.
“Jaws” merupakan salah satu film Hollywood 90-an terikonik dan wajib ditonton sebagai referensi film monster terbaik. Meraup keuntungan Box Office hingga USD 472 Juta, “Jaws” merupakan summer blockbuster yang menorehkan sejarah terpenting dalam industri perfilman dunia. Lebih dari sekadar film monster hiu dengan lagu tema yang ikonik, “Jaws” memang memiliki kualitas top tier sebagai tolak ukur bagaimana film monster seharusnya diciptakan.
Lebih Fokus pada Sudut Pandang Manusia sebagai Mangsa
Meski ikan hiu menjadi bintang utama dalam posternya, “Jaws” sebetulnya bukan film tentang ikan hiu. Naskah yang diangkat dari novel karya Peter Benchley ini lebih fokus pada sudut pandang manusia sebagai mangsa. Hiu putih besar dalam “Jaws” hanya memiliki screen time sekitar 4 menit dalam film berdurasi 2 jam ini.
Secara ajaib Steven mampu mengarahkan adegan yang memperlihatkan teror dan kebrutalan tanpa memperlihatkan hiu seutuhnya. Ketakutan yang ditimbulkan bukan dari bagaimana ikan buas tersebut menyerang, namun bagaimana ekspresi manusia sebagai korban. Ada teriakan, rongrongan putus asa, kemudian air laut yang berubah menjadi merah. Tanpa kehadiran ikan hiu dalam setiap frame, ketakutan serta paranoia masih bisa kita rasakan melalui setiap karakter manusia.
Kesalahan yang kerap kita temukan pada film bertema monster adalah eksploitasi kebrutalan monsternya. Kemudian melupakan penulisan karakter manusia yang ideal dan masuk akal.
Dalam “Jaws” kita akan melihat penjaga pantai yang paranoid, walikota yang tak ingin melewatkan profit musim panas, penduduk pulau yang bebal, ilmuwan biota laut yang profesional, serta nelayan sinting pemburu hiu. Setiap karakter memiliki latar belakang yang mempengaruhi cara mereka menghadapi peristiwa mengerikan di Pulau Amity. Satu kesamaan di antara mereka semua adalah ketakutan pada air dan teror hiu di dalamnya.
Ketenangan Sebelum Bencana, Membangun Suspense dengan Sempurna
“Jaws” sebetulnya memiliki kemasan ala film monster B-Movie yang cheesy, terutama dalam segi visual. Ikan hiu yang ditampilkan dalam film ini menggunakan animatronic, sementara beberapa adegan potongan tubuh didukung dengan dummy.
Steven sadar bahwa filmnya sangat terbatas dalam segi efek visual. Oleh karena itu, film dimaksimalkan dalam segi editing, kemudian didukung dengan scoring dari John Williams. Dengan penampakan hiu yang sangat terbatas secara visual, musik latar tersebut dikomposisi dengan sempurna untuk memberi identitas pada ikan hiu dalam “Jaws”.
Hanya dengan modal editing dan musik latar ikonik tersebut, Steven bak seorang komposer yang membawakan orkestra teror ikan hiu dengan sempurna. Dimulai dengan ketenangan yang mencurigakan, decoy, hingga mencapai adegan klimaks yang mengerikan. Kemudian meninggalkan jejak teror yang terasa menghantui.
Justru karena adegan serangan hiu tidak sering diperlihatkan, membuat penonton tidak terbiasa dengan taringnya. Serangan monster yang terlalu intens dan brutal justru akan membuat film terasa tidak realistis dan membosankan. Dimana monster seakan memiliki niat menyakiti yang tidak masuk akal, sementara karakter manusia justru kerap melakukan kesalahan yang bodoh.
Dalam “Jaws”, hiu secara alami memang memiliki insting untuk memangsa manusia. Kemudian manusia secara natural akan membunuh hewan buas ketika dirasa mengancam nyawa.
Teror Ikan Hiu yang Mengikuti Penonton Setelah Film Selesai
Berbeda dengan film horror yang hanya berakhir sebagai mimpi buruk dalam tidur, “Jaws” dijamin akan menghantui penonton hingga mereka menghabiskan musim panas di pantai atau bahkan kolam renang umum.
Steven bisa dibilang bertanggung jawab akan munculnya trauma dan phobia baru pada anak-anak maupun orang dewasa setelah menonton filmnya. Karena tidak menampilkan banyak adegan gore dan adegan dewasa, “Jaws” sempat dikategorikan sebagai film PG. Namun, seperti yang telah dibahas sebelumnya, film ini tidak main-main dalam membangun suspense yang cukup brutal untuk psikologi penonton, apalagi anak-anak.
Hantu dan monster karena kelainan genetik bisa saja tidak nyata, namun ikan hiu putih pemakan manusia merupakan makhluk nyata, sedang berenang di lautan lepas saat ini.
Tanpa rekayasa atau dramatisir berlebihan, “Jaws” telah memiliki materi original yang mengandung ketakutan nyata. Kemudian dikembangkan menjadi film thriller musim panas yang tak terlupakan, menjadi film monster terbaik dari sutradara Steven Spielberg.