Thriller dan drama menjadi paduan genre yang bagus dalam sebuah film. Bila diimbangi dengan social commentary yang sesuai dengan pangsa pasarnya, film tersebut bisa jadi lebih bermakna bagi penontonnya. Seperti halnya pada trilogi “I Will Survive” yang dirilis secara eksklusif di platform KlikFilm.
“I Will Survive” merupakan trilogi film produksi Umbara Brothers Film yang disutradarai oleh Anggy Umbara. Dibintangi oleh Omar Daniel, Morgan Oey, Onadio Leonardo, Anggika Bolsterli, dan Amanda Rigby, trilogi ini berkisah tentang beberapa orang yang terhubung karena berbagai problema kehidupan dan kehadiran satu psikopat yang mengusik hidup mereka.
Ada tiga segmen yang dihadirkan oleh konten orisinil KlikFilm ini. ‘I’ ditempatkan sebagai film pembuka, dilanjutkan dengan ‘Will’, dan diakhiri dengan ‘Survive’ yang menjadi konklusi semuanya. Walau inti ceritanya berbeda, tiga segmen tersebut memiliki satu benang merah yang menghubungkan segala konflik di dalamnya.
Segmen ‘I’ sendiri berpusat pada kisah Sanjaya, seorang karyawan agensi digital yang harus kehilangan istri tercintanya. Belum lagi dengan hubungannya yang kurang baik dengan sang ayah, membuat dirinya perlahan ingin menuntut balas pada orang-orang yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Sebagai segmen pembuka, ‘I’ tampil dengan premis ala vigilante yang sudah umum sekali di luar Indonesia. Tak heran jika penceritaannya bisa dibilang mirip dengan film-film seperti ‘The Punisher’ dan ‘The Equalizer’, yang di dalamnya juga diselipkan sebagai easter egg, membuat Anggy Umbara seakan sadar bahwa filmnya seperti versi lain dari film bertema sama.
Berbeda dengan film bertema vigilante yang banyak mengedepankan aksi, ‘I’ sangatlah minim akan hal tersebut. Fokus yang ingin ditampilkan oleh Anggy Umbara adalah grief dan mental disorientation dari seorang warga sipil yang membasmi sampah masyarakat. Ditambah dengan komentar sosial mengenai kriminalitas dan kehadiran PETRUS sebagai solusi mengurangi kejahatan membuat film thriller drama ini terasa sangat Indonesia.
Setelah bermain-main dengan vigilante, hadir segmen ‘Will’ yang menjadi bagian kedua dari trilogi ini. Berjalan secara paralel dengan segmen sebelumnya, bagian kedua ini berkisah tentang Andra, seorang programmer yang memiliki masalah dalam rumah tangganya dan menjadikan kegiatan bersepeda di pegunungan sebagai pelarian dari segala masalahnya. Akan tetapi, ia mengalami kecelakaan kala bersepeda yang membuatnya terluka dan tak bisa berbuat apa-apa, yang memberinya waktu untuk kilas balik dalam hidupnya.
Lain halnya dengan ‘I’, ‘Will’ memberikan efek yang jauh lebih mengerikan. Setelah diperkenalkan sedikit mengenai Andra dan beragam tokohnya, penonton akan dibawa dalam struggle Andra untuk bisa bertahan hidup. Walau secara garis besar ini film ini tak jauh berbeda dibanding ‘127 Hours’ beberapa tahun silam, film yang menempatkan Morgan Oey sebagai pemeran utama ini tampil menawan dengan teror psikologisnya melalui ragam ilusi dari sudut pandang Andra meski pacing yang sangat draggy menjadi isu besar pada segmen ini.
Setelah dua segmen tersebut, trilogi ini ditutup dengan ‘Survive’ yang lebih berdarah dan explicit dibanding segmen-segmen sebelumnya. Fokusnya sendiri berada pada karakter Dani dan memberikan semacam latar belakang mengenai pendorong aksinya pada trilogi ‘I Will Survive’.
Segmen ‘Survive’ juga terasa tidak benar-benar orisinil, karena premis serupa sudah ditemui di berbagai film, utamanya “Killers” yang disutradarai oleh Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel 2014 lalu. Bahkan cerita dan karakter dari main character-nya juga tak jauh berbeda, dengan god complex yang seakan membenarkan segala aksinya.
Meski segmen terakhir ini menjadi yang paling lemah dalam trilogi karena banyaknya bagian yang membuat penonton garuk-garuk kepala, ada beberapa bagian yang cukup berkesan. Salah satunya dari internal struggle dari karakter Dani yang tampil epik, membuat interaksi dalam dirinya terasa nyata dan berpotensi membangkitkan rasa peduli penonton padanya.
Hadirnya ragam cast jugalah yang membuat trilogi “I Will Survive” terasa menyenangkan. Morgan Oey adalah show stealer di sini dengan cakupan emosinya yang lebih luas dibanding para pemeran lain, disusul dengan Omar Daniel yang juga tampil cukup apik bersama Amanda Rigby dan Anggika Bolsterli di sepanjang tiga segmen tersebut. Akan tetapi, lain halnya dengan Onadio Leonardo, yang justru tampil kurang membawakan karakter Dani dan terlihat tidak alami dalam perannya tersebut.
Dari segi teknis, tidak banyak yang bisa dibahas lebih dalam pada trilogi “I Will Survive”. Set design yang tidak terlalu spesial, scoring yang biasa, ditambah dengan penggunaan CGI yang masih cukup kasar, membuatnya masih perlu banyak perbaikan demi menghadirkan cinematic experience yang lebih ciamik.
Pada akhirnya, trilogi “I Will Survive” tidak memberikan banyak hal baru dalam film bertema thriller drama. Meski begitu, elemen social commentary ala Indonesia dan keberaniannya membawa elemen explicit cukup untuk memberikan angin segar sesaat bagi perfilman Indonesia yang sedang terasa kendor selama pandemi ini.