Connect with us
Photo by Daniel Salgado on Unsplash

Culture

Food Truck yang Makin Berjaya di Asia

Food truck dianggap sebagai langkah awal terbaik masuk industri makanan.

Pernah coba makanan yang dibeli dari food truck? Beberapa tahun ini, food truck mulai menjamur di Indonesia terutama di Jabodetabek. Pemerintah Indonesia sendiri belum memiliki regulasi mengenai food truck karena hal ini diatur oleh pemerintah daerah masing-masing. Food truck telah diakui di DKI Jakarta sejak keluar pergub mengenai Pendaftaran Usaha Pariwisata di tahun 2012. Walau telah diakui keberadaannya harus diakui keberadaan food truck di Indonesia masih tidak sebanyak di Korea atau Jepang misalnya. Tren industri boga kita masih restoran, rumah makan, kafe, dan penjualan makanan secara online.

Food truck sendiri sedang menikmati masa jayanya di negara-negara Asia Timur. Korea sendiri telah mengakui food truck ke dalam industri boga sejak Juni 2014. Sementara itu food truck mulai booming sejak tahun 2017 di Jepang meski kehadirannya telah ada sejak 2008. Tahun yang sama merupakan tahun kelahiran food truck pertama di Amerika. Uniknya, salah satu pionir food truck di Amerika adalah seorang berdarah Korea yaitu Roy Choi dengan usahanya yang bernama Kogi. Ia menjual barbeque ala Korea.

Diperkirakan pada tahun ini Amerika memiliki 23,000 food truck yang memiliki pendapatan hingga 1 milyar dolar. Pertumbuhan bisnis food truck mencapai hampir 7% dalam lima tahun terakhir. Jumlah yang besar ini dianggap merupakan hasil dari regulasi pemerintah setempat yang menguntungkan para pemilik food truck. Sebagai sebuah bentuk startup, food truck dianggap memiliki risiko dan modal minimal tetapi dapat memberikan hasil maksimal. Dukungan dari pemerintah membuat para pengusaha muda tidak ragu untuk terjun dan menekuni bisnis food truck.

Sebaliknya, pemerintah Korea dikritik karena regulasinya yang terlalu ketat. Meski pertumbuhan food truck di Korea cukup menggemberikan karena jumlahnya yang terus bertambah tetapi sulit bagi mereka untuk menangguk untung besar. Ini karena pemerintah Korea tidak mengizinkan food truck untuk berpindah tempat. Pemilik usaha food truck harus menyewa sebuah spot untuk memarkir kendaraan mereka dan berjualan di sana. Padahal food truck merupakan jenis usaha yang mobile. Selain itu beberapa spot yang dilegalkan oleh pemerintah untuk menjadi lokasi berjualan food truck justru sepi sehingga mereka kesulitan memiliki pelanggan.

Hal ini mendorong beberapa pemilik food truck untuk bermain nakal. Mereka sengaja melanggar peraturan dengan berkeliling untuk berjualan. Bila tidak, mereka mengaku kesulitan mendapatkan keuntungan. Walau demikian beberapa pemilik food truck beruntung karena pemerintah menempatkan mereka di spot yang populer untuk pejalan kaki sebagai segmen utama. Misalnya di area perbelanjaan atau kampus.

Demam food truck di Korea pertama kali muncul karena larisnya film Chef (2014) yang disutradarai Jon Favreau. Ternyata film tersebut menginspirasi banyak anak muda di Korea untuk terjun ke dalam bisnis food truck. Memiliki food truck dianggap sebagai salah satu jalan dalam mengejar passion. Beberapa yang telah memiliki pekerjaan tetap dan karir yang cukup cemerlang justru memutuskan mengundurkan diri demi membuka bisnisnya sendiri. Berbisnis dianggap sebagai bentuk kemerdekaan.

Regulasi lain yang dikritik adalah kendaraan tidak boleh berukuran di atas satu ton. Inilah mengapa bila kita membandingkan ukuran food truck di Korea dengan di Amerika akan terasa berbeda. Food truck di Amerika berukuran lebih besar sehingga pemilik dapat lebih leluasa ketika memasak dan berjualan. Pemerintah Korea menganggap regulasi itu diperlukan agar food truck yang ada tidak menghalangi jalan sehingga tidak menganggu lalu lintas. Masalahnya pemilik food truck perlu memiliki ruang untuk menyimpan persediaan makanan, air, lemari penyimpanan, gas, dan listrik. Ukuran kendaraan yang terlalu kecil membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan penjualan.

food truck

Photo by Brett Sayles from Pexels

Bila kita perhatikan, ukuran food truck di Jepang juga tak jauh beda. Kalau industri food truck di Korea berbenturan dengan regulasi yang dianggap merugikan maka di Jepang benturannya adalah stigma masyarakat. Food truck dianggap tidak higienis, tidak dipercaya, dan tidak enak. Orang lebih suka untuk makan di kedai atau rumah makan. Stigma inilah yang kemudian dicoba dipatahkan oleh sebuah perusahaan yaitu Mellow. Memanfaatkan teknologi, mereka menciptakan basis data untuk para pengelola food truck.

Basis data ini misalnya menunjukkan berapa kira-kira makanan yang akan terjual dalam satu hari. Informasi ini memudahkan pengelola food truck untuk tidak menyiapkan bahan makanan melebihi perkiraan sehingga tidak mubazir. Selain itu basis data ini juga tidak membiarkan jenis makanan yang sama dijual oleh beberapa food truck dalam satu tempat. Hal ini menghindari persaingan yang terlalu sengit antarpedagang. Melalui aplikasi tersebut pelanggan juga dapat mencari tahu di mana makanan yang ia inginkan dijual. Tahun ini Mellow diperkirakan telah bekerja sama dengan 500 pengelola food truck.

Modal yang diperlukan untuk membangun usaha food truck di Korea berkisar dari 20 hingga 40 juta won. Sementara itu di Jepang memerlukan kurang lebih 10 juta yen. Harga di Indonesia sendiri bervariasi. Sebuah food truck pun bisa dimulai dengan harga 20 juta rupiah. Modal yang dibutuhkan jelas lebih rendah dibanding menyewa bangunan untuk membuka kafe atau restoran. Inilah mengapa food truck populer di kalangan anak muda yang ingin memerdekakan diri dalam hal keuangan. Food truck adalah start up yang mudah untuk dilakoni apalagi regulasi di Indonesia tidaklah rumit.

Namun nampaknya ini bukan sekadar modal yang rendah semata. Meski produk makanan on the go diminati oleh publik, nampaknya masyarakat Indonesia masih lebih menyukai budaya nongkrong. Inilah mengapa coffee shop menjamur hampir di tiap sudut kota, bahkan di kota kecil sekalipun. Coffee shop dianggap tempat yang tepat untuk bercengkrama, bersantai, bahkan bekerja. Apalagi orang Indonesia banyak yang tidak suka berjalan kaki dan mengeluhkan kondisi trotoar yang kurang nyaman. Padahal food truck lekat dengan pejalan kaki.

Selain itu food truck menjadi salah satu pilihan utama bagi publik Korea dan Jepang karena keberagaman menunya dan harga yang terjangkau. Dengan meningkatnya jumlah perempuan bekerja di Jepang membuat jumlah karyawan yang membawa bekal ke kantor menurun. Para istri sudah tidak memiliki waktu lagi untuk menyiapkan bekal bagi suaminya. Kesetaraan gender ternyata berdampak positif pada industri food truck. Para karyawan membutuhkan makanan yang cepat disajikan dan mudah ditemukan sehingga food trucklah jawabannya.

Sementara itu popularitas food truck di Korea meningkat pesat sejak para selebriti memiliki kebiasaan baru. Mereka kini senang menyewa food truck atau bahkan mengirimkannya kepada kolega sebagai dukungan ketika melakukan syuting atau fan meeting. Menyediakan food truck dianggap sebagai salah satu cara untuk bergaul. Makanan yang disajikan pun tak melulu makanan lokal melainkan Thailand, India, hingga Meksiko. Food truck di Korea juga kerap menggunakan jargon-jargon unik sebagai trik marketingnya. Ini membuat food truck memiliki nilai lebih dibanding rumah makan dan katering biasa.

Luigi's Hot Pizza Luigi's Hot Pizza

Luigi’s Hot Pizza: Pizza Rave Pertama di Bali

Lifestyle

Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase Apurva Kempinski Bali_Grand Staircase

Memorable Stay Experience at The Apurva Kempinski Bali

Culture

byrd house bali byrd house bali

Byrd House Bali: Pengalaman Kuliner Sempurna Berpadu Dengan Suasana Eksotis

Lifestyle

Bali Dynasty Resort Bali Dynasty Resort

Bali Dynasty Resort: Destinasi Populer Bagi Keluarga di Tepi Pantai Kuta Selatan

Lifestyle

Connect