‘Farewell My Concubine’ (1993) adalah karya megah dari sutradara Tiongkok Chen Kaige, yang memenangkan Palme d’Or di Festival Film Cannes dan tetap dianggap sebagai salah satu film paling monumental dari Asia.
Dengan latar sejarah penuh gejolak—dari era Republik Tiongkok, pendudukan Jepang, Revolusi Kebudayaan, hingga era pasca-Mao—film ini tidak hanya menjadi drama sejarah yang kuat, tetapi juga eksplorasi mendalam atas kompleksitas identitas, cinta, dan seni.
Cerita mengikuti dua sahabat sekaligus aktor opera Beijing, Cheng Dieyi (Leslie Cheung) dan Duan Xiaolou (Zhang Fengyi), sejak masa kecil mereka di sekolah opera yang keras hingga menjadi bintang panggung. Dieyi dikenal memerankan tokoh perempuan, sementara Xiaolou memerankan jenderal pria dalam lakon legendaris “Farewell My Concubine.”
Dieyi, yang terbentuk secara emosional melalui peran-peran femininnya, mengembangkan cinta mendalam dan rumit terhadap Xiaolou. Namun, ketika Xiaolou menikahi wanita penghibur bernama Juxian (Gong Li), hubungan ketiganya berubah menjadi tragedi yang bergulir bersamaan dengan kekacauan sejarah Tiongkok.
Naskah yang ditulis oleh Lu Wei diadaptasi dari novel karya Lilian Lee, menyajikan karakter yang kompleks dan lapisan-lapisan cerita yang saling menyilang antara kehidupan pribadi dan politik. Skrip ini berhasil membangun nuansa psikologis yang dalam pada masing-masing karakter. Penggunaan bahasa dalam dialog sangat puitis namun tetap tegas. Ada kesenyapan yang bermakna, seolah menegaskan bahwa tidak semua rasa bisa diucapkan. Alur film memang perlahan, tetapi sangat kuat dalam membangun emosi dan tensi.
Zhao Fei, sebagai sinematografer, menciptakan komposisi gambar yang luar biasa indah. Panggung opera digambarkan secara teatrikal dan penuh warna, kontras dengan dunia nyata yang dingin dan keras. Palet warna berani, pencahayaan lembut, serta pergeseran antara suasana mimpi dan kenyataan menciptakan efek visual yang memukau. Film ini juga berhasil merekam ketegangan sosial dan kekerasan politik dengan kehalusan namun tetap menyakitkan.
Leslie Cheung memberikan salah satu penampilan terbaik sepanjang kariernya sebagai Cheng Dieyi—karakter yang rapuh, penuh luka, dan sekaligus memesona. Ia membawa lapisan-lapisan kerumitan psikologis yang sangat jarang terlihat dalam sinema Asia pada masanya. Zhang Fengyi sebagai Xiaolou tampil kontras: maskulin, rasional, dan akhirnya tragis dalam kelemahannya. Gong Li sebagai Juxian menambahkan konflik emosional yang kuat; karakternya bukan hanya wanita perebut cinta, tetapi sosok yang juga memperjuangkan martabatnya di dunia yang tidak memberinya ruang.
Tema dan Pesan Moral
‘Farewell My Concubine’ tidak hanya bercerita tentang cinta yang tak tersampaikan, tapi juga tentang pencarian jati diri dalam dunia yang terus berubah. Film ini mempertanyakan peran seni dalam masyarakat otoriter, membongkar cara sejarah memanipulasi kehidupan individu, dan bagaimana gender serta identitas dikonstruksi melalui tradisi. Film ini juga menyuarakan bagaimana trauma masa kecil, represi politik, dan keterasingan seksual bisa membentuk dan menghancurkan seseorang.
‘Farewell My Concubine’ adalah film yang penuh keindahan, tragedi, dan kedalaman intelektual. Ia adalah perpaduan epik antara seni panggung dan sejarah nasional, yang dikemas dengan sinematografi spektakuler dan penampilan akting luar biasa. Sebagai film anti-kekerasan dan anti-represi, ia menawarkan pengalaman emosional dan estetis yang sulit dilupakan.
Film ini bukan hanya penting secara sinematik, tetapi juga sebagai karya seni yang abadi—yang menyuarakan sisi manusia dalam sejarah yang penuh luka dan cinta yang tak pernah tersampaikan.
