Quantcast
Dongji Rescue: Keberanian Nelayan Biasa yang Menantang Laut dan Sejarah - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
Dongji Rescue
Cr. Well Go USA Entertainment

Film

Dongji Rescue: Keberanian Nelayan Biasa yang Menantang Laut dan Sejarah

Kisah heroik nelayan Dongji yang menyelamatkan tawanan perang lewat rasa kemanusiaan dan konflik batin.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Dongji Rescue” adalah film sejarah-perang China garapan Guan Hu dan Fei Zhenxiang yang mengangkat peristiwa nyata Insiden Lisbon Maru (1942), ketika kapal kargo Jepang yang membawa tawanan perang Inggris tenggelam dan nelayan Dongji berani turun tangan menyelamatkan ratusan nyawa yang terperangkap.

Film ini menembus layar lebar dengan durasi sekitar 134 menit, dibintangi Zhu Yilong sebagai A’Bi, Wu Lei sebagai A’Dang, serta Ni Ni sebagai A’Hua. Produksi dimulai sejak 2019, dengan persiapan mendetail termasuk pembangunan replika kapal perang dan perahu nelayan tradisional, serta teknik syuting bawah air yang intens.

Dongji Rescue (2025) Review

Film dibuka dengan gambaran kehidupan nelayan di Dongji selama pendudukan Jepang. A’Dang menemukan seorang dokter Inggris yang selamat di laut setelah kapal Lisbon Maru ditorpedo. Ia dan kakaknya A’Bi terpecah dalam sikap: A’Dang yang idealis ingin menyelamatkan, sementara A’Bi yang sinis mengingat betapa beratnya konsekuensi jika mereka diketahui Jepang.

Konflik moral dan emosional ini jadi inti plot—bukan sekadar aksi perang. Seiring kapal mulai tenggelam dan situasi makin genting, nelayan Dongji memutuskan untuk terlibat langsung dalam misi penyelamatan, mempertaruhkan nyawa mereka di tengah laut badai dan bahaya tentara Jepang.

Script karya Chen Shu, Zhang Ji, dan Dong Runnian menggabungkan elemen sejarah dengan dramatisasi yang kuat. Dialog khas film perang, namun juga diberi ruang bagi karakter lokal—percakapan-percakapan kecil tentang keluarga, rasa takut, dan solidaritas. Beberapa kritikus menyebut plot di bagian awal terasa agak formulaik, terutama dalam pengenalan karakter, tapi ia berhasil menjalin ketegangan moral dengan skala yang makin besar menuju klimaks. (RogerEbert.com)

Weizhe Gao sebagai sinematografer menyuguhkan visual yang sangat mengesankan—pemandangan pantai Dongji, ombak yang ganas, kapal yang tenggelam, dan perahu kecil nelayan yang menghadapi badai. Syuting menggunakan set air nyata (real-water) dan interior kapal replika menambah sense of realisme. Adegan bawah laut cukup menantang dan efek airnya tampak nyata.

Pencahayaan kala senja, kabut, dan malam hari memberi nuansa dramatis sekaligus menekan psikologi karakter. Efek skala besar (kapal, laut, badai) dibuat secara praktis dan digital, tapi mayoritas diakui cukup berhasil dalam menghadirkan ketegangan.

Musik oleh Atli Örvarsson memperkuat suasana: saat deburan ombak, ketegangan moral, dan aksi heroik—meteran orkestral dipakai tidak hanya sebagai latar dramatis, tapi sebagai penanda perubahan perasaan dan keputusan karakter.

Zhu Yilong sebagai A’Bi memberikan performa yang kompleks: mulai sebagai sosok keras dan pragmatis, lalu perlahan terbuka terhadap rasa empati dan tanggung jawab. Wu Lei sebagai A’Dang tampil sebagai lawan idealisnya: penuh semangat, optimistis, serta rentan secara emosional tapi memiliki keberanian luar biasa.

Ni Ni sebagai A’Hua menambahkan kedalaman—dia bukan hanya “wanita pendukung”, melainkan karakter yang secara aksi dan moral memiliki kontribusi signifikan. Interaksi antar tiga karakter utama ini menjadi kekuatan emosional film.

Pemeran pendukung, termasuk karakter-nelayan biasa, orang tua, dan saksi sejarah, juga cukup meyakinkan meski tidak semua mendapatkan waktu yang proporsional. Dinamika antara rakyat desa dan kekejaman tentara Jepang di satu sisi, dan dorongan moral serta solidaritas di sisi lain, terasa nyata.

Tema & Nilai Penting

Keberanian kolektif menjadi tema utama: film menekankan bahwa ketika manusia biasa memilih bertindak berdasarkan kemanusiaan, dampaknya bisa besar. Ada juga tema moralitas: kapan seseorang harus mengambil risiko demi orang lain, meski resikonya nyawa dan keamanan sendiri.

Sejarah juga diangkat sebagai tugas ingatan—mengingat kembali peristiwa yang mungkin terlupakan agar tidak terulang. Konflik batin antara kepentingan pribadi (keselamatan, keraguan) dan panggilan moral membuat film ini lebih dari sekadar aksi perang.

Kelebihan & Kekurangan

Kelebihan: film ini secara visual memukau, produksi skala besar terasa mendalam, latar belakang sejarah diceritakan dengan epik namun menyentuh, akting utama kuat, dan penggarapan adegan aksi laut sangat mendebarkan.

Kekurangan: di bagian awal, karakter terasa agak stereotip (misalnya karakter sinis vs idealis) sehingga perkembangan karakter kadang bisa diprediksi. Konflik moral yang sangat berat kadang diimbuhi adegan kekejaman yang bisa terasa berlebihan atau dramatisasi bagi sebagian penonton. Selain itu, keseimbangan antara aksi dan narasi emosional kadang goyah—adegan aksi spektakuler bisa mengalahkan momen reflektif.

“Dongji Rescue” adalah film perang-sejarah yang berhasil menggabungkan skala besar dan kedalaman emosional. Ia berhasil mengangkat peristiwa sejarah yang kurang dikenal dengan cara yang menarik, mendebarkan, sekaligus menyentuh.

Meskipun tidak sempurna, terutama dalam pengembangan karakter sekunder dan penyajian kekejaman, film ini layak jadi tontonan wajib bagi penggemar film sejarah, aksi, dan kisah kemanusiaan.

As Tears Go By: Romansa Kelam dan Pelarian dari Jalanan

Film

Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Jurnalistik Versus Propaganda: Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Film

A Clockwork Orange: Distopia Brutal yang Menguji Moral dan Kebebasan

Film

Carlito's Way (1993) Carlito's Way (1993)

Carlito’s Way: Jalan Pulang Carlito yang Tak Pernah Sampai

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect