Quantcast
Crooked House: Rumah Miring dan Jiwa yang Patah - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
Crooked House: Rumah Miring dan Jiwa yang Patah
Cr. Nick Wall.RAF

Film

Crooked House: Rumah Miring dan Jiwa yang Patah

Tidak ada cinta dalam keluarga ini, hanya warisan, kontrol, dan reputasi.

Dalam dunia Agatha Christie, kejahatan tak selalu lahir dari kebencian yang gamblang. Kadang ia tumbuh diam-diam di ruang keluarga, dibungkus keheningan aristokrat, dan meledak dalam bentuk yang tak terduga. Film ‘Crooked House’ (2017) menyajikan premis ini dengan presisi yang halus dan atmosfer yang padat: bahwa pembunuhan bukan sekadar tindakan, tetapi puncak dari keretakan moral yang dibiarkan berkembang.

Disutradarai oleh Gilles Paquet-Brenner dan diadaptasi dari novel Christie tahun 1949, ‘Crooked House’ membawa kita ke kediaman megah milik keluarga Leonides—sebuah rumah besar bergaya eksentrik yang tampak mewah dari luar, tapi menyimpan kebusukan di dalam. Judul film bukan sekadar deskripsi arsitektur. Ia adalah metafora dari struktur keluarga yang telah kehilangan keseimbangan. Seperti rumah yang miring, isi keluarga ini pun tak lagi berdiri tegak secara moral.

Kisah dimulai dengan kematian mendadak Aristide Leonides, kepala keluarga dan taipan kaya keturunan Yunani. Penyebabnya: racun digitalis. Seseorang telah membunuhnya. Cucu kesayangan Aristide, Sophia, yang cemas akan reputasi keluarganya, memanggil Charles Hayward, seorang detektif swasta sekaligus mantan kekasihnya, untuk menyelidiki kasus tersebut sebelum polisi resmi turun tangan.

Dari sinilah misteri mengembang. Charles dihadapkan pada sekelompok penghuni rumah yang semuanya punya motif, tapi tak satu pun tampak bersalah secara langsung. Ada Brenda, istri muda Aristide yang lebih muda 50 tahun, yang dituduh berselingkuh dengan guru pribadi cucu mereka. Ada dua anak Aristide, Philip dan Roger, yang masing-masing gagal memenuhi ekspektasi ayahnya. Magda, menantu yang dramatis dan haus pengakuan. Dan Edith de Haviland, saudari ipar mendiang istri Aristide, seorang perempuan konservatif yang menjadi penyeimbang moral—atau justru penutup kejahatan?

Namun karakter paling mencolok adalah Josephine, cucu perempuan berusia 12 tahun yang tampaknya lebih suka mencatat kegiatan keluarga dibanding bermain boneka. Ia mengaku ingin menjadi detektif, tapi perlahan-lahan menjadi sosok yang paling mencurigakan. Tingkah lakunya nyeleneh, omongannya tajam, dan keberadaannya sering diabaikan oleh orang dewasa. Dalam keluarga besar Leonides, anak-anak bukan untuk didengar, hanya untuk dibentuk.

Crooked House bukan thriller cepat yang sarat aksi. Ia justru bergerak pelan, membangun atmosfer tak nyaman yang tumbuh dari interaksi antarkarakter. Dialog tajam dan gestur kecil menyiratkan ketegangan psikologis yang lebih menakutkan daripada ledakan. Keheningan yang panjang di meja makan terasa lebih mengancam ketimbang suara sirene polisi. Ini adalah khas Agatha Christie: menyusupkan horor melalui sopan santun.

Ketika penyelidikan mengerucut, semua jalan seolah menuju Brenda dan guru privat. Tapi seperti novel-novel Christie lainnya, jawaban sebenarnya tersembunyi di tempat yang tak terduga. Di akhir film, kebenaran mencengangkan muncul: pelaku pembunuhan adalah Josephine. Anak kecil, yang merasa tidak dianggap, meracuni kakeknya karena dilarang ikut pelatihan balet. Motifnya tampak sepele, tapi justru itu yang membuatnya menakutkan: kejahatan bisa lahir dari pengabaian kecil yang bertumpuk.

Josephine tidak hanya membunuh, tapi juga menyabotase, menciptakan skenario palsu, dan mengatur kejatuhan orang dewasa di sekelilingnya. Ia menjadi produk dari keluarga yang tidak tahu bagaimana mencintai, hanya tahu bagaimana mengontrol. Ini bukan kisah tentang psikopat kecil, melainkan tentang bagaimana sistem keluarga bisa menciptakan monster dengan cara yang sangat wajar.

Yang paling menyayat adalah keputusan Edith di akhir film. Setelah menyadari siapa pelaku sesungguhnya, ia memilih menyetir mobil bersama Josephine dan menabrakkan diri ke jurang. Sebuah tindakan drastis yang bukan hanya untuk mencegah kejahatan berulang, tapi juga bentuk pengakuan bahwa sistem yang mereka bangun telah gagal total. Dalam pandangan Edith, dunia tidak akan memaafkan anak pembunuh, dan sistem hukum akan menghancurkan sisa kemanusiaan Josephine. Maka, ia memilih mengakhiri keduanya—dengan cara paling sunyi dan tragis.

Film ini tidak hanya bercerita tentang pembunuhan. Ia adalah potret tentang keluarga yang retak karena terlalu lama menutup luka. Rumah mewah yang dibanggakan keluarga Leonides tak ubahnya panggung sandiwara, tempat semua orang memainkan peran sambil menyembunyikan niat dan luka. Aristide mungkin mati diracun, tapi sesungguhnya seluruh keluarga telah lebih dulu mati secara emosional.

Secara visual, ‘Crooked House’ digarap dengan elegan. Tata artistik dan pencahayaan mendukung nuansa gelap yang halus, bukan muram. Kostum dan latar tahun 1950-an dihadirkan tanpa berlebihan, memberi konteks kelas dan waktu yang pas. Glenn Close tampil gemilang sebagai Edith: tenang, keras, namun penuh lapisan emosi. Max Irons sebagai Charles Hayward memainkan peran detektif yang tidak terlalu dominan, lebih sebagai mata penonton yang menyaksikan kehancuran dari dekat.

‘Crooked House’ layak dibaca sebagai alegori sosial. Di era ketika keluarga aristokrat mulai kehilangan relevansi, film ini mengangkat bagaimana warisan kekuasaan dan kekayaan bisa menciptakan alienasi. Tidak ada cinta dalam keluarga ini, hanya warisan, kontrol, dan reputasi. Dan di tengah kekosongan emosi itulah, tragedi lahir.

Agatha Christie tahu benar bahwa pembunuhan paling kejam tidak selalu dilakukan oleh musuh, tapi bisa datang dari dalam rumah sendiri. Film ini mengingatkan kita: bahwa rumah yang tampak megah di luar, bisa menyimpan jiwa-jiwa yang patah di dalamnya. Dan kadang, kejahatan paling kejam bukan dilakukan oleh orang dewasa, tapi oleh mereka yang paling kita anggap tak bersalah.

All the President’s Men: Ketegangan Jurnalisme dalam Membongkar Skandal Politik

Film

Animal Farm Review: Alegori Kekuasaan dan Korupsi yang Abadi

Film

por thozhil 2023 por thozhil 2023

Por Thozhil: Sekolah Pemburu di Jalanan Ngeri

Film

The Last Emperor The Last Emperor

The Last Emperor: Indah, Emosional dan Intelektual

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect