Lima tahun di balik terali besi adalah waktu yang cukup bagi seorang raja untuk merenungi takhtanya yang fana. Bagi Carlito Brigante (Al Pacino), penguasa heroin di Spanish Harlem era 1970-an, penjara bukan sekadar tempat penebusan dosa, melainkan sebuah rahim pertobatan.
Berkat kelihaian David Kleinfeld (Sean Penn), pengacaranya yang licin dan pecandu kokain, Carlito menghirup udara bebas lebih cepat dari yang seharusnya. Ia keluar bukan dengan hasrat untuk kembali merebut jalanan, melainkan dengan satu mimpi sederhana: mengumpulkan $75.000, membeli penyewaan mobil di Bahama, dan meninggalkan New York yang busuk selamanya.
Inilah premis yang menjadi jantung dari Carlito’s Way (1993), sebuah mahakarya Brian De Palma yang seringkali tertutup bayang-bayang karyanya yang lebih bombastis, Scarface. Jika Scarface adalah opera tentang keserakahan yang membakar, Carlito’s Way adalah sebuah elegi; sebuah sajak muram tentang takdir dan ketidakmungkinan lari dari masa lalu. Film ini, yang diadaptasi dari novel karya hakim Edwin Torres, adalah potret seorang pria yang mencoba berenang melawan arus kodratnya sendiri.

Al Pacino, yang satu dekade sebelumnya meledak-ledak sebagai Tony Montana, di sini menampilkan performa yang lebih terukur dan penuh nuansa. Carlito-nya adalah sosok yang lelah. Sorot matanya memancarkan kebijaksanaan pahit seorang veteran perang yang tahu setiap sudut medan pertempuran, namun kini hanya merindukan gencatan senjata abadi. Ia menolak tawaran-tawaran lama, menepis provokasi dari gangster generasi baru yang lapar dan congkak seperti Benny Blanco “from the Bronx” (John Leguizamo). Ia punya kode etik jalanan yang kuno: kehormatan, loyalitas, dan utang budi. Ironisnya, justru kode etik inilah yang menjadi rantai pemberat di kakinya.
Pemberat utamanya adalah David Kleinfeld. Diperankan secara brilian oleh Sean Penn yang nyaris tak bisa dikenali dengan rambut keriting dan kacamata tebalnya, Kleinfeld adalah antitesis dari segala yang dijunjung Carlito. Ia adalah cerminan dekadensi, pengkhianatan yang dibungkus dalam jubah persahabatan.
Kleinfeld menarik Carlito kembali ke dalam pusaran kekerasan atas nama “utang budi”—sebuah utang yang harus dibayar Carlito karena telah dibebaskan dari penjara. Adegan di mana Carlito terpaksa menemani Kleinfeld dalam sebuah misi pembebasan klien mafia dari penjara Rikers Island adalah titik balik yang menentukan. Di atas kapal di East River yang kelam, takdir Carlito disegel bukan oleh peluru musuh, melainkan oleh kebodohan dan kepanikan sahabatnya sendiri.
Di tengah dunia yang membusuk itu, ada satu suar harapan: Gail (Penelope Ann Miller), cinta lama Carlito. Gail adalah simbol dari “firdaus” yang ia dambakan. Seorang penari balet yang beralih menjadi penari erotis, Gail merepresentasikan dunia normal yang pernah Carlito singkirkan. Kisah cinta mereka menjadi jangkar emosional film ini. De Palma dengan lihai menggambarkan momen-momen intim mereka sebagai oase ketenangan di tengah badai yang siap menerjang.
Percakapan mereka di atap apartemen, di bawah guyuran hujan, adalah dialog dua jiwa yang terluka dan mendamba jalan keluar. “Kau bukan lagi orang itu,” bujuk Gail. Carlito ingin memercayainya, penonton pun ingin memercayainya, namun jalanan terus memanggil namanya.

Sebagai seorang sutradara, Brian De Palma adalah seorang virtuoso visual, dan Carlito’s Way adalah salah satu panggung terbaiknya. Ia mengubah lokasi-lokasi biasa—sebuah kelab malam, sasana biliar, atau stasiun kereta—menjadi arena gladiator modern yang menegangkan. Tengoklah adegan kejar-kejaran di sasana biliar. Dengan sapuan kamera steadicam yang panjang dan tanpa putus, De Palma membangun ketegangan lapis demi lapis hingga mencapai klimaks yang mematikan.
Puncaknya, tentu saja, adalah sekuens pengejaran selama sepuluh menit di Stasiun Grand Central. Ini bukan sekadar adu tembak; ini adalah balet kematian yang terorkestrasi dengan sempurna. De Palma memanfaatkan setiap eskalator, setiap koridor, setiap sudut arsitektur megah stasiun itu untuk menciptakan labirin klaustrofobik bagi Carlito. Diiringi musik Patrick Doyle yang menghantui, kita menyaksikan Carlito, seorang ahli strategi ulung, menggunakan seluruh instingnya untuk bertahan hidup demi satu tujuan: mencapai kereta terakhir menuju surga miniaturnya bersama Gail yang sedang hamil.
Pada akhirnya, Carlito’s Way bukanlah cerita tentang kejahatan, melainkan tentang tragedi penebusan. Musuh terbesar Carlito bukanlah para mafia Italia atau gangster muda Puerto Riko. Musuh terbesarnya adalah reputasinya sendiri, legendanya yang menolak untuk mati. Jalanan selalu mengawasinya. Setiap langkahnya menuju kebaikan selalu dibayangi oleh jejak kekerasannya di masa lalu. “Favor will kill you faster than a bullet,” bisik narasi Carlito di awal film, sebuah ramalan yang tergenapi dengan cara paling menyakitkan.
Ketika peluru terakhir menemukan sasarannya, dan Carlito menatap poster iklan Bahama di peron stasiun—sebuah “Escape to Paradise”—kita tidak hanya menyaksikan kematian seorang gangster. Kita menyaksikan tumbangnya sebuah mimpi. Sebuah mimpi bahwa manusia bisa menulis ulang takdirnya.
Carlito Brigante hampir berhasil. Ia sudah membeli tiketnya. Namun, seperti dalam tragedi Yunani klasik, jalan pulang seringkali hanyalah sebuah ilusi yang indah. Dan bagi Carlito, jalan itu berakhir hanya beberapa jengkal dari gerbang firdaus.

