Quantcast
Blindness Review: Ketika Kegelapan Membuka Wajah Manusia Sebenarnya - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea

Film

Blindness Review: Ketika Kegelapan Membuka Wajah Manusia Sebenarnya

Alegori distopia tentang krisis kemanusiaan, kehilangan moralitas, dan harapan yang redup di tengah kegelapan kolektif.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Disutradarai oleh Fernando Meirelles dan dirilis pada tahun 2008, ‘Blindness’ adalah film yang diadaptasi dari novel pemenang Nobel karya José Saramago berjudul sama. Dengan gaya visual eksperimental dan tema yang kompleks, film ini menawarkan sebuah eksplorasi alegoris tentang masyarakat yang menghadapi bencana tak kasat mata—sebuah epidemi kebutaan mendadak yang menyebar tanpa sebab yang jelas.

Meskipun mendapat sambutan kritis yang beragam, ‘Blindness’ tetap menjadi film yang menggugah karena keberaniannya mengupas sisi paling kelam dari kodrat manusia ketika peradaban runtuh.

Cerita bermula ketika seorang pria di persimpangan jalan tiba-tiba mengalami kebutaan total tanpa sebab medis. Fenomena ini, yang disebut “kebutaan susu” karena pandangannya yang hanya dipenuhi cahaya putih, menyebar secara cepat seperti wabah. Pemerintah, yang tidak tahu bagaimana menangani situasi ini, memutuskan untuk mengarantina para korban di sebuah fasilitas kosong yang berubah menjadi semacam kamp konsentrasi.

Di sana, kondisi memburuk. Tanpa pengawasan yang layak dan tanpa sistem, para penghuni mulai bertindak berdasarkan insting dasar mereka: saling menguasai, mengambil makanan, memperkosa, hingga membunuh. Satu-satunya orang yang tidak terkena kebutaan adalah istri seorang dokter (diperankan Julianne Moore), yang dengan pura-pura buta masuk ke dalam karantina demi menemani suaminya. Dari titik inilah, ia menjadi semacam saksi bisu—dan sekaligus penuntun moral—dalam masyarakat yang telah kehilangan semua nilai-nilai etikanya.

Alur cerita dibangun secara bertahap, dengan intensitas yang menanjak menuju situasi yang semakin putus asa. Meirelles memilih untuk lebih fokus pada efek sosial dan psikologis dari kebutaan massal, alih-alih pada aspek medis atau ilmiah.

Don McKellar mengadaptasi novel Saramago ke dalam skenario film dengan pendekatan yang cukup setia terhadap struktur dan semangat buku aslinya. Namun, tantangan utama adalah menyampaikan nuansa literer dan narasi metaforis yang begitu kaya dalam medium visual. Dialog dalam film sering kali terkesan kering dan eksposisional, tetapi hal ini diimbangi oleh kekuatan simbolisme dan momen-momen diam yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Dalam banyak hal, ‘Blindness’ bukan film yang mudah atau nyaman untuk ditonton, terutama karena tema sosialnya yang brutal dan narasinya yang pesimistis. Tapi di situlah letak keberaniannya.

César Charlone, sinematografer langganan Meirelles, menyajikan gambar-gambar yang nyaris abstrak, dengan saturasi warna yang diredam, overexposure, dan efek kabur untuk merepresentasikan disorientasi dan kekacauan yang dirasakan para karakter. Gaya visual ini mendukung tema utama film: bahwa dalam kegelapan, yang menjadi kabur bukan hanya penglihatan, tetapi juga moralitas.

Desain produksi juga berhasil menggambarkan transformasi dari lingkungan steril dan modern menjadi ruang primitif yang dikuasai naluri liar. Fasilitas karantina yang awalnya tampak fungsional perlahan berubah menjadi semacam “neraka sosial” yang mengingatkan pada ‘Lord of the Flies’ versi dewasa.

Julianne Moore memikul beban emosi film ini dengan luar biasa. Ia bermain dengan subtil, memerankan seorang wanita yang menjadi saksi sekaligus korban dari keruntuhan sosial. Performanya penuh rasa sakit yang tertahan dan ketabahan yang lembut. Mark Ruffalo sebagai suaminya menampilkan transformasi dari dokter rasional menjadi pria yang kehilangan arah.

Pemeran pendukung seperti Gael García Bernal (sebagai antagonis dominan yang sadis) dan Danny Glover (narator sekaligus penghuni yang bijak) menambahkan dimensi dan nuansa pada dunia yang penuh keputusasaan ini.

Tema dan Pesan Moral

‘Blindness’ adalah sebuah studi filosofis tentang bagaimana cepatnya manusia bisa kehilangan kemanusiaannya ketika sistem runtuh. Ia mengkritik cara kita menggantungkan moralitas pada hukum dan pengawasan, serta mempertanyakan apakah nilai-nilai seperti empati dan keadilan benar-benar tertanam dalam diri manusia—atau hanya permukaan yang rapuh.

Pada saat yang sama, film ini juga mengangkat sosok wanita sebagai pusat moral dan harapan dalam krisis, menjadikan karakter Julianne Moore sebagai simbol dari nurani terakhir dalam masyarakat yang buta secara literal dan metaforis.

‘Blindness’ bukan film yang akan menyenangkan semua orang. Ia bukan hiburan ringan, melainkan cermin yang dingin dan tajam untuk melihat kembali apa yang membuat kita manusia. Dengan narasi yang tidak biasa, visual yang eksperimental, dan performa akting yang kuat, film ini layak diapresiasi meski bukan tanpa kekurangan.

Sebuah alegori sosial yang menggugah dan penuh keberanian, ‘Blindness’ menunjukkan betapa tipisnya batas antara peradaban dan kekacauan, serta pentingnya harapan bahkan dalam kegelapan total.

Not One Less Review: Potret Ketabahan di Tengah Keterbatasan

Film

Bacurau Review: Perlawanan, dan Amarah yang Menyala dari Pedalaman Brasil

Film

15 Film Brasil Terbaik

Cultura Lists

Life Is Beautiful Review: Tragedi, Harapan & Kekuatan Imajinasi di Tengah Kekejaman

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect