Suku Baduy adalah sebutan yang diberikan masyarakat luar terhadap kelompok masyarakat Urang Kanekes. Mereka tinggal di Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy terbagi menjadi dua bagian yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Tak sekadar nama, ada beberapa tata cara hidup yang sedikit berbeda di antara keduanya. Suku ini terkenal karena konsistensinya hidup berdasarkan kearifan lokal. Hingga kini, mereka masih mengisolasi diri dari hingar bingar dunia modern.
Saya bersama beberapa teman, tour guide, dan seorang dari Suku Baduy Dalam menempuh perjalanan sepanjang 12 km. Di perjalanan, saya menyadari ada perbedaan pada pakaian Suku Baduy Dalam dengan Suku Baduy Luar. Orang dari Baduy Luar dianggap sudah terkontaminasi dengan dunia luar. Meski demikian mereka tetap memiliki aturan dalam berpakaian. Mereka menggunakan lomar yaitu ikat kepala khas Suku Baduy berwarna biru hitam dengan motif.
Baduy Dalam memilih menggunakan teuleukung, yaitu ikat kepala berwarna putih polos. Pakaian mereka juga hanya terdiri dari dua warna yaitu putih dan hitam. Ada alasan filosofis di balik pemilihan kedua warna tersebut. Warna putih dan hitam dianggap netral sekaligus melambangkan kebersihan. Hitam bukan berarti jahat dan putih bukan berarti baik. Kedua warna itu dianggap setara. Manusia dianggap tak pantas membeda-bedakan kebaikan dan kejahatan hanya berdasarkan warna saja.
Sebelum mencapai Baduy Dalam, kita harus melalui Baduy Luar. Perjalanan kami dimulai dari Desa Ciboleger, semua hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ini juga merupakan salah satu aturan adat Suku Baduy dan sebagai pengunjung kita wajib menaati hal tersebut. Menurut Suku Baduy, Sang Pencipta sudah memberikan kita sepasang kaki untuk dipakai berjalan. Kaki itulah yang kita gunakan untuk menepuh perjalanan ini. Begitu pula untuk menahan panas atau dinginnya jalan yang dilalui, kedua kaki ini dianggap lebih dari mampu melakukannya.
Karena tak ada kendaraan, ponsel, maupun barang elektronik lain, suasana begitu hening. Sepanjang perjalanan kita hanya akan disuguhi suara dari alam. Suara angin, air sungai, serangga, hingga suara kodok sahut-menyahut mengiringi langkah kaki kami. Saya juga belajar untuk tidak mengeluh karena Suku Baduy mengatakan hidup harus terus berjalan. Tanpa peduli jarak dan waktu, ada keyakinan yang tumbuh bahwa kami akan sampai kapanpun itu. Tiada teknologi yang menghibur, kami memecah hening dengan bersenda gurau dan bertukar cerita sepanjang kaki melangkah. Namun mereka mengerti kaki-kaki kami yang lemah karena tak biasa berjalan jauh. Kami diberi waktu istirahat secukupnya.
Di tengah perjalanan, kami melihat-lihat souvenir khas Suku Baduy. Keunikan lain dari aturan adat Suku Baduy adalah tidak mengenal hukum tawar menawar. Bukan karena tak butuh uang, mereka hanya tak mau menangguk untung tetapi membuat pembeli buntung. “Mau beli boleh. Tidak ya tak apa. Kami akan tetap bahagia dan semoga kalian juga bahagia,” ujar mereka. Jawaban yang sangat menyentuh hati. Mereka juga dikenal tidak menjual hasil panen ke kota. Seluruh hasil panen dikonsumsi sendiri oleh masyarakat Baduy.
Setiap melihat air, kami menyempatkan diri untuk bersantai. Air yang ada di wilayah Suku Baduy jernih dan layak minum karena tidak tercemar apapun. Suku Baduy tidak menggunakan shampo atau sabun dalam kesehariannya sehingga sumber air di sana pun terjaga. Menyenangkan sekali rasanya duduk-duduk di atas batu di tengah aliran sungai yang tenang. Hal lain yang lebih penting adalah, kami dapat mandi di sungai tanpa takut dilecehkan. Meski tak menempuh pendidikan formal, Suku Baduy menjunjung tinggi kejujuran. Mereka memahami pentingnya menjaga moralitas. Tak seperti kita yang sekolah tinggi-tinggi tapi masih bisa korupsi.
Kami menyadari bahwa rumah-rumah Suku Baduy baik luar maupun dalam memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Tidak ada bangunan yang lebih mencolok dibanding bangunan lain. Kita tak bisa menebak mana keluarga yang lebih kaya atau hidupnya lebih sejahtera. Bahkan rumah ketua suku, Pu’un, juga berukuran sama. Suku Baduy menyukai kesetaraan. Tak ada yang merasa lebih lalu menyombongkan kelebihannya. Berbeda dengan kita yang memiliki bangunan dengan ukuran beraneka ragam.
Bangunan rumah Suku Baduy tidak dibangun dengan semen ataupun paku. Rumah-rumah itu dibangun secara bergotong royong. Itulah mengapa Suku Baduy mampu membangun 20 rumah dalam waktu dua hari. Kekompakan mereka sangat patut kita tiru. Kami juga menemukan perempuan-perempuan Suku Baduy yang sibuk menenun, baik usia muda maupun tua. Mereka tampak tekun dan ulet ketika menenun. Sesuatu yang sudah tak umum dilakukan di dunia modern.
Sampailah kami pada perbatasan antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Perbatasan itu berupa sebuah jembatan. Suku Baduy memiliki semboyan mengenai jembatan ini. “Panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung.” Jembatan ini terbuat dari bambu dan diikat dengan seutas tali. Kita yang terbiasa melewati jembatan beton mungkin takut-takut melaluinya. Namun jangan khawatir, jembatan ini kokoh dan aman.
Saya penasaran dengan letak rumah ibadah Suku Baduy. Dengan hati-hati saya mengajukan pertanyaan tersebut. “Di sinilah rumah ibadah kami. Ya! Alam ini! Rumah ibadah yang tak perlu dibangun dengan merusak ciptaan-Nya.” Kepercayaan mereka pada alam juga ditunjukkan dengan perjalanan yang dilakukan di malah hari tanpa bantuan penerangan. Hati dan naluri cukup dijadikan sebagai penuntun. Suku Baduy percaya mereka akan aman dan baik-baik saja. Sesekali kunang muncul dari kegelapan dan memberikan seberkas kecil cahaya.
Kepekaan terhadap alam sekaligus naluri yang kuat juga ditujukan pada pengetahuan Suku Baduy mengenai waktu. Meski tak menggunakan jam, mereka bisa tahu persis pukul berapa saat itu. Ketika saya bertanya pada ayah (panggilan kepada laki-laki yang sudah tua di Baduy), ia menjawab setelah melihat langit malam bahwa saat itu pukul sepuluh malam. Sesuai dengan waktu yang ditunjukkan pada jam milik kami. Ayah itu bernama Ayah Naldi. Ia yang menyambut kami di Desa Baduy Dalam.
Malam itu kami disuguhi tempe goreng, sayur asam, dan ikan teri yang rasanya sedap sekali. Ayah Naldi sangat ramah padahal kami baru saja saling mengenal. Ia rela makan belakangan agar kami tah kehabisan makanan. Ia juga memilih tidur berdiri agar kami para tamunya dapat tidur dengan nyaman dan nyenyak di rumahnya. Aturan di Desa Baduy Dalam, kami hanya boleh menginap semalam saja. Kami pikir itu aturan yang bijak. Bila tidak, kasihan si pemilik rumah harus berlama-lama menjamu tamunya.
Apa yang terjadi di Baduy akan selalu melekat dihati dan pikiran kami. Begitu banyak pelajaran tentang menghargai seluruh ciptaannya. Menghargai waktu, menghargai jarak, menjaga kebersihan hingga menghargai kebersamaan karena kami meluangkan waktu bersama. Tak ada yang sibuk dengan gadgetnya. Seluruh perjalanan selama di Baduy akan selamanya terekam di memori.
PS: Seluruh foto perjalanan adalah foto-foto yang diambil di Baduy Luar.