Connect with us
Athena
Netflix

Film

Athena Review: Tragedi Dalam Anarkisme

Hadirkan pengalaman di tengah anarkisme yang sinematik. 

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Athena” merupakan Netflix Original yang disutradarai oleh Romain Gavras. Bercerita tentang kerusuhan yang pecah setelah bocah 13 tahun bernama Idris tewas, diduga dibunuh oleh pihak kepolisian. Kematian bocah minoritas tak berdosa tersebut menggerakan massa Athena, untuk memulai kerusuhan melawan pihak kepolisian.

Dipimpin oleh Karim (Sami Slimane), kakak dari Idris, para pemuda Athena menunjukan sikap anarkis di lingkungan mereka, menuntut keadilan. Sementara Abdel (Dali Benssalah), adalah kakak kedua dari Idris dan Karim, yang berprofesi sebagai polisi, yang berusaha meredakan anarkisme di tempat tinggalnya. Mokhtar (Ouassini Embarek) menjadi kakak tertua yang sibuk menyelamatkan bisnis-gelap-nya di tengah kericuhan.

“Athena” bisa jadi salah satu Original Netflix yang underrated dan patut mendapatkan perhatian lebih periode ini. Di tengah popularitas film drama dan horor di streaming platform ini, bisa jadi “Athena” terlewat dari radar kita. Padahal film ini menyajikan naskah dan pengalaman sinematik terbaru. Terutama bagi penggemar film bertema isu sosial dan eksplorasi anarkisme dengan kemasan yang lebih artistik.

Athena

Tragedi yang Memicu Anarkisme pada Penduduk Minoritas di Athena

Intisari skenario dalam “Athena” adalah pecahnya kericuhan sebagai manifestasi amarah warga di pemukiman minoritas karena seorang bocah tewas. Athena adalah tempat tinggal kaum minoritas dari berbagai ras dan agama. Dipimpin oleh kakak korban, Karim, para pemuda dari lingkungan tersebut pun memulai pemberontakan yang menyudutkan pihak kepolisian dan warga setempat. Situasi pun dengan cepat berubah menjadi skenario polisi melawan massa anarkis dari Athena.

“Athena” memiliki presentasi seperti opera kerusuhan massa melawan polisi. Melihat sekumpulan pemuda yang tak terkendali melempar botol dengan api, hingga unit polisi berseragam lengkap dengan formasi khusus yang berusaha melumpuhkan massa. Meski terlihat kolosal dan melibatkan banyak aktor dan figuran, “Athena” memiliki perspektif karakter kunci yang fokus.

Dimana kita akan mengikuti sudut pandang tiga bersaudara, dengan posisi dan motivasi yang berbeda ketika kerusuhan pecah. Ada yang menginginkan balas dendam, namun ada yang yakin bahwa tragedi bisa berakhir dengan lebih kondusif. Plot yang disajikan juga kronologis, mudah untuk diikuti dari awal hingga akhir. Karena hanya fokus satu peristiwa kerusuhan yang berlokasi di lokasi yang sekitar situ saja.

10 Menit One Long Shot yang Memikat sebagai Adegan Pembuka

Mathias Bouchard sebagai pengarah sinematografi patut diberi apresiasi besar untuk “Athena”. Sinematografi film ini didominasi dengan banyak one long shot. Dimulai dari adegan pembuka kurang lebih selama 10 menit, pengumuman kematian bocah 13 tahun di markas kepolisian oleh Abdel, kemudian berubah menjadi awal dari kerusuhan ketika Karim melempar botol kaca dengan minyak dan api. Kita seakan tersedot dalam semesta “Athena” melalui prolognya yang memikat dan immersive.

Setelah adegan prolog, kelanjutan film juga didominasi dengan banyak adegan dengan durasi one take yang panjang dari berbagai perspektif. Terkadang kita melihat dari perspektif Karim yang menggerakan massa anarkis. Adapula waktunya kita melihat Abdel, saudara dengan profesi polisi yang berusaha mengendalikan adiknya. Ada kakak tertua mereka dalam skenario yang sayangnya tidak terlalu jelas kesinambungannya dengan konflik utama. Karena Ia tampak sibuk sendiri dengan bisnis obat terlarangnya. Kehadirannya jadi terlihat mubazir.

Konsep visual one long shot dari perspektif beberapa karakter kunci berhasil memberikan pengalaman sinematik yang menggugah. Naik turun intensitas ketegangan dan momen tenangnya pun cukup seimbang. Ada saatnya kita berada di tengah baku tembak yang riuh. Ada saatnya adegan berubah menjadi sedikit tenang, meski tetap di selimuti dengan suspense. Seharusnya bisa diaplikasikan pada karakter-karakter yang lebih signifikan perannya dalam satu peristiwa besar dalam cerita.

Visi Sinematografi yang Ambisius Namun Kurang Maksimal Intisarinya

“Athena” memiliki konsep naskah yang sederhana, namun eksekusi produksi yang sangat ambisius. Terutama karena teknik one long shot yang mendominasi sinematografinya. Membuat film yang sebetulnya memiliki naskah sederhana ini jadi terlihat lebih berkualitas tinggi. Penampilan akting dari setiap aktor utama juga sangat one point. Setiap karakter utama mampu menampilkan emosi, amarah, dan kesedihan yang menimbulkan semburat melankolis.

“Athena” berhasil memberikan gambaran umum tragedi dalam anarkisme. Sentimental dan haru dalam peristiwa yang dikuasai oleh kekerasan tak berhati.

Sayangnya film ini terlalu fokus mewujudkan ambisi visual one take yang sinematik dan teknikal. Secara visual “Athena” memiliki presentasi yang nyaris sempurna. Namun intisari cerita dan adegan masih kurang to the point. Seperti yang telah disebutkan, ada beberapa perspektif yang kurang berkaitan dengan konflik utama. Serta untuk film dengan latar waktu dan peristiwa yang sederhana, masih ada beberapa bagian yang menimbulkan pertanyaan pada penonton.

Secara keseluruhan, “Athena” masih patut menyandang penghargaan sebagai film terbaik di Netflix pada periode ini. Film seperti ini patut ditonton di layar lebar, minimal layar televisi.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect