Stanley adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Tumbuh besar di Houston, Texas pada tahun 1960-an, membuatnya familiar dengan kegiatan di NASA. Terutama karena ayahnya juga bekerja di markas pengembangan ilmu luar angkasa tersebut.
Stanley memiliki masa kecil yang serupa dengan kebanyakan bocah seusianya di era tersebut. Namun, satu hal yang membuat dirinya berbeda adalah Ia merupakan bocah manusia pertama yang menginjakan kaki di Bulan.
“Apollo 10 ½: A Space Age Childhood” (2022) merupakan film animasi terbaru dari sutradara kawakan, Richard Linklater. Berlatar pada hype ekspedisi Apollo 11 ke Bulan pada 1969, diselipkan kisah fiksi tentang seorang bernama Stanley dalam misi Apollo 10 ½. Selain kental dengan tema luar angkasa dari perspektif bocah 10 tahun, kita akan diajak bernostalgia ke era 1960-an di Amerika.
Kisah Biasa dan Tidak Biasa Stanley yang Tinggal di Dekat Markas NASA
Selain kisah Stanley dengan misi Apollo 10 ½-nya, film ini lebih padat dengan narasi kisah masa kecil bocah Amerika pada masanya. Lepas dari plot bahwa dirinya merupakan bocah pertama yang mendatar di Bulan, ada berbagai kisah unik yang bisa kita simak dari anak-anak yang tumbuh besar di dekat markas NASA.
Kisah Stanley bisa menjadi nostalgia bagi penonton dari generasi tersebut, sekaligus kisah baru bagi kita dari generasi yang lebih modern. Bagiamana anak muda pada masa tersebut bersenang-senang hanya dengan televisi dan berbagai kegiatan outdoor.
Richard Linklater sendiri lahir dan tumbuh besar di Houston, Texas pada era tersebut. Oleh karena itu, narasi dalam “Apollo 10 ½” terdengar seperti ingatan yang otentik dari sang narator. Bahkan plot kisah ‘biasa’ dalam film ini terasa lebih menarik untuk disimak karena terdengar sangat menyakinkan.
Bagi kita yang tidak berasal dari era tersebut, mendengarkan kisah Stanley terasa seperti mendengarkan cerita masa kecil dari orang tua kita. Sementara plot ekspedisi Stanley ke Bulan terasa seperti imajinasi semata dari seorang bocah yang terobsesi dengan berbagai seputar ilmu luar angkasa.
Film Animasi Hibrida Khas Richard Linklater yang Semakin Berkembang
“Apollo 10 ½” bukan pertama kalinya Linklater mengeksekusi filmnya dalam wujud animasi. Ada judul seperti “Waking Life” (2001) hingga “A Scanner Darkly” (2006) yang juga menggunakan teknik animasi rotoscoping.
Rotoscoping merupakan teknik animasi dimana animator menggunakan footage dari motion picture (gambar asli). Kemudian dijiplak untuk menghasilkan versi animasi yang mendekati nilai realistis. Sebagian adegan dalam “Apollo 10 ½” diambil dari proses syuting live-action. Sementara berbagai aset visual lainnya yang mendominasi film ini merupakan footage dari era 60-an yang sesungguhnya.
Sebagai film drama animasi yang penuh nostalgia, kita akan melihat berbagai logo dan brand populer dari masa tersebut. Mulai dari cover album musik, poster TV show populer, adegan film di bioskop, hingga footage pidato Presiden J.F. Kennedy dan momen peluncuran Apollo 11 di televisi.
Awalnya, Linklater sempat berniat untuk membuat film ini sebagai film live-action. Namun, mengeksekusi “Apollo 10 ½” sebagai film animasi merupakan keputusan yang lebih bijak. Karena dengan berbagai referensi dari kehidupan nyata yang terlalu banyak, film ini hanya akan terlihat seperti film dokumentari biasa yang membosankan. Dengan kemasan animasi, ada berbagai elemen seni ilutrasi dan animasi yang bisa kita nikmati sambil mendengarkan narasi yang diisi oleh Jack Black.
Kelihaian Richard Linklater dalam Menulis Naskah Drama Coming of Age
Richard Linklater sudah terkenal sebagai sutradara yang lihai dalam menulis naskah padat dialog dan narasi. Menulis skenario dengan latar yang natural dengan fragmen adegan-adegan yang sentimental sudah menjadi keahlian dari sutradara ini. Linklater juga sempat mengeksekusi drama coming of age dengan konsep ambisius, “Boyhood” (2014).
Jika dibandingkan dengan film nominasi Best Picture di Academy Awards 2015 tersebut, “Apollo 10 ½” lebih terasa hidup dan memikat karena narasinya yang padat. Berbeda dengan “Boyhood” yang hanya mengajak kita melihat adegan tiap adegan dari protagonis yang bisa jadi membosankan untuk beberapa segmentasi penonton.
“Apollo 10 ½” bisa menjadi tontonan drama animasi yang menimbulkan nostalgia, sekaligus wawasan sentimental baru bagi kita yang tidak hidup pada era tersebut. Bagi kita yang menyukai film drama dengan penulisan narasi padat dan otentik, mendengarkan kisah Stanley bisa menjadi hiburan yang bermakna. “Apollo 10 ½; A Space Age Childhood” tersedia untuk di-streaming di Netflix.
![](https://www.cultura.id/wp-content/uploads/2024/03/cultura-logo-big.png)