Film animasi jarang digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kritik politik yang serius, tetapi ‘Animal Farm’ (1954) membuktikan bahwa medium ini bisa lebih dari sekadar hiburan anak-anak.
Diadaptasi dari novel klasik karya George Orwell, film yang disutradarai oleh John Halas dan Joy Batchelor ini adalah tonggak penting dalam sejarah animasi Inggris, sekaligus menjadi interpretasi visual pertama dari kisah satir yang mengupas korupsi kekuasaan dan pengkhianatan ideologi.
Alegori Kekuasaan dan Pengkhianatan
Cerita mengikuti sekelompok hewan di Manor Farm yang bangkit melawan pemilik manusia mereka, Tuan Jones, demi membangun masyarakat egaliter di bawah prinsip “semua hewan sama”. Namun, seiring waktu, babi-babi yang memimpin revolusi—khususnya Napoleon—mulai menyalahgunakan kekuasaan dan menindas hewan lain, hingga slogan revolusi mereka berubah menjadi “semua hewan sama, tetapi beberapa lebih sama daripada yang lain.”
Film ini menyajikan alegori yang jelas tentang revolusi Rusia dan degenerasi idealisme menjadi totalitarianisme, dengan alur yang ringkas namun penuh simbolisme.
Adaptasi yang Ringkas
Naskah film ini merangkum novel Orwell yang kompleks ke dalam durasi sekitar 70 menit. Beberapa elemen naratif memang disederhanakan, terutama bagian akhir yang dimodifikasi untuk menyesuaikan konteks politik saat itu. Meski begitu, script mampu mempertahankan esensi kritik Orwell terhadap kekuasaan yang korup. Screenplay terasa efektif dalam menjaga ritme cerita, meskipun bagi sebagian penonton, penyederhanaan karakter dan peristiwa membuat film kehilangan kedalaman psikologis yang ada dalam novel aslinya.
Atmosfer yang Suram
Sebagai karya animasi era 1950-an, ‘Animal Farm’ mengusung gaya visual yang khas: sederhana tetapi efektif. Animasi Halas & Batchelor mungkin terlihat kaku bila dibandingkan dengan standar animasi modern, tetapi ekspresi wajah hewan dan atmosfer warna yang cenderung gelap mampu membangun nuansa distopia.
Pilihan palet warna yang muram dan penggunaan bayangan menegaskan suasana penindasan dan kehancuran idealisme. Sinematografi animasi ini berhasil memberikan bobot serius pada sebuah kisah yang bisa saja diremehkan jika dikemas dengan terlalu ringan.
Narasi yang Menekankan Pesan
Film ini menggunakan pendekatan voice-over naratif yang dominan, lebih dekat dengan dongeng bergambar ketimbang drama dialog penuh. Walau minim variasi suara karakter, narasi tersebut tetap efektif menekankan sifat alegoris cerita. Beberapa penonton mungkin menganggapnya monoton, tetapi gaya ini justru menjaga fokus film pada pesan utama, bukan pada karakterisasi individual.
Kritik Kekuasaan yang Universal
Kekuatan utama ‘Animal Farm’ terletak pada pesannya yang abadi: idealisme bisa hancur ketika dihadapkan pada ambisi kekuasaan. Revolusi yang dimulai dengan semangat kebersamaan berakhir menjadi tirani baru, sebuah siklus sejarah yang relevan lintas zaman. Film ini bukan hanya alegori tentang Uni Soviet, tetapi juga refleksi universal tentang bahaya kultus individu, manipulasi ideologi, dan mudahnya massa dikuasai oleh propaganda.
Sebagai film animasi politik pertama dalam skala besar, ‘Animal Farm’ (1954) adalah karya penting yang menggabungkan seni animasi dengan kritik sosial. Meski adaptasinya tidak sekompleks novel Orwell, film ini tetap meninggalkan kesan mendalam melalui visual yang suram, narasi yang ringkas, dan pesan moral yang tajam.
View this post on Instagram
Bagi penonton modern, film ini bisa dilihat sekaligus sebagai artefak sejarah animasi dan sebagai pengingat bahwa kekuasaan yang absolut akan selalu berujung pada korupsi.
