Film The Maid dibuka dengan pengakuan atas pengalaman horor yang sudah dilalui oleh seorang pembantu ketika melayani majikannya di rumah yang begitu megah.
Tanpa basa basi, film ini langsung memperlihatkan penampakan-penampakan yang hilir mudik menghantui sang pembantu. Mulai dari penampakan seorang perempuan, hingga penampakan monyet yang muncul dari boneka monyet milik anak majikannya.
Sejak awal sepertinya The Maid tidak ingin membuang-buang waktu dalam membangun latar belakang kisahnya, karena tidak seperti film horror lain yang memiliki alur meningkat dari keadaan awal yang tenang hingga keadaan puncak penampakan di akhir, The Maid justru memberi seluruh jenis horor dari awal hingga akhir, dengan fondasi latar belakang yang disebar di sela-sela film.
Berkisah tentang Joy, seorang gadis muda yang mulai bekerja untuk keluarga Uma dan Nirach. Tugas Joy di rumah megah tersebut adalah mengurus anak majikannya yang bernama Nid. Sehari-hari berada di dalam rumah, Nid selalu melihat hal-hal aneh yang menghantuinya sehingga dokter yang dipanggil pun mengatakan bahwa Nid memiliki penyakit mental yang membuatnya berhalusinasi.
Akan tetapi, para pengurus Nid yang selalu datang dan pergi silih berganti, hingga kedatangan Joy di rumah tersebut, selalu melihat penampakan yang serupa. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam rumah tersebut?
Melalui pengambilan gambar dari sudut pandang pihak ketiga, penonton disuguhkan sinematografi yang begitu indah dan memanjakan mata. Simetris dengan nada-nada warna yang selaras, itu adalah kelebihan dalam sisi artistik The Maid yang dapat terlihat dengan mudah.
Akan tetapi, sutradara Lee Thongkham menginginkan sesuatu yang berbeda. Pengambilan gambar menggunakan rig dicampur dengan kamera hand-held ketika adegan dialog antara dua orang, dengan sudut pengambilan gambar dari sudut pandang pihak kedua. Mungkin hal ini dilakukan untuk dapat menempatkan penonton lebih dalam sisi masing-masing karakter.
Namun, pilihan ini justru terasa membingungkan dan mengganggu ketika dalam satu sekuens yang sama, bentuk pengambilan gambarnya dapat berubah-ubah dari sudut pandang pihak ketiga menjadi sudut pandang pihak kedua, dan begitu lagi sebaliknya.
Sungguh disayangkan karena apabila pengambilan gambar dibuat lebih selaras dan pasti, sinematografi The Maid pasti tidak akan terkalahkan dan mampu menonjolkan karya penata artistiknya. Perguliran kisah film The Maid sendiri cukup unik dan tidak biasa karena membalik sebuah kisah horor supernatural menjadi kisah thriller slasher yang sangat berbeda.
Meski begitu, The Maid tetap menampakkan sisi supranaturalnya bahkan hingga akhir film, kedua sisi genre horor ini disandingkan dengan cukup selaras dan tidak saling mengkontradiksi satu sama lain. Namun sepertinya cukup sampai titik kombinasi genre saja yang menjadi andalan film ini, karena pada sisi lain, banyak hal yang kacau tanpa garis merah yang jelas.
Kontinuitas The Maid sepertinya hampir tidak ada sama sekali. Suntingan film ini seakan mengejar durasi agar genap 100 menit, memang itu sebuah durasi yang sangat singkat dan sulit untuk membuat perkembangan yang berarti di dalamnya.
(Warning: spoiler)
Namun melihat beberapa sekuens yang pada akhirnya tidak memiliki arti apa pun, rasanya bisa saja kontinuitas film tetap diutamakan meski harus memakan durasi lebih. Sebagai contohnya, ingat pada awal film ditunjukkan boneka monyet yang gentayangan?
Selain pada awal film tersebut, boneka dan hantu monyet tidak lagi muncul dan tidak dijelaskan sama sekali mengenai keberadaannya. Seakan penampakan monyet di awal film hanya untuk menemani penampakan perempuan yang akhirnya menjadi subjek utama dalam konflik cerita.
Bukan hanya alur dari awal hingga akhir yang penuh dengan plot hole, tetapi kontinuitas dalam adegan-adegan di puncak film juga tidak diperhatikan. Balas dendam yang dilakukan oleh Joy rasanya hanya dipenuhi oleh dramatisir mustahil yang secara tiba-tiba hilang tanpa jejak, seperti api kebakaran yang tiba-tiba hilang dari depan rumah megah milik majikannya.
https://youtu.be/MJExOEa2n_c
Selain itu dalam hal perkembangan karakter, setiap karakter, bahkan karakter utama yang seharusnya membawa perubahan genre terbesar dalam film ini, rasanya hanya maju mundur tanpa perubahan yang berarti. Seluruh karakter rasanya bersifat terlalu dua dimensi tanpa kedalaman dan kerumitan sesungguhnya sebagaimana orang pada umumnya.
Babak ketiga dari film The Maid menampilkan banyak sekuens yang seru dan cukup memanjakan hati para penggemar slasher. Untuk sebuah film berdurasi satu setengah jam, sejujurnya adegan-adegan brutal di puncak konflik cukup memuaskan jika harus melewati berbagai alur yang mengernyitkan dahi di pertengahan film.
Namun di babak yang sama juga, teknik eksekusinya terkesan terlaku robotik dan kurang bervariasi sehingga justru terasa membosankan. Meski mungkin memang itu yang ingin diperlihatkan oleh sang sutradara, bahwa balas dendam mungkin sangat membosankan dan tetap tidak dapat menyembuhkan luka yang sudah menyengat di dalam diri. The Maid sudah dapat disaksikan di Netflix saat ini.