Kawasan Pura Luhur Uluwatu di ujung barat daya pulau Bali sudah mulai membuka pintunya untuk wisatawan mulai 9 Juli kemarin. Hal ini seiring dengan perkembangan kondisi pariwisata Bali yang mulai bangkit dan beradaptasi dengan “new normal”.
Masih sesuai rencana Gubernur Bali, tanggal 9 Juli kemarin adalah fase dibukanya pariwisata untuk masyarakat yang tinggal di Bali. Rencananya, 1 Agustus akan dibuka untuk wisatawan domestik lokal Indonesia dan pada September nanti akan dibuka kembali untuk wisatawan internasional.
Dua hari dibuka sejak tutup pada pertengahan Maret lalu, pengunjung mulai berdatangan untuk menikmati senja di sore hari. Energi magis kawasan Pura Luhur Uluwatu membuat pemandangan senja dan matahari terbenam menjadi pilihan yang sayang untuk dilewatkan.
Suara deburan ombak pantai Pecatu di bawah tebing, hembusan angin yang menerpa pepohonan, hingga suara kicauan burung menambah eksotik kawasan ini.
Hanya sejumlah kurang dari 100 orang pengujung per hari dalam dua hari semenjak dibuka. Dengan tidak banyaknya pengunjung, kawasan yang cukup luas ini terasa lebih sunyi. Sinar matahari terbenam dan senja terasa hangat dan menenangkan.
Tidak seperti sebelumnya, sekarang semua orang wajib mematuhi protokol kesehatan terkait upaya untuk memerangi wabah virus corona atau Covid-19. Dimulai dari loket tiket depan, security akan memeriksa suhu badan kita dengan thermogun. Bila lolos pengunjung boleh lanjut masuk kedalam.
Petugas frontliner dengan menenakan masker, faceshield dan sarung tangan medis sudah siap menyambut dan mengarahkan para pengunjung untuk mencuci tangan di sebuah bilik wastafel yang baru disediakan. Jika pengunjung di titik poin ini banyak, maka sudah disiapkan tanda batasan physical distancing, agar setiap orang menjaga jarak aman satu sama lain.
Berikutnya, bagi pengunjung yang memakai celana atau rok pendek, petugas telah menyediakan sebuah kain sarung dengan sebuah tali pengikatnya, mengingat sebenarnya kawasan ini adalah pura persembahyangan umat Hindu Bali yang harus dipatuhi aturan dan norma-normanya.
Jika sudah memakai celana atau rok yang panjang, maka petugas hanya akan menyediakan tali pengikatnya saja yang cukup diikatkan di pinggang pengunjung. Bedanya, jika dulu kain sarung dan tali pengikat ini bisa dipakai lagi oleh orang lain, maka sekarang sekali pakai sudah harus diganti.
Dalam fase adaptasi new normal ini pengelola menyiapkan beberapa hal seperti memperbanyak fasilitas cuci tangan, membangun klinik kesehatan dan sebuah mobil ambulance yang standby hingga menyiapkan 16 orang pawang monyet.
Pura ini memang masih berada di kawasan yang cukup alami yang merupakan habitat para monyet. Monyet-monyet ini pun sering kali mengganggu pengunjung dengan merebut barang-barang bawaan pengunjung seperti kacamata, tas bahkan handphone. Hanya para pawang inilah yang bisa diandalkan untuk membuat para monyet mengembalikan barang-barang milik pengunjung tersebut.
Selain pura tempat peribadatan yang hanya boleh diakses untuk mereka yang beribadah, pemandangan alam yang eksotis hingga para monyet, kawasan wisata Pura Luhur Uluwatu juga menyajikan Tari Kecak Uluwatu yang saat ini belum ditampilkan kembali.
Dalam sebuah arena mirip colosseum mini, pertunjukan tari dan wayang orang ini dalam kondisi normal bisa dihadiri 1200an orang. Namun, kedepanya hanya akan menjadi 500-600 orang saja, sesuai aturan jaga jarak dalam protokol kesehatan Covid-19.
Kawasan Pura Luhur Uluwatu terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Berdiri megah di tepi tebing karang nan tinggi dan terjal. Pura ini diyakini sebagai penyangga 9 mata angin dalam agama Hindu Bali.
Nama “Luhur” diambil dari kata “Ngeluhur” atau “Moksa” dalam Bahasa Bali yang dalam sejarah mitologinya pada tahun 1550 ada pendeta suci bernama Dang Hyang NIrartha yang mengakhiri perjalanan sucinya dengan cara Ngeluhur.
Dalam kondisi normal, tingkat kunjungan kawasan wisata ini dapat mencapai angka rata-rata lima ribu orang per harinya.