Al Pacino dan film mafia adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Di antara semua film mafia yang ia lakoni, “Scarface” (1983) adalah salah satu film yang cukup ikonik.
Pada film besutan Brian De Palma itu, Pacino memerankan sosok pengungsi asal Kuba bernama Tony Montana. Bersama rekannya Manny Ribera/Manny Ray (Steven Bauer), ia mengungsi ke Florida, AS, dan mendapatkan izin kerja di sana.
Sempat bekerja sebagai pencuci piring, Tony dan Manny lantas mendapatkan sejumlah “pekerjaan kotor”. Mulai dari membunuh Oliver Rebenga sampai bertransaksi narkoba. Pada pekerjaan yang disebutkan terakhir, Montana perlahan mulai mendapatkan apa yang ia inginkan. Harta, reputasi, dan wanita yang ia incar. Sayang, semua itu tak bikin ia puas diri.
Walau tidak mendapatkan banyak piala penghargaan, “Scarface” punya banyak pengaruh bagi beberapa aktornya. Al Pacino semakin menancapkan eksistensinya di ranah film mafia lewat film berdurasi 170 menit ini. Sedangkan Michelle Pfeiffer dan Mary Elizabeth banyak mendapatkan tawaran bermain film.
“Scarface” juga memengaruhi sejumlah musisi hip-hop dunia lewat pesona Tony Montana. Nas dan Agust D adalah dua contoh musisi hip-hop dunia yang menjadikan Tony Montana sebagai inspirasi utama.

Photo via IMDb
Al Pacino yang Memesona
Al Pacino adalah daya tarik utama “Scarface”. Aktor kelahiran 25 April 1940 itu berhasil memerankan sosok Tony Montana yang kaku, berani, dan serakah. Walau begitu, Pacino juga mampu menampilkan sisi rapuh dari tokoh tersebut. Sisi rapuh Tony itu bisa dilihat saat Tony bertemu dengan ibu dan adiknya, serta saat ia mulai kehilangan semua orang yang ia sayang.
Michelle Pfeiffer adalah daya tarik lainnya dari “Scarface”. Walau saat itu termasuk aktris pendatang baru, Michelle berhasil memerankan sosok Elvira dengan baik.
Steven Bauer juga patut diperhitungkan. Aktor asli Kuba ini berhasil memerankan sosok Manny Ribera/Manny Ray yang lebih bisa menikmati hidup tinimbang Tony Montana.

Photo: Universal Pictures
Alur Cerita Linear dengan Flow yang Pas
“Scarface” punya alur cerita maju alias linear. Alur ceritanya sendiri dijalankan dengan flow yang pas. Hal itu bikin alur cerita “Scarface” begitu nyaman untuk diikuti.
Adegan baku tembak dan baku hantam bisa ditemukan hampir di tiap scene. dialog yang dipenuhi F Word pun juga turut mewarnai alur cerita “Scarface”. Ada sekitar 226 kali F Word diucapkan selama film berlangsung dan membuat “Scarface” jadi film dengan F Word terbanyak. Ada pula beberapa celetukan bernada rasis dan seksis yang sayangnya sudah tidak relevan di era #MeToo seperti sekarang.
Walau banyak F Word dan ujaran-ujaran yang tak relevan di zaman sekarang, “Scarface” masih punya beberapa kalimat yang quotable. Semisal “I Always Tell The Truth Even When I Lie”, dan “Say ‘Hello’ to My Little Friends”.

Photo: AP
Pemilihan Musik yang Tidak Biasa
Untuk ukuran film Mafia, “Scarface” berhasil menyajikan musik yang tidak klise. Giorgio Moroder selaku penata musik tak ragu menyuntikkan scoring musik bernuansa new wave dan electronic.
Soundtrack film ini pun juga banyak bernuansa new wave. New wave sendiri merupakan salah satu genre musik yang saat itu tengah populer. Ada pula beberapa soundtrack bernuansa hip-hop pada film garapan De Palma tersebut.
Sinematografi yang Simpel dan Efektif
Tidak ada teknik sinematografi yang rumit pada “Scarface” Yang ada hanyalah wide shot, medium shot, serta close-up. Hal itu bikin sinematografi pada “Scarface” terasa begitu simpel dan efektif.
Film ini pun juga memakai teknik shot kamera yang lebih fokus kepada sosok Tony Montana. Teknik semacam itu secara tak langsung membawa penonton untuk lebih fokus kepada Montana beserta lika-liku hidupnya.
“Scarface” juga menyajikan simbolisme yang menggambarkan watak serakah Tony Montana. Simbolisme itu bisa dilihat pada tulisan “World is Yours” yang bisa ditemui di beberapa ornamen.
“Scarface” merupakan sajian film mafia klasik yang masih layak ditonton. Al Pacino yang tampil prima, naskah dengan alur yang mengalir, sampai sinematografi yang simpel dan efektif adalah alasan utamanya.
