Bagi yang sedang mencari film animasi keluarga, “Robin Robin” bisa menjadi pilihan tepat. Film garapan Daniel Ojari ini merupakan animasi yang durasinya hanya 32 menit saja. Walau singkat, film ini nyaman ditonton karena punya cerita yang ringan, serta punya pesan-pesan positif di dalamnya.
“Robin Robin” sendiri berkisah tentang seekor anak burung bernama Robin (Bronte Carmichael) yang dibesarkan oleh Dad Mouse (Adeel Akhtar) dan anak-anaknya. Walaupun anak burung, Robin justru diajari cara mencuri laiknya tikus.
Pada satu momen Natal, Robin yang tak sengaja menggagalkan aksi pencuriannya bersama Dad Mouse sekeluarga lantas mencoba mencuri sebuah rumah sendirian. Di tengah aksinya, ia berjumpa dengan seekor burung dewasa bernama Magpie (Richard E. Grant). Dari situlah, Robin pun masuk ke petualang yang tak terduga, serta mulai mempertanyakan jati dirinya.
Dalam menyutradarai “Robin Robin”, Daniel Ojari memakai pendekatan stop-motion dengan medium boneka. Pendekatan semacam ini pernah dipakai Peter Lord saat menggarap film “The Pirates! In an Adventure with Scientist” (2012). Daniel Ojari tak sendirian dalam menggarap film ini. Ia dibantu oleh Michael Please, serta sejumlah tim animator dan puppet maker.
Cerita yang disajikan “Robin Robin” begitu ringan untuk diikuti dan dicerna. Selama 32 menit berlangsung, penonton bakal terbawa oleh perjalanan Robin dalam mencuri rumah yang ia tuju, momen ketika ia bertemu Magpie, kebimbangannya dalam menentukan jati dirinya, serta bagaimana Robin akhirnya mulai bisa menerima siapa dirinya. Pesan tentang keluarga dan jati diri begitu kuat di film ini. Semua pesan itu disampaikan secara implisit lewat adegan dan dialog yang ada.
Jalinan cerita itu lantas disajikan lewat pergerakan boneka tokoh-tokohnya yang dieksekusi dengan matang. Penggunaan tone warna yang halus dan efek animasi mumpuni yang membuat tiap pergerakan bonekanya makin enak dilihat. Bagi penonton yang menderita fotosensitif, dimohon untuk menonton film ini dalam kondisi fit. Pasalnya, “Robin Robin” menyajikan efek visual kedap-kedip yang bisa menimbulkan kejang. Jangan khawatir, karena efek visual tersebut tidaklah terlalu banyak.
Bebunyian suara propertinya pun terasa begitu nyata dan jelas. Mulai dari suara petir, suara peralatan dapur yang berjatuhan, sampai suara langkah kaki manusia. Kredit sebesar-besarnya untuk tim sound designer. Tak hanya tim sound designer, tim penata musik pun layak diapresiasi lantaran menyajikan music scoring yang ceria, serta mampu menyajikan musik untuk adegan musikal dengan baik.
Adegan musikal di “Robin Robin” sendiri bisa hampir ditemukan di hampir setiap scene-nya. Semua tokoh yang ada di “Robin Robin” kebagian jatah bernyanyi di adegan-adegan musikalnya, termasuk Cat (Gillian Anderson) yang menjadi tokoh antagonis film ini. Gillian Anderson sebetulnya bisa menjadi daya tarik film ini, mengingat kredibilitas namanya yang tak perlu diragukan lagi.
Sayangnya, ia tak bisa menjadi pengisi suara yang pas untuk tokoh Cat. Suaranya masih tergolong halus untuk tokoh antagonis tersebut. Akan sangat pas jika Gillian memakai pendekatan suara yang lebih cempreng dan galak. Selain Gillian, Amira Macey-Michael juga tampil kurang baik saat mengisi suara Dink.
Berbanding terbalik dengan Gillian dan Amira, Bronte Chamichael berhasil mengisi suara Robin dengan warna suaranya yang riang dan kekanakan, namun punya suara yang lirih saat tengah gundah. “Robin Robin” sendiri merupakan debutnya sebagai pengisi suara film animasi.
Adeel Akhtar selaku Dad Mouse pun bisa mengisi suara tokoh tersebut dengan warna suara yang bijak dan kebapakan. Richard E. Grant yang merupakan pengisi suara paling tua di film ini juga tampil baik saat mengisi suara Magpie yang komikal dan sedikit sinis.
“Robin Robin” merupakan sajian animasi stop-motion puppet yang singkat, ringan, dan bermakna. Sangat cocok ditonton bersama keluarga, terutama saat Natal nanti. Film ini kini sudah bisa ditonton di Netflix.