Dirilis pada tahun 1950, ‘Rashomon’ karya sutradara legendaris Akira Kurosawa bukan hanya menandai kebangkitan sinema Jepang di mata dunia, tetapi juga merevolusi cara bercerita dalam film.
Berdasarkan dua cerita pendek karya Ryūnosuke Akutagawa—“Rashōmon” dan “In a Grove”—film ini membahas pertanyaan mendalam tentang kebenaran, moralitas, dan subjektivitas pengalaman manusia.
Lewat struktur narasi yang inovatif dan penyutradaraan visioner, ‘Rashomon’ menjadi karya yang terus dikaji, dipuji, dan menginspirasi generasi pembuat film selama lebih dari tujuh dekade.
Ceritanya bermula di sebuah gerbang tua bernama Rashomon, tempat tiga pria—seorang pendeta, penebang kayu, dan pejalan kaki—berteduh dari hujan. Mereka membicarakan sebuah kasus kriminal yang membingungkan: pembunuhan seorang samurai dan dugaan pemerkosaan terhadap istrinya. Tiga versi cerita pun muncul dari tiga saksi—bandit, istri, dan arwah samurai (melalui medium). Bahkan penebang kayu yang dianggap netral kemudian juga mengaku memiliki versinya sendiri.
Inilah kekuatan utama film ini: masing-masing versi menghadirkan “kebenaran” yang bertentangan satu sama lain, menunjukkan bahwa persepsi sangat subjektif. Kurosawa menggunakan format non-linear, di mana cerita berulang dari sudut pandang berbeda—gaya yang kini dikenal luas sebagai “efek Rashomon”.
Skenario yang ditulis oleh Kurosawa bersama Shinobu Hashimoto tidak bertele-tele, tetapi kaya akan filosofi tersirat. Dialog dalam setiap versi mencerminkan kondisi psikologis naratornya, memperlihatkan bias, rasa bersalah, hingga keinginan untuk tampil sebagai pihak benar. Film ini tidak memberikan jawaban pasti, melainkan mengundang penonton untuk merenungkan: apakah kebenaran objektif benar-benar ada, atau semuanya hanyalah konstruksi memori dan ego?
Sinematografi oleh Kazuo Miyagawa adalah salah satu elemen paling ikonik dari film ini. Penggunaan cahaya matahari yang disaring lewat dedaunan untuk menciptakan bayangan di hutan telah menjadi studi klasik dalam tata cahaya film.
Kamera bergerak dinamis mengikuti karakter, menciptakan intensitas dan kedalaman emosional yang luar biasa, terutama untuk ukuran film era 1950-an. Kurosawa juga banyak bereksperimen dengan sudut pandang subjektif, termasuk penggunaan kamera untuk merepresentasikan mata karakter.
Framing yang tajam, kontras hitam-putih yang dramatis, dan komposisi simetris memberikan kekuatan estetika yang abadi. Beberapa adegan, seperti tatapan penuh air mata wanita samurai, atau duel berdarah yang kikuk dan brutal, menyampaikan atmosfer yang kuat sekaligus emosional.
Toshiro Mifune sebagai bandit Tajomaru tampil energik dan liar, dengan performa fisik dan ekspresi wajah yang luar biasa. Ia mencuri perhatian dengan perpaduan antara kegilaan dan kejenakaan, menjadikan karakternya tak terlupakan.
Machiko Kyō sebagai istri samurai memberikan lapisan emosional yang dalam, menampilkan berbagai sisi dari karakter yang sama tergantung versinya. Sementara itu, Masayuki Mori sebagai samurai dan Takashi Shimura sebagai penebang kayu menghadirkan performa yang lebih tenang, namun tetap menyimpan intensitas.
Tema dan Pesan Moral
‘Rashomon’ adalah eksplorasi filosofis tentang relativitas kebenaran. Ia membongkar gagasan bahwa kesaksian manusia bisa dijadikan dasar absolut untuk keadilan.
Film ini menantang persepsi penonton tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, sembari mempertanyakan integritas moral di tengah dunia yang kacau dan egoistik. Namun, film ini tidak sepenuhnya sinis: dalam akhir yang lebih bernada harapan, Kurosawa menunjukkan bahwa kebaikan dan harapan tetap mungkin ada, bahkan di tengah keraguan.
‘Rashomon’ bukan hanya sebuah film penting dalam sejarah sinema, tetapi juga sebuah karya seni yang mengangkat diskusi moral dan filosofis ke tingkat yang jarang ditemui dalam film.
Kurosawa berhasil menciptakan film yang relevan secara budaya dan universal dalam pesan. Dengan teknik sinematik yang jauh melampaui zamannya, serta narasi yang tajam dan menggugah, film ini menjadi karya yang wajib ditonton dan direnungkan.
Sebuah mahakarya sinema dunia—’Rashomon’ menyuguhkan drama manusia dalam wujud sinematik yang mengguncang pikiran dan hati, dan terus relevan hingga hari ini.
