“Pride And Prejudice” (2005) merupakan film adaptasi dari novel terkenal karya Jane Austen berjudul serupa. Sebelumnya, kisah tentang Elizabeth Bennet dan Mr. Darcy ini sudah dibuat beberapa versi adaptasi pada tahun 1940 dan 1980 dengan pengambilan sudut pandang cerita yang berbeda.
Sutradara Joe Wright memberikan sentuhan yang jujur dengan menekankan realisme ekonomi dan sosial di Britania pada masa itu, romantisme love-hate relationship antara dua karakter utamanya nya, serta kedekatan keluarga Bennet.
Period Movie yang Berbicara tentang Realisme Sosial
Film yang pertama kali tayang di Toronto International Film Festival (TIFF) pada 11 September 2005 ini fokus pada cerita keluarga Bennet yang hidup dengan lima anak yang semuanya perempuan, Jane (Rosamund Pike), Elizabeth (Keira Knightley), Marry (Talulah Riley), Kitty (Carey Mulligan), dan Lydia (Jena Malone). Mereka tinggal di rumah keluarga yang terancam hak kepemilikannya, karena pada masa itu secara hukum paman mereka yang akan mendapatkan warisan, yaitu Mr. Collins (Tom Hollander) seorang pendeta yang sedang mencari istri untuk rumahnya.
Karena berbagai alasan yang rumit menyangkut masa depan kelima anak perempuannya, Mrs. Bennet (Brenda Blethyn) selalu sibuk mencari pasangan terpandang untuk anak-anaknya, dalam momen-momen pesta dansa, ia selalu memperkenalkan putrinya kepada para pemuda bangsawan, tidak terkecuali Mr. Bingley (Simon Woods) dan sahabatnya Mr. Darcy.
Banyak hal yang coba ditampilkan dalam film ini, salah satunya tentang bagaimana realitas sosial di akhir abad ke-18 masih sangat kental dengan budaya patriarki, bisa dilihat dari bagaimana kekhawatiran Mrs. Bennet terhadap anak-anaknya yang masih belum menikah dan selalu berharap semua putrinya mendapatkan laki-laki kaya raya yang bisa menopang hidupnya nanti.
Sebagian orang mungkin akan terganggu juga dengan aktivitas keseharian Bennet bersaudara yang dalam setiap kesempatan selalu bergerak dari pesta ke pesta lainnya untuk mencari perhatian laki-laki, namun pada masanya hal itu memang lumrah terjadi. Karakter Elizabeth kemudian secara perlahan membawa pandangan baru tentang perempuan yang memiliki pendapat, kuat, dan bisa memilih jalan hidup dan cintanya sendiri.
Elizabeth dan Darcy: Dua Karakter Keras Kepala
Kisah cinta Elizabeth Bennet dan Mr.Darcy menjadi fokus film ini, dua karakter dengan latar belakang sosial dan ekonomi berlawanan namun memiliki sifat kepala yang sama ini membuat cerita “Pride And Prejudice” berkembang menjadi roman lintas kelas yang rasanya sulit disatukan.
Mr. Darcy yang berasal dari keluarga kaya raya, terpelajar, dan bermartabat tidak bisa mengalihkan perhatiannya pada Elizabeth yang sering ia pandang sebelah mata karena kehidupan sosialnya yang tidak sepadan, namun dalam beberapa kesempatan ia mulai tertarik karena kepribadian Elizabeth yang berani, paham literasi, dan selalu memiliki pendapat yang berlawanan dengannya.
Perjuangan Elizabeth dan Mr.Darcy dalam mengenal satu sama lain, menurunkan gengsi, dan menyelesaikan kesalahpahaman yang selalu terjadi, pada akhirnya menjadi rangkaian cerita yang patut diikuti sampai film berakhir.
Film dengan Desain Kostum dan Setting yang Megah
“Pride and Prejudice” memang menawarkan pengalaman menarik dalam menikmati visual film, semua karakternya menggunakan kostum yang benar-benar dipikirkan secara matang, penata busana sekelas Jacqueline Durran membuat kostum dan gaya rambut yang tidak hanya mengandalkan akurasi sejarah pada masa lampau, tetapi disesuaikan dengan desain kontemporer untuk menarik penonton muda.
Dari segi setting pengambilan gambar juga tidak bisa dikatakan asal-asalan, dalam proses pengembangan skrip semua elemen yang terlibat dalam pembuatan film selalu membongkar pasang kesesuaian antara skrip dan lokasi, itulah yang membuat film ini kemudian bisa tertata dan megah secara visual.
Semua yang menikmati film ini pasti akan terkagum-kagum dengan desain interior mewah rumah Mr. Darcy yang penuh dengan koleksi seni dan benda-benda antik yang terlihat mahal, namun secara bersamaan orang-orang akan menyadari realitas sosial pada tahun 1780-an dari tempat tinggal keluarga Bennet, Longbourn digambarkan sebagai tempat yang tidak sempurna, mereka hidup di tengah lahan peternakan berdekatan dengan ayam, sapi, babi, dan tanah berlumpur. Hal-hal tersebut mencerminkan estetika realis dari sang sutradara yang ingin menggambarkan detail periode yang otentik pada masanya.
Pada akhirnya, film dengan durasi 127 menit ini adalah salah satu film roman period yang layak ditonton, bukan hanya karena visualnya yang megah dan bisa diterima dengan baik oleh para penggemar muda.
Film ini juga memengaruhi kemunculan film-film bergenre costume drama and heritage pada tahun-tahun berikutnya, tidak heran jika “Pride and Prejudice” mendapatkan 4 nominasi di 78th Academy Awards, salah satunya dalam kategori Best Actress untuk Keira Knightley.