“My Life as a Zucchini” (2016) merupakan film animasi berbahasa Prancis karya Claude Barras, seorang sutradara Swiss. Animasi stop-motion ini memenangkan banyak penghargaan film animasi, mulai dari Cesar Award, Annecy International, Tokyo Anime Award, dan masih banyak. Tak ketinggalan dinominasikan dalam Best Animated Feature Film dalam Oscar 2017 silam.
Film animasi ini bercerita tentang seorang bocah yang dipanggil Zucchini oleh ibunya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Zucchini pindah ke panti asuhan dengan anak-anak bernasib malang lainnya. Meski awalnya sulit beradaptasi, secara bertahap, Zucchini menjalin persahabatan hingga menemukan cinta pertamanya di panti asuhan tersebut.
Film animasi Prancis kerap mengangkat tema dewasa, termasuk film animasi ini. “My Life as a Zucchini” mengandung berbagai materi yang terlalu suram atau dimengerti oleh anak-anak di bawah umur. Mulai dari isu penelantaran dan kekerasan pada anak, pembicaraan tentang seks, obat-obatan terlarang, dan deportasi imigran gelap. Meski semuanya tidak ditampilkan secara visual, namun menjadi bahan pembicaraan yang cukup mendominasi dialog dan plot.
Kisah Anak-Anak Terlantar yang Bikin Iba
Nuansa yang suram langsung terasa pada adegan prolog, memperkenalkan Zucchini sebagai protagonis kita. Ketika kita berpikir malangnya nasib Zucchini, kita akan bertemu dengan lebih banyak anak lagi yang memiliki kisah lebih menyedihkan di panti asuhan. Pada akhirnya, kita melihat Zucchini melebur dengan anak-anak lainnya. Bahkan anak yang terlihat nakal sekalipun memiliki latar belakang cerita yang akan membuat kita iba. Tak hanya berharap Zucchini mendapatkan perkembangan cerita yang lebih baik, kita akan berharap setiap anak dalam kisah ini mendapatkan akhir bahagia.
Setiap anak juga memiliki kasus yang berbeda-beda. Seperti sample kasus yang variatif, memberikan kita informasi yang menjadi latar belakang kasus penelantaran anak. Dengan memahami penyebabnya, kita jadi bisa memiliki gambaran bagaimana untuk mencegahnya.
“My Life as a Zucchini” mampu memberikan narasi yang membuat kita iba pada anak-anak ini tanpa mengetahui detail cerita mereka. Tanpa harus memperlihatkan adegan kekerasan dan hal-hal buruk lainnya yang terlalu brutal untuk dialami seorang anak. Namun kita bisa melihat bagaimana kisah pahit mempengaruhi setiap anak dalam kisah ini. Ada yang menjadi pendiam, ada yang tukang bully, ada yang terlihat lebih dewasa dari usianya.
Suka Duka Zucchini Tinggal di Panti Asuhan
Tak melulu suram dan bikin kita iba, “My Life as a Zucchini” juga tidak lupa memberikan skenario humor dan kecerian. Dua elemen yang penting dalam kehidupan anak-anak. Mereka hanya ingin tertawa dan bermain. Dalam kemalangan, Zucchini dan teman-temannya juga memiliki hari-hari yang menyenangkan di panti asuhan. Mulai dari agenda traveling, jalan-jalan ke taman bermain, atau sekadar menghabiskan waktu bersama di panti asuhan. Ada cukup banyak adegan humoris yang akan membuat kita tertawa.
Namun, justru karena memadukan kebahagiaan dan kemalangan, membuat film animasi ini memiliki emosi yang kuat. Layaknya kehidupan pada umumnya, kadang kita merasa bahagia, namun tak jarang juga masalah kehidupan menghantam. Baik masa lalu yang menghantui hingga kegelisahan kita akan masa depan.
Film ini juga memiliki konflik untuk menjaga perkembangan plot tetap menarik. Namun diselipkan dengan cara yang rapi tanpa merusak ritme film yang sudah dibangun dari awal. Masalah yang muncul di antara Zucchin dan teman-temannya justru memperkuat jalinan persahabatan mereka pada akhir cerita. Lepas dari nasib berbeda yang menanti masing-masing dari mereka.
Kampanye Stop Kekerasan dan Menelantarkan Anak yang Berkesan
Yang membuat “My Life as a Zucchini” spesial adalah bagaimana film ini memiliki agenda sempurna sebagai pesan kampanye anti kekerasan dan menelantarkan anak. Pertama kita hanya akan melihat satu anak, kemudian lebih banyak lagi kasus penelantaran pada anak. Kita diberi informasi kasus apa saja yang membuat seorang anak berakhir di panti asuhan. Kemudian mengenal mereka sebagai anak-anak yang sebetulnya juga butuh tertawa dan bermain, namun juga menyimpan kesedihan dan trauma sekalipun kini mereka sudah dinaungi oleh pihak yang menjamin keamanan mereka.
Setelah memahami dan berempati dengan anak-anak terlantar ini, “My Life as a Zucchini” ditutup dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana dari mulut lugu anak-anak dalam kisah ini yang dijamin berdampak besar bagi penonton. Pertanyaan yang terdengar mudah namun kenyataannya tak banyak orang tua yang mampu mengindahkan amanah tersebut.
“My Life as a Zucchini” merupakan film animasi yang artistik sekaligus berdampak, memiliki pesan yang jelas untuk disampaikan pada penonton menyinggung isu kekerasan dan penelantaran pada anak.
Film-film seperti ini bisa kita bayangkan mampu mempengaruhi penonton bahkan setelah filmnya selesai. Mungkin mengadopsi anak di panti asuhan, melanjutkan kampanye atau membuat project tertentu, atau sekadar menjadi orang tua yang baik jika nanti memiliki anak. “My Life as a Zucchini” bisa di-streaming di Klik Film.