Quantcast
Jurnalistik Versus Propaganda: Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Film

Jurnalistik Versus Propaganda: Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Selalu ada hati nurani yang menuntut kita untuk melihat manusia di balik setiap berita besar.

Dua narasi, satu peristiwa berdarah. Peristiwa tahun 1965 di Indonesia tidak hanya menghasilkan pertumpahan darah, tetapi juga perang wacana yang timpang dan tak berkesudahan. Di satu sisi, ada versi resmi Pemerintah Orde Baru yang dikemas dalam dokudrama kolosal Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer.

Di sisi lain, muncul sebuah suara asing dari Barat, yang meskipun fiksi, menawarkan kontrapun yang kritis dan penuh teka-teki, sebuah karya sinematik berjudul “The Year of Living Dangerously”.

Membandingkan kedua karya ini seperti meninjau dua cermin yang sama-sama menampilkan bayangan Jakarta yang bergejolak, namun dengan fokus, kedalaman, dan kepentingan yang sangat berbeda. Film wajib tonton di era Orde Baru itu adalah sebuah dogma yang bersifat hitam-putih, dogmatis, dan bertujuan tunggal: propaganda.

Narasi resminya menuding mutlak bahwa Gerakan 30 September adalah ulah tunggal Partai Komunis Indonesia (PKI). Motivasi mereka, menurut versi ini, hanyalah hasrat membara untuk menggulingkan Republik dan mengganti ideologi Pancasila dengan Komunisme-Marxisme yang dianggap ateis.

Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Narasi Orde Baru: Kisah Sang Penyelamat Bangsa

Dalam cetakan sejarah yang disebarkan selama lebih dari tiga dekade, PKI digambarkan sebagai entitas jahat, terencana, dan tanpa ampun. Para jenderal dibunuh secara keji, yang puncaknya adalah penggambaran penyiksaan sadis dan seksual di Lubang Buaya—sebuah klaim yang kemudian dibantah oleh penyelidikan pasca-Reformasi.

Film itu secara artistik didesain untuk merekam jejak kebencian mendalam terhadap Komunisme, sekaligus menjustifikasi pembersihan massal anti-Komunis yang terjadi setelahnya. Lebih jauh lagi, narasi ini secara efektif mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pahlawan Penyelamat Bangsa, figur yang sigap dan tegas menumpas pengkhianatan dalam waktu singkat, sekaligus melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

Di sisi lain, Presiden Sukarno digambarkan sebagai pemimpin yang dilemahkan, karismanya mulai memudar, dan akhirnya dimanipulasi oleh intrik-intrik PKI yang licik. Tujuan utama narasi tunggal ini adalah menciptakan memori kolektif yang monolitik, di mana tak ada ruang untuk mempertanyakan kebenaran resmi. Versi inilah yang diajarkan di sekolah, ditayangkan di televisi, dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Perspektif Peter Weir: Jakarta, Kota Ketidakadilan

Kontrapun muncul dari “The Year of Living Dangerously,” yang diadaptasi dari novel Christopher Koch. Sutradara Peter Weir menyajikan konteks yang jauh lebih kompleks dan berlapis. Film ini menggeser fokus dari konspirasi an sich ke kegagalan sosial dan politik yang sudah lama mendidih di bawah permukaan rezim Sukarno.

Melalui mata Billy Kwan, si fixer Tionghoa-Australia yang misterius (diperankan secara ikonis oleh Linda Hunt), film ini menyoroti kesenjangan ekstrem yang menganga antara kemewahan elite politik dengan penderitaan dan kelaparan rakyat jelata. Inilah yang diyakini Weir sebagai bibit radikalisasi politik, termasuk bangkitnya PKI. Kwan, dengan idealismenya yang hancur, adalah representasi hati nurani yang terobsesi dengan nasib orang kecil. Kekecewaan dan protesnya yang berujung tragis menegaskan bahwa konflik ini berakar pada ketidakadilan sosial, bukan semata rebutan kekuasaan.

Lensa asing yang dipakai Weir juga berani mengangkat isu campur tangan asing dalam konflik. Karakter Jill Bryant (Sigourney Weaver), asisten diplomat Inggris yang menjadi kekasih jurnalis ambisius Guy Hamilton (Mel Gibson), membocorkan informasi penting tentang pengiriman senjata Tiongkok ke PKI. Adegan ini secara sinematik menggambarkan kuatnya intrik geopolitik Perang Dingin yang menjadikan Jakarta sebagai medan tempur proxy antara blok Barat dan blok Komunis. Film ini tidak hanya melihat ke dalam tubuh PKI atau Angkatan Darat, tetapi juga melihat ke luar, ke arah Washington, Moskow, dan Beijing.

Membaca Ulang G30S Melalui Lensa Peter Weir

Kemanusiaan di Atas Ideologi

Perbedaan paling substansial antara dua narasi ini terletak pada jantung narasi itu sendiri. Versi Orde Baru fokus pada pengkhianatan ideologi dan penegakan Pancasila. Sebaliknya, Weir menempatkan kemanusiaan sebagai titik sentral. Kisah Guy Hamilton, si jurnalis ambisius yang mati-matian mengejar scoop besar demi ketenaran, adalah kritik terhadap mentalitas Barat yang mengeksploitasi tragedi Asia. Hamilton, dengan segala keegoisannya, akhirnya mengkhianati Billy Kwan, sahabat yang telah membantunya. Kematian Kwan, yang didorong oleh idealisme moral untuk rakyat miskin, menjadi cermin yang menusuk bagi Hamilton.

Film ini menyuguhkan pandangan bahwa perseteruan itu adalah pertarungan multi-faksi yang melibatkan militer, faksi PKI, dan kekuatan global, yang semuanya beroperasi di atas penderitaan rakyat. Weir berhasil menangkap suasana Jakarta 1965 yang panas dan tropis, didominasi oleh kekerasan, romansa yang tergesa, dan bayangan wayang kulit yang seolah menjadi metafora atas pertarungan kekuatan yang tersembunyi, tak terjangkau oleh logika Barat.

Pada akhirnya, “The Year of Living Dangerously” bukan bertujuan menggantikan sejarah resmi, tetapi menjadi kontrapun yang vital. Ia mendesak penontonnya untuk melihat bahwa tragedi G30S tidak sesederhana “Komunis jahat versus Pahlawan Militer” versi Orde Baru. Sebaliknya, ia adalah mozaik kompleks yang dipicu oleh kemiskinan, ambisi pribadi yang liar, dan intrik global.

Keberanian film ini membedah kompleksitas, mengangkat isu ketidakadilan sosial, dan menyorot intervensi asing, menjadikannya sebuah cermin penting untuk mengkritisi dan membebaskan ingatan kolektif dari kungkungan dogma narasi tunggal Orde Baru. Film yang dilarang bertahun-tahun ini adalah pengingat sinematis bahwa di tengah pertempuran ideologi, selalu ada hati nurani yang menuntut kita untuk melihat manusia di balik setiap berita besar.

As Tears Go By: Romansa Kelam dan Pelarian dari Jalanan

Film

A Clockwork Orange: Distopia Brutal yang Menguji Moral dan Kebebasan

Film

Carlito's Way (1993) Carlito's Way (1993)

Carlito’s Way: Jalan Pulang Carlito yang Tak Pernah Sampai

Film

The Eagle Huntress Review The Eagle Huntress Review

The Eagle Huntress: Keberanian Gadis Mongolia Menantang Tradisi

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect