Angka rumah tangga dengan anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa naik. Berdasarkan data dari Kementrian Kesehataan, ada kenaikan jumlah sebesar 7% dari tahun 2013 ke 2018. Kita mungkin terkejut dan mengira ada yang salah dengan kenaikan angka tersebut. Namun sisi positifnya adalah masyarakat lebih teredukasi dengan isu kesehatan mental. Ini membuat mereka paham bahwa anggota keluarga mereka memiliki masalah kesehatan mental.
Sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang melakukan pemasungan terhadap anggota keluarganya. Di tahun 2018 tercatat 14% rumah tangga melakukan pemasungan.
Merasa data kesehatan jiwa di Indonesia kurang dalam atau sulit diakses? Hal ini adalah fenomena di seluruh dunia. Menurut Forum Ekonomi Dunia, statistik global mengenai topik kesehatan mental diukur dan dipahami dengan buruk. Hanya angka-angka saja tanpa penjelasan mengenai fenomenanya tidak akan membuat kita menjadi lebih paham tentang isu kesehatan mental. Apalagi kesehatan mental seringkali tidak dilaporkan dan tidak terdiagnosa.
Kita perlu data yang lebih komprehensif. Kita membutuhkan penjelasan agar dapat mengantisipasi gangguan kejiwaan dengan lebih baik. Padahal jumlah para penderitanya lebih dari cukup untuk mendapatkan perhatian pemerintah.
1 dari 6 orang dewasa di seluruh dunia memiliki satu atau lebih gangguan mental. Di Amerika, 1 dari 5 orang dewasa mengalami beberapa bentuk dari gangguan mental. Salah satu yang paling umum adalah anxiety alias kegelisahan. Persentasenya mencapai 4% dari seluruh warga dunia. Perempuan menjadi kelompok rentan karena mendominasi angka gangguan mental di dunia.
Selain itu, ada hubungan yang menarik antara tingkat pendidikan dengan kasus depresi yang dialami. Ternyata kelompok yang menuntut ilmu hingga ke perguruan tinggi memiliki angka depresi lebih rendah dibanding tamatan SMA atau SMP.
Gangguan mental sering diasosiasikan dengan kasus kematian yang prematur. Fakta ini dapat kita lihat seperti pada kasus Choi Jinri alias Sulli atau Heath Ledger. Kita sudah berkali-kali melihat berita mengenai kasus figur publik yang meregang nyawa karena gangguan jiwa. Warga dunia mendadak peduli. Media sosial dipenuhi ucapan belasungkawa. Sayangnya dalam satu dua bulan, kita telah lupa. Kita pura-pura peduli hanya dalam jangka waktu sesaat saja.
Di waktu lain, kejadian berikutnya terulang. Ada orang yang merasa kesepian. Ada yang tak punya tempat untuk mencurahkan perasaan. Kemudian ia pergi meninggalkan kita. Kematiannya hanya kita pandang sebatas angka penderita gangguan jiwa.
Padahal mencegah jauh lebih baik dibanding mengobati. Mengapa kita tidak berusaha peduli? Bukankah kita tahu betapa mengerikan dampak dari gangguan jiwa terhadap hidup seseorang? Tak bisakah kita lebih berempati? Setiap hari kita dapat melihat bukti bully di internet. Tak hanya selebriti, bully pun dapat ditujukan kepada orang biasa.
Kita menghakimi orang lain tanpa menyadari masalah yang akan ditimbulkan di kemudian hari. Kita merasa nyaman berlindung di balik topeng anonimitas dunia maya sehingga merasa puas menyatakan kebencian pada pihak lain.
Survei yang dilakukan WHO menunjukkan hampir 3% remaja mengakui selalu merasa kesepian. Data dari Kementrian Kesehatan di 2013 menunjukkan hampir dua persen remaja baik di desa maupun di kota memiliki keinginan bunuh diri. Jangan menganggap ini sebagai angka yang kecil. Mengingat banyak kasus tidak dilaporkan, bisa saja ini merupakan fenomena gunung es. Angkanya sangat mungkin lebih tinggi.
Kita terbiasa malu dan menganggap kondisi tertekan sebagai kelemahan, bahkan aib. Tanpa kita sadari mungkin di luar sana ada seseorang yang sedang merasa begitu sedih dan tidak mendapatkan bantuan. Inilah mengapa setiap 40 detik ada seseorang yang memutuskan melakukan bunuh diri.
Seharusnya kita memiliki lebih banyak rumah sakit jiwa. Sayangnya jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia masih terlalu sedikit, begitu pula tenaga ahlinya. Tak semua puskesmas memiliki psikolog ataupun psikiater. Berobat ke klinik swasta pun mahal harganya dan tak bisa dijangkau semua kalangan.
Kita justru memandang sebelah mata ketika ada yang mengakui rasa tertekan yang ia alami. Choi Jinri pun merasakan hal yang sama. Bisa jadi, sikap abai kitalah yang membuat mereka terbunuh. Kita terlalu sibuk hidup dengan bahagia tanpa menyadari derita saudara-saudara kita.
Salah satu gejala awal yang patut kita waspadai adalah merasa sulit tidur karena merasa terlalu banyak pikiran. X, salah seorang karyawan swasta di kota J, merasa karirnya meningkat dengan lambat. Ia membutuhkan penghasilan lebih besar untuk membiayai kehidupan rumah tangganya.
Selain itu X juga masih menempuh pendidikan dan membantu orangtua karena bagian dari sandwich generation. Sayangnya sekeras apapun berusaha, X merasa apa yang ia lakukan masih kurang. Kadang ia merasa sulit tidur karena terlalu khawatir terhadap hari esok. Apakah cerita ini familiar? Ya, cerita ini dapat kita temukan di sekitar kita. Bahkan mungkin kita sendiri yang mengalaminya.
Begitu pula dengan Y di kota M. Ia sendiri telah aktif melakukan konseling untuk mengatasi masalahnya. Namun tentu saja rasa sedih itu kerap datang karena merasa hidupnya belum memiliki perubahan.
Kasus berbeda dialami Z. Di usianya yang sudah seperempat abad, ia baru menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak ia ketahui. Termasuk bagaimana caranya memiliki hubungan dengan lawan jenis. Z menghabiskan waktu masa kecilnya dengan bersekolah karena ia masuk program akselerasi. Ia bahkan tak tahu dua kali pengalamannya memiliki pasangan merupakan bagian dari toxic relationship. Sampai sekarang ia masih bertanya-tanya dalam hati, bagaimana rasanya menikmati masa kanak-kanak?
Banyak dari mereka mengaku tidak terbiasa membagikan isi hati pada orangtua. Ada tekanan tak kasat mata yang mendorong mereka untuk berlaku membanggakan di depan keluarga sehingga tak pernah bercerita. A mengakui hal itu. Ia tak biasa mengungkapkan emosinya. Baginya, marah adalah hal yang tidak lazim.
Di usia hampir mencapai kepala tiga, A baru menyadari pentingnya untuk terbuka dan bersandar pada orang lain. Akhir-akhir ini A mulai berani membuka diri dan menceritakan kegalauan hatinya. Apa yang dialami oleh A cenderung dialami oleh laki-laki.
Budaya patriarki mendorong lelaki untuk selalu terlihat kuat dan diharapkan menjadi seorang pejuang gagah. Mereka pantang menangis atau menunjukkan rasa lelah. Padahal ini tidak manusiawi.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi mengantisipasi kejadian bunuh diri maupun gangguan mental yang meburuk di masa mendatang. Kita bisa mencoba lebih peduli pada orang-orang di sekitar kita. Sebagai seorang manusia dewasa, kita seharusnya mampu bertanggung jawab terhadap segala perilaku dalam bermedia sosial.
Kita harus mengingat bahwa tiap kata-kata yang dikeluarkan jangan sampai menyakiti orang lain. Kepedulian kita seharusnya tak sebatas pada kabar bunuh diri belaka atau tiap hari peringatan kesehatan mental dunia. Sudah seharusnya kita memikirkan hal ini setiap waktu agar tak ada lagi yang merasa sendirian di dunia ini.