Gobind Vashdev adalah penulis buku laris Happiness Inside dan 99 Wisdoms: Kumpulan Kisah Pemberi Makna. Pria yang menyebut dirinya sebagai ‘heartworker’ ini telah malang melintang selama belasan tahun di Indonesia untuk menyebarkan ilmu mengenai penyembuhan trauma. Uniknya, ia membebaskan para pembaca untuk memperbanyak bukunya. Gobind tak khawatir bila penjualan bukunya akan merugi. Toh buku ‘Happiness’ Inside sendiri telah dicetak ulang belasan kali.
Selain itu tiap satu buku terjual, ia memutuskan untuk menanam satu pohon. Publik makin mengenalnya setelah ia dan Andien mempopulerkan Buteyko Breathing.
Buteyko Breathing adalah teknik pernapasan alternatif dengan menggunakan hidung. Mengapa perlu ditekankan menggunakan hidung? Sebab kadang tanpa sadar kita bernapas melalui mulut. Ini karena saat tidur kita tidak sadar bila mulut terbuka lebar. Karena itulah Gobind memplester mulutnya agar ketika tidur ia benar-benar bernapas melalui hidung.
Menurut Gobind, selain bernapas lewat mulut, masalah yang dihadapi kebanyakan orang adalah terlalu banyak bernapas. Akibatnya asupan oksigen dan karbon dioksida dalam paru-paru menjadi tidak seimbang dan menyebabkan seseorang dalam keadaan hiperventilasi.
Gobind menjelaskan bahwa selain terlalu banyak bernapas—dan tidak lewat hidung—masalah lain yang kita hadapi adalah terlalu banyak mengonsumsi makanan maupun data. Terlalu banyak makanan dapat berujung pada obesitas maupun beragam penyakit yang menyertainya.
Begitu pula bila terlalu banyak data yang kita serap. Kita menjadi mudah reaktif dalam menghadapi suatu isu dan mengakibatkan tubuh menjadi tegang. Namun ketegangan itu tak harus disikapi negatif. Tegang merupakan salah satu reaksi normal dari tubuh. Ini tergantung bagaimana kita menyikapinya dan mengatur agar diri bisa melepas stres itu sendiri.
Ia mungkin bisa dijuluki beragam julukan mulai dari penulis buku hingga terapis trauma healing. Namun Gobind lebih suka disebut sebagai heartworker. Menurutnya, segala apa yang ia kerjakan sejauh ini adalah hal-hal yang ia sukai dari lubuk hatinya. Termasuk gaya hidupnya saat ini.
Saat dunia makin maju dan konsumtif, Gobind justru menjadi bagian dari segelintir orang yang menjalankan gaya hidup minimalis. Ia telah menjadi vegetarian selama lebih dari 20 tahun. Ia juga tak menggunakan alas kaki, hanya memiliki baju sebanyak satu koper, dan tidak menggunakan bahan kimia.
Keputusannya pertama kali meninggalkan sabun, sampo, hingga pasta gigi berawal dari tempat tinggalnya di Ubud. Saat itu ketika Gobind mandi, ia menyadari bahwa air mandinya mengalir ke dalam sawah di sekitar rumahnya. Padahal air tersebut bercampur sabun dan sampo.
Gobind menyadari betapa ia telah berkontribusi menyakiti alam yang telah memberikan banyak hal dalam hidupnya. Itulah salah satu penggerak yang membuatnya berhenti menggunakan bahan-bahan kimia buatan pabrik. Begitu pula dengan menjadi vegetarian. Gobind melakukannya karena ia mencintai hewan. Ia tak mau ada hewan yang harus dibunuh demi mencukupi keinginannya untuk makan.
Gobind yang hidup berpindah-pindah juga menganggap ia tak butuh banyak pakaian. Pakaiannya hanya ada dalam satu koper dengan jumlah yang sedikit. Bila ia mendapatkan satu kaos baru saja, maka akan ada satu pakaian lama yang dikeluarkan dari koper itu.
Selain hemat, gaya hidup minimalis semacam ini juga ramah pada lingkungan. Mengingat limbah yang dihasilkan oleh industri pakaian secara global memang tinggi. Gobind pun telah bertelanjang kaki selama 7,5 tahun belakangan. Tujuannya tak lain agar ia lebih terkoneksi pada bumi.
Menurutnya, dengan bertelanjang kaki, kita akan mendapatkan elektron negatif dari bumi. Elektron itu kita dapatkan bila bersentuhan langsung dengan pasir, batu, tanah, dan rumput. Gobind menyarankan kita melakukannya minimal 30 menit sehari.
Menurutnya dengan menjalani gaya hidupnya sekarang, Gobind menjadi lebih sehat dibanding masa mudanya dulu. Ia juga tak mendapatkan masalah selama bepergian dengan bertelanjang kaki bahkan bila keluar negeri. Kakinya pun mampu beradaptasi dengan baik. Gobind mengaku kakinya pun kuat berada di iklim bersalju.
Berdasarkan hasil Interview dengan Gobind Vashdev 16 Februari 2020