Dalam dunia film perang, kisah para pemberontak biasanya dipenuhi dengan peluru, debu, dan dendam. Tapi dua film berjudul serupa—The Inglorious Bastards (1978) karya Enzo G. Castellari dan Inglourious Basterds (2009) garapan Quentin Tarantino—menawarkan lebih dari sekadar aksi. Keduanya menjadi artefak zamannya: yang satu tumbuh dari reruntuhan perang sinema Eropa tahun 70-an, sementara yang satu lagi adalah dongeng revisionis yang membakar sejarah dalam gulungan seluloid. Satu menumpahkan testosteron, satu lagi menyemburkan estetika.
Meski memiliki judul nyaris sama, kedua film ini bagaikan saudara jauh yang bertukar nama belakang namun menjalani hidup yang berbeda. Castellari menciptakan film “The Inglorious Bastards” sebagai bagian dari sub-genre macaroni combat, produk Italia yang membonceng popularitas spaghetti western.
Kisahnya sederhana: lima tentara Amerika yang dijatuhi hukuman mati berhasil kabur dari konvoi militer, dan tanpa sengaja terseret ke dalam misi sabotase terhadap Nazi. Film ini bukan perenungan, melainkan pelarian. Kekacauan, baku tembak, ledakan, dan maskulinitas liar hadir di tiap adegannya, menjadikan film ini lebih dekat ke The Dirty Dozen daripada dokumenter sejarah.

The Inglorious Bastards
Sementara itu, tiga dekade kemudian, Quentin Tarantino menghadirkan “Inglourious Basterds” dengan huruf sengaja salah eja. Ia menyalin semangat “pemberontakan melawan Nazi”, tapi dengan pendekatan yang jauh lebih sinematik dan meditatif. Jika Castellari bermain dengan arketipe, Tarantino bermain dengan struktur. Jika Castellari meletakkan senjata di depan, Tarantino menjadikan dialog sebagai peluru utama. Dan jika film pertama ingin membuat penonton tegang, film kedua ingin membuat penonton menertawakan ketegangan itu sendiri.
Keduanya memang berangkat dari semangat yang sama: menumbangkan musuh bebuyutan dunia Barat abad ke-20—Nazi Jerman. Tapi yang satu memilih jalan realistis (meski tetap bergaya berlebihan), sedangkan satunya lagi menempuh jalur surealis. Castellari menampilkan Nazi sebagai musuh eksternal yang harus dibom dan ditembak. Tarantino menjadikan Nazi sebagai karakter dalam drama yang bisa dimanipulasi, dikelabui, lalu dibantai dengan elegan.
Perbedaan ini terlihat jelas dari cara kedua film membangun karakter. The Inglorious Bastards versi 1978 menampilkan para desertir sebagai “anti-hero” klasik: kasar, tidak disiplin, dan nyaris tanpa moral. Namun mereka menebus masa lalu mereka dengan menjadi pahlawan dadakan. Tak banyak lapisan psikologis. Penonton diajak menikmati ledakan dan aksi kejar-kejaran tanpa perlu berpikir terlalu dalam. Film ini dikerjakan dengan bujet rendah, diedarkan secara terbatas, namun tetap mendapat tempat di hati para penggemar film perang eksploitatif.
Bandingkan dengan Tarantino yang memperkenalkan Letnan Aldo Raine dan “Basterds”-nya sebagai kelompok semi-mitologis. Mereka memotong kulit kepala tentara Nazi seperti suku Apache, menciptakan ketakutan psikologis yang mengganggu. Tapi bukan hanya mereka yang menjadi sorotan. Hans Landa, diperankan brilian oleh Christoph Waltz, mencuri panggung sebagai antagonis paling karismatik dalam film-film Tarantino. Ia tidak hanya jahat, tapi menawan, dan sepenuhnya sadar akan peran yang dimainkannya dalam panggung sejarah yang diciptakan ulang Tarantino.

Inglorious Basterds
Kedua film ini juga memperlakukan bioskop secara berbeda. Dalam film Castellari, bioskop tak lebih dari ruang hiburan atau latar kota yang dilintasi. Dalam Inglourious Basterds, bioskop menjadi simbol perlawanan, bahkan menjadi senjata. Shosanna Dreyfus, perempuan Yahudi yang keluarganya dibantai Nazi, merancang pembalasan bukan dengan bom, tetapi dengan film nitrat mudah terbakar. Sinema, secara literal, membakar fasisme.
Tarantino tidak hanya menghormati Castellari, ia juga memanggilnya untuk tampil sebagai cameo—semacam anggukan simbolik bahwa meski film mereka sangat berbeda, benihnya berasal dari tanah yang sama. Bahkan, Tarantino sempat menyatakan bahwa filmnya bukan remake, melainkan “karangan bebas dengan semangat serupa”. Dan benar saja, Inglourious Basterds lebih mirip puisi brutal ketimbang narasi perang konvensional. Ia bukan mencoba menggambarkan perang, melainkan mengarang ulang hasilnya. Hitler mati di bioskop, bukan bunuh diri di bunker. Para korban Yahudi mengubah sejarah dengan api dan peluru.
Secara komersial, film Tarantino jelas lebih sukses. Dirilis oleh studio besar, dengan bujet sekitar 70 juta dolar, Inglourious Basterds meraih lebih dari 320 juta dolar dan pujian kritikus. Waltz membawa pulang Oscar untuk Aktor Pendukung Terbaik. Sebaliknya, film Castellari tidak masuk dalam radar penghargaan besar, tapi kemudian menjadi film kultus di kalangan penggemar sinema eksploitatif tahun 70-an.
Kedua film ini, meski lahir dari semangat anti-Nazi yang sama, mencerminkan zaman dan mentalitas pembuatnya. Castellari membuat film tentang para tentara liar yang menebus dosa dengan aksi heroik. Tarantino menciptakan dunia alternatif di mana seni bisa membalas luka sejarah. Di tangan Castellari, peluru menyelesaikan masalah. Di tangan Tarantino, kata-kata, simbol, dan estetika mengatur segalanya.
Mungkin yang paling menarik dari keberadaan dua Basterds ini adalah kenyataan bahwa sinema bisa menjadi cara untuk memutar ulang sejarah. Tidak dalam rangka mengubah fakta, tapi untuk menyalurkan imajinasi kolektif: bagaimana jadinya jika korban bisa membalas dengan tangan sendiri? Bagaimana rasanya jika keadilan tidak menunggu meja perundingan, tapi meledak di layar lebar?
Dan pada akhirnya, baik film Italia yang bersahaja maupun film Amerika yang flamboyan sama-sama berkata: dalam perang, yang terpenting bukan siapa yang benar—melainkan siapa yang memegang kamera.
