Connect with us
Dead Poets Society

Film

Dead Poets Society: Melahirkan Freethinker dengan Mendobrak Kakunya Sistem Pendidikan

Melihat bagaimana Robin Williams membuka pikiran manusia dengan kekuatan sastra.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Dead Poets Society” (1989) merupakan drama fenomenal yang masih sering menjadi perbincangan banyak orang bahkan setelah puluhan tahun sejak penayangan perdananya pada 2 Juni 1989. Film ini mendapatkan banyak nominasi di Academy Awards ke-62 dan sukses membawa pulang piala untuk kategori Best Original Screenplay.

Film yang disutradarai oleh Peter Weir ini menceritakan tentang kehidupan para pemuda yang sedang berada di fase quarter life crisis, namun jiwa dan pikirannya masih terkungkung dalam sistem pendidikan yang kaku dan membelenggu.

Film yang dibintangi oleh Robin Williams ini merupakan salah satu perjalanan pencarian jati diri anak muda yang walaupun berlatar tahun 1959 tetapi masih relevan sampai sekarang.

Dead Poets Society

Memanfaatkan Kekuatan Sastra untuk Membuka Pikiran Manusia

Cerita “Dead Poets Society” berada dalam lingkup sekolah swasta elit Amerika bernama Welton Academy. Sekumpulan siswa yang semuanya laki-laki digembleng dengan aturan kedisiplinan yang sangat tinggi untuk mencapai hasil akademik yang unggul.

Neil Perry (Robert Sean Leonard) merupakan siswa populer yang lahir dari keluarga otoriter, ayah Neil sudah merancang masa depannya menjadi seorang dokter yang sukses. Neil merupakan teman satu kamar Todd Anderson (Ethan Hawke) murid baru pemalu yang selalu dibayang-bayangi kesuksesan kakaknya.

Mereka berdua tergabung dalam kelas Sastra Inggris yang diisi oleh John Keating (Robin Williams), seorang guru baru yang memiliki metode pembelajaran unik di mata Neil dan teman-temannya.

Mr. Keating bahkan hanya mau dipanggil dengan sebutan “O Captain! My Captain” dalam kelas, ia sering kali menggelar kelas terbuka di halaman, memerintahkan para siswa naik ke atas bangku, menyuruh mereka merobek halaman buku pelajaran, atau mengajak mereka mendengar suara dari gambar orang-orang mati.

Tidak ada kurikulum akademik yang Mr. Keating ajarkan pada siswa-siswanya, ia hanya membawa anak-anak muda yang terbelenggu aturan tersebut bisa bebas menentukan pilihan hidupnya, melihat dari sudut pandang berbeda, berani mengambil keputusan, dan bisa mendengar suara hati mereka sendiri.

Dalam film ini, pelajaran hidup yang diajarkan oleh Mr. Keating dirangkum dalam bahasa sastra berupa puisi-puisi yang hidup di jiwa siswa-siswanya. Melalui kutipan dari frasa Horatius “Carpe Diem! (Seize The Day)” yang secara tersurat mengajak mereka untuk merebut kesempatan yang ada di depan mata, membuat hidup Neil, Todd, dan lainnya mengarah pada kebebasan berpikir dan pemahaman tentang banyaknya sudut pandang yang bisa mereka tangkap.

Dalam babak kedua film berlangsung, penonton akan menyaksikan bagaimana Neil mulai percaya diri untuk menjatuhkan hatinya pada dunia akting dan teater, Todd yang bisa kembali hidup dan menemukan dirinya sendiri, Knox Overstreet (Josh Charles) yang berani menjemput cintanya, dan Charlie Dalton (Gale Hansen) yang berhasil menyuarakan keberaniannya. Hal-hal baik tersebut merupakan buah dari pengajaran Mr. Keating yang bisa menembus hati siswa-siswanya.

Pertempuran antara Idealisme dan Kewajiban

Selain berbicara tentang upaya untuk mendobrak aturan sekolah yang kaku dan konservatif, idealisme, serta bagaimana caranya menjadi manusia yang bebas “Dead Poets Society” juga membawa pandangan berbeda apabila ditonton oleh penonton muda yang masih berusia akhir umur belasan, atau penonton dewasa yang sudah memiliki anak seusia Neil, Todd, dan teman-temannya.

Bagi penonton muda, “Dead Poets Society” akan tampak nyala terangnya, setidaknya mereka akan memiliki pola pikir baru dan pandangan hidup yang lebih luas, itulah sebabnya banyak orang menyatakan bahwa film ini berhasil merubah sudut pandang dan bisa menjadi pemantik perlawanan-perlawanan kecil yang ingin disuarakan. Seperti  apa yang dilakukan Dalton dalam forum besar bersama kepala sekolah, ia mulai berani bersuara dengan cara yang tidak biasa, dia bisa meraih atensi banyak orang dengan cara yang unik.

Namun, bagi penonton yang memasuki usia matang, “Dead Poets Society” bisa jadi merupakan sebuah teguran kecil tentang apa saja yang mereka pernah lewatkan. Tetapi, mimpi dan harapan orang tua tidak semudah itu ditanggalkan.

Jika bisa diibaratkan impian Neil dalam film tersebut memang merupakan harapan yang besar. Namun, seseorang yang sudah memiliki banyak pengalaman hidup seperti ayahnya, pasti memiliki pertimbangan yang juga tidak kalah besar.

Pada akhirnya, tidak ada impian seorang anak yang layak dikorbankan, dan tidak ada harapan orang tua yang patut dikerdilkan, semuanya menuju jalan yang sama-sama baik.

Sama halnya dengan bagaimana upaya film ini untuk menyuarakan luasnya sudut pandang, ada banyak fokus yang bisa menjadi bahan renungan, baik tentang idealisme, tanggung jawab, dan kewajiban, semuanya seharusnya bisa seimbang.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect