Connect with us
Review Cuties
Netflix

Film

Cuties (Mignonnes) Review: Yang Hilang Dari Masa Kanak-Kanak Perempuan

Di balik seluruh kontroversi, Cuties justru memberikan kritik pedas terhadap budaya patriarki dalam agama dan liberalisme.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Pertengahan tahun ini, Cuties dipermasalahkan di media sosial akibat pemasaran Netflix yang terkesan melakukan seksualisasi terhadap anak-anak di dalam filmnya. Tak lama, film ini menjadi kontroversi dan ribuan orang mengecam Netflix yang telah mendistribusikan filmnya. Namun di balik itu semua, Cuties sesungguhnya adalah film yang paling tegas mengkritik seksualisasi anak, sebagaimana dapat dilihat apabila orang-orang sungguh menyaksikan film tersebut.

Amy adalah seorang gadis 11 tahun keturunan Senegal yang dibesarkan dalam keluarga Muslim di Prancis. Baru saja pindah ke lingkungan baru, Amy mulai menyadari masalah keluarganya dan beban-beban yang harus ia emban sebagai anak perempuan tertua di keluarganya. Hingga suatu saat, ia tertarik dengan sebuah geng penari anak-anak di sekolah barunya dan memutuskan untuk bergabung dengan mereka.

Cuties

Netflix

Ini adalah film panjang pertama dari sutradara Maïmouna Doucouré. Melihat reaksi para kritikus, dapat dikatakan bahwa sang sutradara berhasil menarik perhatian melalui arahannya. Apabila orang-orang mempermasalahkan seksualisasi anak yang terjadi di film ini, jelas mereka belum melihat langsung adegan demi adegannya. Arahan sang sutradara memang tidak luput dari sorotan seksual tipikal yang dihasilkan dari male gaze, tetapi penggunaan sorotan tersebut justru ia jadikan senjatanya.

(Warning: spoiler)

Pada adegan pertama kali Amy bertemu dan melihat Angelica, salah satu anggota geng penari, meliukkan tubuhnya mengikuti nada lagu di ruang cuci baju, Maïmouna Doucouré tidak menyorot sang gadis secara seksual. Sorotan luas yang mengambil tarian Angelica justru menunjukkan bahwa gadis itu menari hanya sebagai kesenangannya.

Namun seiring film berjalan dan Amy mulai ikut menari, sorotan sang sutradara berubah menjadi lebih berfokus pada bagian-bagian intim sang anak. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menjadikan mereka sebagai objek seksual, namun justru sebagai bukti bahwa Amy menari bukan karena ia suka menari, tetapi karena ia hanya ingin merasakan kebebasan yang justru membahayakannya.

Sayangnya, jalan kebebasan yang dituju oleh Amy adalah kebebasan yang ditawarkan oleh liberal feminisme melalui bentuk sex positivity. Kebebasan yang dia temukan adalah kebebasan yang bisa didapatkan dengan melakukan seksualisasi terhadap tubuhnya sendiri yang masih tergolong anak-anak. Budaya sex positivity ini sangat mudah ditemui di internet dengan embel-embel bahwa seksualisasi bisa menjadi pemberdayaan perempuan juga. Pandangan feminisme liberal ini dikritisi oleh Cuties yang menunjukkan bahwa justru pemikiran tersebut dapat memiliki dampak negatif terhadap anak-anak yang masih sangat mudah dipengaruhi lingkungan.

Cuties

Photo via IMDb

Selain permasalahan seksualisasi anak, Cuties juga sempat dianggap sebagai film yang menanamkan nilai Islamofobia karena plotnya yang menunjukkan seorang anak gadis muslim yang terkekang akhirnya bisa merasakan kebebasan melalui teman-temannya yang hidup bebas tanpa embel-embel ajaran agama. Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar.

Anak perempuan harus menutupi auratnya agar laki-laki tidak berdosa ketika melihatnya. Perempuan adalah penghuni neraka yang paling banyak. Perempuan harus mendengarkan suaminya, dan sebelum mendapatkan suami, mereka harus mendengarkan orangtuanya. Tidak dapat disangkal bahwa ajaran-ajaran tersebut sudah sangat sering didengar di kuping perempuan muslim sejak kecil. Namun harus dititikberatkan bahwa ajaran agama yang patriarkal bukan berarti bahwa agama tersebut pada intinya juga patriarkal. Hanya saja, bagaimana sebagian besar penganutnya menginterpretasikan ajaran tersebut justru dapat melenceng dari nilai “memuliakan perempuan” yang terdapat di dalam Islam.

Permasalahannya, ajaran tersebut sangat menitikberatkan beban kehidupan kepada perempuan sejak mereka masih anak-anak. Sejak kecil, anak perempuan seperti Amy telah dibebankan dengan tuntutan untuk menjaga diri dan menjadi “perempuan sesungguhnya” yang bisa memasak dan mengurus bayi. Lalu ketika dihadapkan oleh kenyataan bahwa Ibunya terpaksa menerima pilihan Ayahnya yang akan melakukan poligami, Amy akhirnya berusaha untuk memberontak secara diam-diam.

Cuties Netflix

Photo via TMDB

Cuties memang banyak mengandung adegan yang tidak cocok untuk anak-anak, bahkan adegan-adegan tersebut sangat mengganggu ketika disaksikan karena seharusnya anak-anak tidak mengetahui hal-hal tersebut. Tetapi inilah kenyataannya. Anak-anak perempuan saat ini seakan hanya memiliki pilihan antara hidup terkekang sebagai anak gadis baik-baik yang akan menjadi istri baik-baik, atau hidup dalam ilusi bebas yang sebenarnya menjebak mereka dalam pola pikir yang memaksa mereka menjadi objek seksual.

Maïmouna Doucouré menutup film Cuties dengan salah satu adegan terakhir yang paling bermakna dan mungkin akan selalu dikenang. Menunjukkan Amy yang sedang bermain lompat tali bersama anak-anak seumurannya, senyum lebar sang gadis seakan mengatakan bahwa selama ini dia hanya ingin menjadi seorang anak-anak. Tanpa beban pikiran akan menjadi istri yang baik. Juga tanpa beban pikiran harus menjadikan dirinya sebagai objek seksual.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect