“The Woman Who Ran” (2020) merupakan salah satu film yang cukup menarik dari sutradara paling produktif Korea Selatan, Hong Sang-soo. Dalam film ini, ia kembali bekerja sama dengan aktris Kim Min-hee yang sebelumnya juga terlibat dalam film “Right Now, Wrong Then” (2015) dan “On the Beach at Night Alone” (2017).
Film ini tidak sepenuhnya istimewa, karena masih berada di zona nyaman Hong Sang-soo yang terkenal sangat piawai memfilmkan cerita-cerita sederhana dengan subjek yang cenderung biasa, misalnya mengangkat kehidupan paling biasa tokoh utamanya dalam menjalani rutinitas harian.
Yang membuat menarik, sutradara berumur 62 tahun ini mampu memberikan sudut pandang baru dalam setiap kondisi paling biasa yang dialami para tokohnya. Dalam “The Woman Who Ran” pengalaman seperti ini yang coba ditawarkan, dimana pandangan baru itu akan muncul secara organik pada sesuatu atau sistem hidup yang tadinya dianggap biasa-biasa saja.
Beberapa orang mungkin akan terlibat secara emosional dengan cerita ini secara khusus, karena ternyata ada banyak hal mengejutkan, dan hal itu terkadang ada pada diri sendiri atau lingkup sekitar.
Tiga Pertemuan dalam Sebuah Pelarian
“The Woman Who Ran” menawarkan perjalanan cerita yang sangat kontras dengan judulnya, dalam filmnya bahkan tidak ada satupun adegan berlari, kecuali pelarian Gam-hee (Kim Min-hee) dari cerita hidupnya yang monoton.
Gam-hee mengisi beberapa hari, yang dia ceritakan sebagai perpisahan pertama dengan sang suami yang sedang melakukan perjalanan bisnis singkat. Ia memanfaatkan waktunya untuk bertemu teman-teman lama yang sudah lama tidak berjumpa.
Dalam babak pertama, Gam-hee berkunjung di sebuah pedesaan di luar Kota Seoul untuk bertemu Young-soon (Seo Young-hwa), seorang perempuan lembut yang kini menjalani hidup tenang di rumahnya yang dikelilingi perkebunan dan peternakan. Ia memilih tinggal dan menetap jauh dari Kota setelah bercerai dengan suaminya.
Pada kesempatan kedua, Gam-hee menemui Su-young (Song Seon-mi) seorang guru pilates yang jatuh cinta pada tetangganya yang sudah memiliki istri, Su-young yang cantik dan berpikiran bebas juga ternyata sedang dibingungkan oleh hubungan rumitnya dengan seorang penyair muda.
Pelarian Gam-hee berakhir pada keesokan harinya saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan temannya di sebuah cafe yang dekat dengan pusat seni, Woo-jin (Kim Sae-byuk). Mereka memiliki hubungan yang sedikit canggung. Ada konflik yang sepertinya pernah memanas, mereka berbincang dan meredam amarahnya masing-masing dengan memakan buah apel.
Dalam setiap pertemuannya, Gam-hee selalu mengucapkan pernyataan yang berulang, tentang kehidupan pernikahannya yang bahagia, ia tidak pernah berpisah satu haripun dengan suaminya selama lima tahun sejak hari pernikahannya. Namun, pengulangan tersebut menjadi satu hal yang membuat perkataannya tidak meyakinkan.
Mungkinkah ceritanya itu hanya bualan? Apakah pelarian Gam-hee adalah salah satu caranya untuk mencari validasi dari kehidupan teman-temannya yang mungkin lebih kesepian dari dirinya?
Mengeksplorasi Karakternya dengan Dialog yang Tajam
Tidak banyak latar tempat yang ditampilkan dalam film ini, secara keseluruhan sebagian besar settingnya berada dalam lingkup tertutup di area tempat tinggal Young-soon, Su-young, dan tempat pertemuan Gam-hee dengan Woo-jin. Tidak ada adegan besar yang menunjukkan naik turunnya emosi antar karakter saat terjadinya konflik, semuanya dibalut dengan dialog yang lebih intim untuk membuat situasinya lebih canggung dan dingin.
percakapan-percakapan antar karakter menjadi hal dasar yang membangun estetika dalam film “The Woman Who Ran”. Dialog-dialog sederhana dibuat lebih luas dan mendalam misalnya pembahasan tentang makanan, uang, tempat tinggal, seni, lingkungan, dan pasangan hidup. Singkatnya, naskah memerankan bagian paling penting untuk membuat eksekusi filmnya lebih tajam dan tidak bisa disimpulkan hanya dari permukaannya saja.
Misalnya saat membahas masalah vegetarian, percakapan secara alami digiring pada pandangan tentang seekor anak sapi yang lucu namun pada akhirnya akan bernasib malang. Atau diskusi tentang seekor ayam yang berkokok di pagi hari, mereka beradu argumen mengenai ayam jago jahat yang mematuk bulu dari punggung ayam betina hingga menjadi botak, hal itu tidak hanya dilakukan untuk kawin, tetapi untuk menunjukkan dominasi dan membuktikan bahwa ayam jago yang paling kuat.
Dialog-dialog kuat yang disajikan didukung dengan konflik senyap lain yang berkaitan dengan kehadiran laki-laki yang selalu datang menginterupsi saat para perempuan sedang berbicara satu sama-lain. Misalnya saat ada tetangga baru yang menginginkan Young Jin (Lee Eun-mi) teman Young-soon untuk berhenti memberikan makan untuk kucing liar, mereka berseteru secara verbal dan tidak ada yang mau mengalah. Hal ini menunjukkan, ada issue patriarki yang dibawa dalam film ini.
Terlepas dari gaya pengambilan gambarnya yang sengaja dibuat zoom in dan zoom out dengan kurang mulus. Film ini mampu memberikan insight lain dari kisah-kisah sederhana yang dialami oleh manusia pada umumnya, misalnya tentang kesepian, kebohongan, ketidakpercayaan diri, dan bagaimana menjalani hidup bahagia yang tidak ada ukurannya. Hong Sang-soo masih layak mendapat apresiasi besar untuk karyanya yang satu ini.