Connect with us
Film perang yang dinamis dan humanis

Film

Saving Private Ryan Review: Misi Menyelamatkan Seorang Prajurit

Film perang yang dinamis dan humanis.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Saving Private Ryan” (1998) merupakan salah satu film perang berkualitas dengan prestasi mentereng. 7 nominasi Academy Awards ke-71 berhasil diraih film garapan Stephen Spielberg ini, dimana lima diantaranya berhasil diraih. Film ini pun juga menginspirasi sejumlah sineas, salah satunya Quentin Tarantino. Sutradara nyentrik itu mengaku kalau “Inglourious Basterds” (2009) garapannya terpengaruh oleh film ini.

Sesuai judulnya, film ini berkisah tentang upaya menyelamatkan seorang prajurit bernama Ryan (Matt Damon) alias James Frances Ryan. Upaya itu dilakukan oleh kapten John H. Miller (Tom Hanks) bersama anak buahnya. Misi itu dilakukan pada masa-masa Perang Dunia II (PD II), dimana saat itu Amerika selaku sekutu tengah menyerang Jerman.

Walau memakai latar waktu PD II, film ini tak jatuh jadi film perang yang patriotik, penuh adegan perang yang kelewat sadis, serta berunsur politik. Adegan perang memang masih ada di film ini, malah menjadi salah satu bumbu utama. Namun, adegan itu tak terlampau sadis dan tersaji dengan pendekatan yang lebih dinamis dan elegan. Sisi humanis juga lebih ditonjolkan, terutama lewat hubungan James H. Miller dengan anak buahnya, serta dengan Ryan yang akan ia selamatkan.

Tiga menit pertama film dibuka oleh adegan Ryan tua (Harrison Young) yang tengah mengunjungi salah satu makam yang ada di kompleks Pemakaman Normandia. Masuk menit ke-3 hingga 27, scene pun berpindah ke tahun 1944. Deretan adegan perang disajikan dengan tensi tinggi.

Walau bertensi tinggi, pace tiap adegannya tidak terlampau cepat, sehingga penonton tak akan pusing menyimak adegan-adegannya. Suara tembakan pistol laras panjang, peluru-peluru yang berjatuhan, gemuruh, dan suara-suara bising khas perang begitu kentara di tiap adegannya. Salut untuk tim sound department yang telah menyajikan semua suara itu secara proper.

Sinematografi dengan angle yang tight serta pemakaian warna yang terdesaturisasi mewarnai tiap adegannya. Usut punya usut, sinematografi yang disajikan dengan pendekatan hand-held shooting, sehingga memudahkan sinematografer mengambil gambar dari berbagai angle, termasuk angle yang tight sekalipun.

Menit 28 hingga 47, tensi film diturunkan lewat deretan adegan yang lebih banyak memasukkan dialog demi dialog. Di menit-menit itulah, penonton akan tahu asal-usul dari misi penyelamatan Ryan yang dilakukan oleh kapten John H. Miller. Menit ke-48 dan seterusnya, tensi pun kembali naik-turun. Pemakaian tensi naik-turun pada keseluruhan alur cerita membuat film ini terasa begitu dinamis, sehingga penonton pun tak akan jemu. Metode semacam ini nantinya akan dipakai lagi oleh Stephen Spielberg pada film “Catch Me If You Can” (2002) dengan pendekatan yang sedikit berbeda.

Sepuluh menit jelang film berakhir, latar waktu pun kembali ke masa di mana Ryan tua tengah mengunjungi suatu makam. Adegan yang berisi dialog menyentuh hati pun tersaji di situ. Di adegan itulah, penonton bisa tahu makam siapa yang tengah ia kunjungi.

Di jajaran cast, Tom Hanks mampu membuat sosok James H. Miller sebagai kapten yang mampu memimpin anak buahnya dengan tegas tanpa terlihat galak dan bossy. Sisi humanis sang kapten pun turut dimunculkan Hanks. Atas kepiawaiannya dalam memerankan tokoh itu, Hanks pun diganjar nominasi Academy Awards ke-71 untuk kategori Best Actor. Walau hanya tampil selama satu jam, Matt Damon mampu menciptakan chemistry yang hangat dengan Tom Hanks lewat perannya sebagai James Francis Ryan sewaktu muda.

Walau bukan pemeran utama, Jeremy Davies berhasil menarik perhatian lewat sosok Timothy Upham yang ia perankan. Upham merupakan sosok kopral sekaligus penerjemah dari pasukan yang dipimpin James H. Miller. Ia punya mimik muka yang cupu dan sikap yang insecure. Siapa pun yang melihatnya mungkin akan merasa kesal sekaligus iba. Namun, di lima belas menit terakhir film, penonton akan diperlihatkan keberanian dari tokoh tersebut. Deretan cast lainnya tampil solid, walau tak semenonjol Hanks, Damon, dan Davies.

Satu-satunya kekurangan film ini adalah music scoring-nya yang kurang istimewa. Sangat kontras dengan sound effect-nya yang begitu menonjol. Kendati demikian, kekurangan tersebut tertutupi oleh aspek-aspek lain yang lebih unggul, sehingga membuat kualitas film ini tetap terjaga.

Lewat tensi naik-turun yang dinamis dan sisi humanis yang lebih menonjol, “Saving Private Ryan” berhasil menjadi film yang berdinamika, menyentuh hati, dan tentu saja berbeda dibanding film lain yang sejenis. Film sepanjang 2 jam lebih ini bisa disimak kembali di Netflix.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect